Sistem Kohorting Rumah Sakit Sulitkan Pasien COVID-19 Dapat Kamar Perawatan

Konten dari Pengguna
11 Januari 2021 16:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tempat tidur pasien di rumah sakit. Foto: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tempat tidur pasien di rumah sakit. Foto: Pixabay.
ADVERTISEMENT
Terus bertambahnya jumlah kasus positif COVID-19 di DIY, membuat ketersediaan tempat tidur perawatan pasien COVID-19 semakin menipis. Akibatnya, kerap kali pasien menemui kesulitan untuk mendapatkan tempat tidur.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data terakhir Dinas Kesehatan pada 11 Januari 2020, penggunaan tempat tidur untuk pasien critical sudah mencapai 67 persen dari jumlah tempat tidur yang disediakan yakni 76 tempat tidur. Sedangkan tempat tidur untuk pasien non critical, dari 642 yang disediakan sudah terisi lebih dari 90 persen.
“Untuk yang non critical itu sudah terpakai di atas 80 persen, malah di atas 90 persen,” ujar Kepala Dinas Kesehatan DIY, Pembajun Setyaningastutie, dalam tanya jawab virtual terkait perkembangan penanganan COVID-19 bersama wartawan di DIY, Senin (11/1).
Yang perlu menjadi catatan adalah, tidak semua tempat tidur yang kosong bisa dipakai atau ditempati pasien COVID-19. Pasalnya, sebagian rumah sakit menerapkan sistem kohorting, atau mengelompokkan pasien sesuai dengan karakteristik tertentu. Hal ini mempengaruhi penggunaan kamar tidur yang di dalamnya terdapat lebih dari satu tempat tidur.
ADVERTISEMENT
Misalnya di salah satu RS memiliki tempat tidur kosong, tetapi karena tempat tidur itu ada di kamar yang sama dengan tempat tidur lainnya yang sudah terisi pasien, maka dalam kondisi tertentu tempat tidur yang kosong itu tidak bisa digunakan.
“Kalau yang satu bed sudah diisi pasien putri, kan enggak mungkin (yang kosong) diisi pasien putra,” ujarnya.
Kasus lain misalnya di sebuah ruangan yang cukup besar sudah diisi oleh pasien dewasa, maka tempat tidur kosong di ruangan yang sama tidak bisa digunakan oleh pasien anak-anak atau bayi.
“Jadi kosong, iya kosong. Tapi ini yang mau masuk anak-anak, enggak bisa,” lanjutnya.
Alasan lain tidak bisa digunakannya tempat tidur kosong karena pasien di ruangan yang sama tidak hanya menderita COVID-19, tapi juga memiliki penyakit infeksius lainnya. Selain pasien baru akan rawan tertular penyakit lain, penanganan terhadap pasien yang memiliki penyakit infeksius lain juga berbeda, sehingga tidak bisa disatukan dengan pasien baru.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, ada juga rumah sakit yang menyediakan ruang perawatan yang dikhususkan untuk internal. Kondisi-kondisi seperti ini yang menurut Pembajun kurang dipahami oleh publik, sehingga kerap muncul narasi adanya pasien yang ditolak oleh rumah sakit.
“Karena tidak semua rumah sakit itu menyediakan satu ruangan satu bed. Tidak semua begitu,” ujarnya.
Sulit Mendapat SDM
Sebenarnya bisa saja pemerintah atau rumah sakit menambah tempat tidur untuk merawat pasien COVID-19. Sejak awal pandemi, menurut Pembajun pemerintah sudah mendorong rumah sakit-rumah sakit rujukan untuk menambah tempat tidurnya. Misalnya pada 1 April, semula jumlah tempat tidur critical hanya ada 12, sekarang sudah ada 64.
Namun penambahan tempat tidur ini tidak bisa serta merta dilakukan. Pasalnya, untuk menambah sarana, rumah sakit juga harus memperhitungkan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki.
ADVERTISEMENT
“Beli alat, banyak sekarang alat. Rumah sakit, banyak itu rumah sakit yang kolaps, bisa kemudian kita bangun atau kondisikan menjadi rumah sakit lapangan. Tetapi pertanyaannya kembali, adakah SDM atau tenaga dokter, atau perawat dari rumah sakit-rumah sakit itu yang mau dimobilisasi?” ujarnya.
Tapi menurut Pembajun, bukan berarti pemerintah hanya diam dengan keterbatasan SDM ini. Pemerintah menurutnya telah melakukan rekrutmen tenaga kesehatan untuk penanganan COVID-19.
Dari lowongan yang tersedia sebanyak 200, hanya ada 88 orang yang mendaftar dan pada akhirnya hanya ada 26 orang yang tersisa.
“Kami akan melakukan rekrutmen kedua, kementerian kesehatan akan membantu dengan menghadirkan relawan nusantara sehat,” ujarnya.
Selain itu, penambahan jumlah tenaga kesehatan juga tidak sama dengan penambahan tempat tidur. Misalnya, RSUP Dr. Sardjito dengan 72 tempat tidur dengan 24 critical dan 48 noncritical. Mereka berencana akan menambah hingga 150 tempat tidur.
ADVERTISEMENT
Dengan penambahan tempat tidur sebanyak itu, RSUP Dr. Sardjito membutuhkan tenaga kesehatan sebanyak 233 untuk penambahan 78 tempat tidur.
“Jadi 78 bed bukan berarti kebutuhannya 78 nakes,” ujar Pembajun.
Mengubah Fungsi IGD
Salah satu rumah sakit yang sempat mengalami kekurangan tempat tidur adalah RSUD Wonosari yang menjadi rumah sakit rujukan COVID-19 di Kabupaten Gunungkidul pada 9 Januari kemarin. Akibatnya, mereka tak mampu lagi menerima pasien COVID-19 dan harus melakukan rujukan ke rumah sakit lain.
Beruntung, ketika dikonfirmasi lagi pada Senin (11/1), Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) RSUD Wonosari, Sumartono, mengatakan bahwa kondisi tempat tidur di RSUD Wonosari sudah tidak penuh lagi.
“Sudah pada sembuh. Alhamdulillah,” ujar Sumartono saat dihubungi Pandangan Jogja, melalui saluran telefon.
ADVERTISEMENT
Selain itu, RSUD Wonosari juga telah menambah satu bangsal Bakung untuk perawatan pasien COVID-19. Penambahan ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan tempat tidur seperti kemarin.
Selain itu, mereka juga menjadikan ruang khusus IGD di lantai 2 sebagai tempat isolasi karyawan yang tidak memungkinkan melakukan isolasi mandiri. Dengan catatan, yang bersangkutan tidak memiliki gejala yang menyertai.
“Awalnya hanya ada 17 tempat tidur, sekarang total ada 41 tempat tidur khusus COVID-19 dan yang terpakai ada 20,” ujar Sumartono. (Widi Erha Pradana / YK-1)