Singkong dan Umbi-umbian Selamatkan Warga Kampung Pitu dari Paceklik Corona

Konten dari Pengguna
16 Oktober 2020 12:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi singkong. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi singkong. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Kesulitan ekonomi karena macetnya sektor wisata Gunung Nglanggeran, Gunungkidul, masyarakat kampung Pitu kini mengandalkan hasil pertanian sendiri yakni umbi-umbian untuk bertahan hidup. Padahal, meski menghasilkan banyak umbi-umbian dan hanya sedikit bisa bertani padi, selama ini masyarakat kampung Pitu menjadikan beras sebagai makanan pokok. Tapi pandemi membuat umbi menemukan relevansinya lagi. Berikut kisahnya.
ADVERTISEMENT
Singkong goreng panas adalah kudapan sempurna yang disajikan di rumah Sugito, 45 tahun, kepada belasan mahasiswa yang bertamu di rumahnya. Apalagi di luar hujan masih deras, kopi hitam yang uapnya masih mengepul dari mulut gelas, menjadi teman serasi singkong goreng panas itu.
Sugito adalah satu dari tujuh kepala keluarga yang tinggal di Kampung Pitu, Nglanggeran, Gunungkidul. Sebuah kampung di lereng Gunung Api Purba yang konon hanya bisa ditinggali oleh tujuh kepala keluarga. Sementara belasan mahasiswa yang bertamu adalah para relawan, mereka datang untuk membantu pembangunan jalan di kampung itu.
“Selama corona, jadi lebih sering masak singkong sekarang. Virus corona bagi saya dampaknya luar biasa, besar sekali,” ujar Sugito yang justru lebih dikenal dengan nama Aan, Selasa (13/10).
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, masyarakat Kampung Pitu memang sudah biasa menanam singkong, dan nyaris setiap rumah pasti memiliki simpanan singkong yang bisa diolah kapanpun. Di situasi pandemi seperti sekarang, menurut Sugito, singkong sangat membantu ketahanan pangan bagi masyarakat Kampung Pitu. Ketiadaan pendapatan dari wisata dan perdagangan kecil yang dilakukan warga membuat kemampuan warga dalam membeli beras turun.
Ya, kebutuhan beras kampung pitu memang musti dipasok dari luar. Sebab, kemampuan lahan di Kampung Pitu untuk menanam padi sangat terbatas. Mereka hanya bisa menanam padi ketika musim hujan, karena sawah yang ada merupakan sawah tadah hujan yang sangat bergantung pada air hujan. Sehingga, hasil panennya pun tidak sebanyak sawah-sawah pada umumnya.
“Jadi singkong ini memang sangat membantu di masa-masa sulit seperti sekarang. Berasnya bisa lebih hemat, tidak perlu beli beras lagi karena diselingi dengan makanan lain dari umbi,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Selain singkong, Kampung Pitu juga memiliki sumber karbohidrat lain yang juga bisa dijadikan makanan pokok selain beras. Misalnya suweg, porang, talas, dan ubi garut yang juga dimanfaatkan masyarakat untuk dikonsumsi. Hal ini membuat ketahanan pangan masyarakat Kampung Pitu semakin kuat.
“Di sini suweg memang banyak, karena memang ditanam bapak saya. Porang banyak juga, tapi tumbuh liar, alami. Kemarin ada juga yang telepon saya, mau nyari porang di sini,” ujarnya.
Untuk membeli kebutuhan-kebutuhan yang tidak bisa diproduksi sendiri, masyarakat setempat bekerja sebagai pembuat arang. Setiap rumah di Kampung Pitu, pasti memiliki tempat pembuatan arang. Saat ini, itulah penghasilan utama mereka setelah pariwisata tutup sejak awal pandemi.
“Pengepul mengambil hasil pembuatan arang kita. Lumayan, lah,” kata Sugito.
ADVERTISEMENT
Stigma dan Hama
Kebun singkon Kampung Pitu. Foto: Widi Erha Pradana.
Kendati memiliki banyak alternatif pangan pokok, namun sampai sekarang makanan pokok masyarakat Kampung Pitu tetap nasi. Singkong, suweg, porang, dan berbagai jenis umbi lainnya baru dijadikan sebagai makanan pelengkap dan kudapan.
“Jadi kalau pengin, baru bikin. Karena biasa, orang Indonesia kan kalau belum makan nasi itu rasanya belum makan,” ujar Sugito.
Sujono Ragil Sentono, 39 tahun, sudah sekitar dua dekade mendampingi pemberdayaan masyarakat di Kampung Pitu. Dulu, dia adalah anggota komunitas Belantara Indonesia. Sekarang, Ragil sudah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Kampung Pitu.
Beberapa kali, dia juga sempat melakukan eksplorasi sumber karbohidrat alternatif yang tersedia di Kampung Pitu. Menurut dia, sumber karbohidrat di Kampung Pitu selain padi sebenarnya sangat melimpah. Bahkan tanpa harus menanam padi pun, sebenarnya kebutuhan pangan di Kampung Pitu sudah bisa tercukupi.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali dia mencoba mendorong masyarakat setempat untuk sedikit demi sedikit mengurangi konsumsi nasi, dan menambah porsi untuk sumber karbohidrat lain yang tersedia. Tapi lagi-lagi, sugesti kalau belum makan nasi itu seperti belum makan, menjadi kendala utama.
“Apalagi stigmanya kan kalau makan singkong, atau jagung, atau lainnya yang bukan nasi itu seperti orang tidak mampu. Padahal, untuk iklim tropis sebenarnya umbi-umbian lebih sehat,” ujar Ragil.
Menjadikan beras sebagai indikator kesejahteraan masyarakat menurutnya adalah kesalahan besar. Pasalnya, ketika sumber pangan pokok hanya bergantung pada satu komoditas saja, ketahanan pangan menjadi sangat rentan.
“Berasisasi nasional itu adalah kesalahan terbesar negara,” lanjutnya.
Saat ini, lahan-lahan yang ditanami singkong, sebagai sumber karbohidrat alternatif terbesar di Kampung Pitu semakin menyempit. Banyak lahan-lahan yang tadinya merupakan kebun singkong, sekarang menjadi lahan yang kurang terkelola.
ADVERTISEMENT
Masalah terbesar yang membuat masyarakat enggan menanam singkong dan umbi-umbian lain dalam jumlah besar adalah serangan kera ekor panjang yang tinggal di Gunung Api Purba. Ketika musim kemarau, dan sumber makanan di habitatnya habis, biasanya ratusan kera akan turun ke ladang warga dan memakan hasil pertanian yang ditanam.
“Jadi mereka harus berjaga siang malam di kebun supaya tanamannya tidak dimakani kera,” ujarnya.
Dimulai dari Pariwisata
Suasana kerja bakti di Kampung Pitu. Foto: Widi Erha Pradana.
Mohamad Danang Santosa, 23 tahun, salah seorang mahasiswa yang hari itu ikut membantu pengerjaan jalan di Kampung Pitu juga sudah menemui kendala yang sama ketika mencoba mendorong masyarakat untuk menjadikan singkong dan umbi-umbian lain sebagai makanan pokok.
Dia adalah anggota mahasiswa pecinta alam dari Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Dua tahun lalu, dia pernah memimpin kegiatan desa binaan di Kampung Pitu.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali, dia dan teman-temannya mencoba memberikan pelatihan pengolahan pangan lokal supaya lebih variatif. Misalnya membuat jahe instan, brownies dari singkong, dan sebagainya.
“Karena kebetulan anggota kami ada yang anak boga. Tapi ternyata kan semuanya tidak segampang teorinya. Situasi di lapangan sangat kompleks, apalagi karena kami mahasiswa kan tidak bisa terlalu intens juga setiap hari di sini,” ujar Danang.
Jalan yang lebih realistis untuk dilakukan saat ini menurut Ragil adalah menjadikan singkong dan umbi-umbian yang ada sebagai ciri khas Kampung Pitu. Kepada masyarakat, Ragil selalu menekankan supaya setiap ada tamu, sebisa mungkin jamuan yang dihidangkan merupakan pangan lokal khas Kampung Pitu.
“Jadi kalau mau brownies pun ya brownies dari singkong atau talas, atau bahan lainnya. Bukan yang dari terigu, apalagi beli dari luar. Supaya ini jadi khas wisata di Kampung Pitu,” ujar Ragil.
ADVERTISEMENT
Hal itu diamini oleh Sugito. Dia juga mulai menekankan supaya masyarakat mengolah dan mengemas pangan-pangan lokal Kampung Pitu menjadi oleh-oleh khas mereka.
Apalagi selain wisata, kampung mereka juga sering didatangi tamu untuk berbagai keperluan, yang paling banyak adalah untuk penelitian. Dan proses penelitian itu biasanya tidak cukup satu dua hari, kadang sampai berminggu-minggu. Dan itu menjadi peluang besar untuk mengenalkan produk-produk lokal Kampung Pitu.
“Sekarang kita sudah punya satu olahan singkong yang jadi ciri khas kita, yaitu jadah singkong. Harapannya nanti bisa ada semakin banyak produk makanan lokal yang bisa kita jadikan oleh-oleh khas Kampung Pitu,” ujar Sugito. (Widi Erha Pradana / YK-1)