Setelah Ada Dana Keistimewaan, Kenapa Pesta Budaya di Jogja Malah Berkurang?

Konten Media Partner
1 Oktober 2021 13:30 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
“Dulu bisa (bikin pesta budaya desa sendiri dengan saweran) tapi sekarang giliran duitnya banyak kok malah enggak ada atau berkurang,” ujar GKR Mangkubumi.
GKR Mangkubumi dalam acara Rembag Kaistimewan Grand Design Keistimewaan, Strategi Perencanaan Kebijakan Menuju Kesejahteraan, di Yogyakarta, Kamis (30/9). Foto: Widi Erha Pradana
Dulu di tiap desa atau dusun di Yogyakarta selalu ada pesta kebudayaan hampir tiap bulan. Mulai dari merti kali, merti dusun, merti kampung, sampai merti belik. Namun, setelah adanya dana keistimewaan acara-acara pesta budaya seperti itu justru semakin berkurang.
ADVERTISEMENT
Demikian disampaikan oleh GKR Mangkubumi dalam acara "Rembag Kaistimewan Grand Design Keistimewaan, Strategi Perencanaan Kebijakan Menuju Kesejahteraan," di Yogyakarta, Kamis (30/9).
Kenyataan tersebut tentu saja sebuah paradok besar, karena sebelum didanai masyarakat justru bisa menyelenggarakan pesta kebudayaan berulang kali dalam setahun tapi setelah ada dana dari pemerintah kok malah terus berkurang.
“Setiap bulan mungkin ada (pesta kebudayaan), ada merti kali, merti dusun, dan sebagainya. Tapi sekarang mana kok enggak ada?” kata GKR Mangkubumi.
Ilustrasi Tugu Jogja. Foto: arivleone / Pixabay
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat Jogjalah yang sebenarnya selama ini membentuk keistimewaan Yogyakarta. Ini yang menurutnya perlu diketahui oleh publik, khususnya masyarakat Jogja bahwa keistimewaan Yogyakarta bukan sekadar tentang dana keistimewaan, tapi jauh lebih luas dari itu.
ADVERTISEMENT
Karena itu, keistimewaan Yogyakarta mesti dimaknai dan dilestarikan oleh masyarakat sebagai suatu nilai yang adiluhung dan menyatu dengan kehidupan mereka.
“Tapi kalau keistimewaan itu diukur dari sisi finansial saja, itu enggak akan ada habisnya. Padahal, menjalankan keistimewaan itu tidak semuanya pakai dana, kita bisa kok dulu,” lanjutnya.
Hal ini menurutnya perlu menjadi bagian dari grand design keistimewaan, bagaimana membawa kembali masyarakat untuk lebih bangga dengan berbagai budaya yang mereka miliki. Apakah memang dana keistimewaan yang digelontorkan pemerintah ini telah mengikis rasa cinta mereka pada budayanya sendiri sehingga menjadikan pesta-pesta budaya sekadar sebuah kewajiban karena sudah diberi dana, atau ada faktor lain?
“Dulu bisa, tapi sekarang giliran duitnya banyak kok malah enggak ada atau berkurang. Ini kan harus ada evaluasi, atau kita kembalikan saja, dalam artian bangganya itu justru kalau desanya atau masyarakatnya saweran,” ujar GKR Mangkubumi.
Tenaga Ahli Desain Keistimewaan DIY, Edy Suandi Hamid. Foto: Widi Erha Pradana
Tenaga Ahli Desain Keistimewaan DIY, Edy Suandi Hamid, mengatakan bahwa fenomena ini perlu menjadi perhatian serius. Permasalahan ini mesti dipetakan, mengapa dana keistimewaan yang tujuannya untuk menstimulus kegiatan-kegiatan budaya di tengah masyarakat namun hasilnya justru kontraproduktif dengan yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
Alih-alih memberikan suntikan semangat kepada masyarakat dalam menjalankan dan melestarikan kebudayaannya, dana keistimewaan justru malah membuat mereka ketergantungan.
“Dulu enggak ada danais spirit-nya malah tinggi, sekarang ada dananya banyak malah menunggu-nunggu dan kalau enggak turun enggak gerak,” kata Edi Suandi Hamid.