Skor PISA dan Bagaimana Mengkonversi Gen Toleransi Jadi Capaian Dunia

Konten dari Pengguna
5 Desember 2019 13:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi siswa Sekolah Dasar. Foto : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siswa Sekolah Dasar. Foto : Pixabay
ADVERTISEMENT
Bangsa Indonesia adalah negara yang sangat besar dengan jumlah penduduk 267 juta jiwa di mana lebih dari 68 persen total populasi merupakan usia produktif (Bappenas, 2019). Selain beragam budaya, suku, bahasa, budaya, adat, kepercayaan dan ras, Indonesia juga kaya akan sumber daya alam. Secara geografis Indonesia terletak pada garis ekuator, dan hanya memiliki 2 musim; seringkali dijuluki sebagai negeri “Gemah Ripah Loh Jinawi”, Zamrud Khatulistiwa.
ADVERTISEMENT
Koes Plus mengistilahkan sebagai “Kolam susu”. Namun ironisnya, secara kolektif Indonesia seringkali merasa inferior dan rindu untuk mampu tampil di panggung dunia.
Energi kerinduan itu dapat terlihat ketika masyarakat Indonesia sangat haus kemenangan setelah timnas sepak bola senior Indonesia menelan 3 kekalahan beruntun dalam rangka seleksi Piala Dunia 2022.
Kita juga seringkali merasakan frustrasi dan lelah mendengarkan berita kekacauan dan ketertinggalan. Kasus-kasus korupsi tiada henti merajalela di semua lini, kasus ujaran kebencian karena perbedaan pandangan bertebaran, berita budaya literasi kita yang sangat rendah. Miris rasanya.
Tetapi bukan berarti tidak ada harapan. Agustus lalu kita terpukau dengan kehadiran film karakter Gundala di layar bioskop. Rapper diaspora Rich Brian telah membanggakan dengan karya musiknya yang kian melambung tinggi di industri musik Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Ingatan kita masih segar, dengan megahnya Opening Ceremony Asian Games 2018 di Stadion Gelora Bung Karno; kita dipertontonkan tarian, musik, dan budaya Nusantara yang mempesona.
Harapan semakin menggebu ketika Indonesia resmi ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2021. Bangsa Indonesia merasakan sebuah energi sangat besar untuk dapat mempresentasikan diri dan menghadirkan Indonesia maju. Sebelum melangkah ke depan, perlu kita merefleksikan apa jati diri Indonesia yang sebenarnya.
Gen Toleransi
NKRI sejauh ini telah berdiri selama 74 tahun. Sementara DNA Nusantara sudah eksis semenjak ribuan tahun lalu. Roh toleransi dalam keberagaman dirumuskan oleh Mpu Tantular pada abad ke-14 dengan frasa “Bhinneka Tunggal Ika”.
Roh yang juga mendorong terwujudnya NKRI karena toleransi itulah yang menyatukan wilayah-wilayah di Nusantara.
ADVERTISEMENT
Toleransi yang besar tercermin dalam gagasan genius memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di dalam Sumpah Pemuda; bukan Bahasa Jawa yang dipilih walaupun kala itu suku Jawa merupakan suku terbesar.
Semangat ini mendorong terpilihnya semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang digenggam erat Garuda Pancasila. Gen toleransi bukanlah hasil rekayasa melainkan sebuah nilai intrinsik Indonesia. Indonesia lahir karena toleransi, dan Indonesia akan musnah bila tidak ada toleransi.
Budaya Literasi dan Korupsi
Sayangnya, sampai saat ini gen toleransi tersebut masih sulit dikonversikan menjadi keunggulan di mata dunia. Ada dua kelemahan utama yang berkontribusi. Pertama, tingkat literasi yang rendah.
Survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 diterbitkan pada Selasa (3/12) kemarin menunjukkan Indonesia jeblok dalam tiga kategori yang disurvei yakni matematika, membaca, dan sains.
ADVERTISEMENT
PISA adalah program yang digagas oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) untuk mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains peserta didik secara global.
Hasil PISA 2018 yang dirilis oleh OECD menunjukkan siswa-siswi Indonesia memiliki kemampuan membaca, matematika, dan sains di bawah rata-rata nilai OECD. Dalam membaca misalnya, Indonesia mendapatkan skor 371, jauh di bawah rata-rata OECD dengan skor 487. Nilai ini sekaligus menempatkan Indonesia di urutan 74, alias keenam dari bawah.
Dalam Matematika, Indonesia ada di peringkat ke-7 dari bawah dengan skor 379 (OECD 489), diikuti oleh Arab Saudi dan Maroko. Sementara untuk Sains, Indonesia mendapatkan skor 396 (OECD 489), dan membuatnya menempati posisi 70.
Kesimpulan dari hasil itu, hanya 30 persen siswa Indonesia yang memenuhi kompetensi membaca minimal, seperti mampu mengidentifikasi gagasan utama dalam teks, mencari informasi, serta menelaah lebih dalam isi teks.
ADVERTISEMENT
Skor survei PISA juga paralel dengan survei UNESCO tahun 2016, dari 61 negara Indonesia berada di peringkat 60. Dampak literasi yang rendah ini adalah mudahnya mempercayai hoaks, berita yang tidak valid, jatuh dalam permusuhan dan ujaran kebencian. Tanpa adanya kemampuan berpikir kritis, maka kreativitas dalam berkarya juga tidak akan terdukung.
Kedua, korupsi di Indonesia yang melilit erat dalam berbagai dimensi, menyebabkan lingkaran setan antara korupsi dan rendahnya profesionalisme.
Transparency International Indonesia merilis, dalam tahun 2018 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menempati peringkat 89 dari 180 negara. Korupsi dan budaya instan menjadikan nilai-nilai penting dalam berkarya, seperti kejujuran, disiplin dan etos kerja hilang. Budaya literasi yang rendah dan korupsi membuat bangsa Indonesia seolah-olah frustrasi, terjebak dalam kubangan kegelapan.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, dengan semua potensi yang ada, harapan tidak boleh sirna. Kita dapat sedikit menengok ke beberapa negara besar lain yang memahami kekuatan sebuah identitas negara, budaya dan peran teknologi.
Pop Culture
Ketika kita membicarakan Korea Selatan, selain perusahaan elektronik Samsung maka orang tidak lagi asing dengan Korean Wave yang telah dimulai semenjak populernya lagu Gangnam Style diseluruh dunia. Gelombang budaya populer ini memuncak ketika group boyband korea BTS menempati posisi pertama di Billboard 200 chart dengan album mereka Love Yourself: Tear. Bahkan sempat ada istilah “the BTS effect” karena dampak economy value per tahun ke negaranya yaitu sekitar 3.54 milyar US dollar (berdasarkan Hyundai Research Institute tahun 2018).
ADVERTISEMENT
Sejauh 926 km ke timur dari pulau Korea, terdapat sebuah negeri matahari terbit, Jepang. Jepang sangat terkenal akan peradaban kebudayaannya yang secara harmonis dipelihara dengan seksama dan sangat menyatu dengan gaya hidup modern masyarakat Jepang. Mulai dari makanan tradisional sushi, olahraga beladiri sumo, hingga kartun khas Jepang anime yang berdampak besar pada sektor perekonomian. Spirit Bushido menjiwai kemajuan Jepang.
Industri perfilman Amerika Serikat juga merupakan contoh betapa budaya populer mampu memberikan kontribusi sektor industri ekonomi kreatif yang sangat masif. Sebagai contoh, film Black Panther (2018) yang menceritakan superhero bertemakan Afrika Utopis, mampu meraup 1 milyar US dollar di box office global. Bahkan, ada trend di film Hollywood untuk menggunakan kultur asia sebagai pintu baru seperti film The Crazy Rich Asian (2018) dan dua film mendatang Mulan (2020) dan film marvel Shang-Chi (2021).
ADVERTISEMENT
Dari Korea Selatan dan Jepang ada pembelajaran bahwa mempertahankan identitas budaya suatu negara dapat dilakukan melalui sebuah produk tingkatan baru yaitu budaya populer. Betul, Indonesia futuristik secara jelas masih sulit didefinisikan. Namun barangkali, secara imajinatif kita bisa membayangkan Indonesia futuristik seperti layaknya “Wakanda” dalam film Black Panther di pedalaman sub-hara afrika dimana kultur dengan teknologi bersatu padu tetapi tetap mempertahankan local wisdom.
Indonesia Futuristik
Kita mengetahui bahwa Wakanda hanyalah sebuah negeri fiksi. Akan tetapi, ketika kita melihat kostum-kostum etnik yang berbahan vibranium, mendengarkan musik trap yang digabungkan dengan musik etnik Afrika, dan desain arsitektur rumah etnik yang futuristik mendadak kita merasakan sebuah resonansi kuat dengan Afrika yang sekarang. Hal ini dapat dijelaskan karena pada saat melihat Wakanda sebenarnya kita sedang melihat esensi keragaman kultur Afrika.
ADVERTISEMENT
Kultur unik, diambil esensi, dan dijadikan fundamen dalam medium baru. Inilah kunci. Ambil contoh produk futuristik di Indonesia adalah lagu “Sayang” yang dinyanyikan Via Vallen pada Indonesian Choice Awards 5.0 NET 2018 dan telah ditonton oleh 27,8 juta orang di Youtube. Dengan aransemen modern dan tetap mempertahankan suara khas gendang, lagu dangdut itu terasa mewah dan modern karena dibawakan dengan pakaian jas serta ditambahkan lirik rap oleh Boy William.
Jumlah penonton video rekaman live lagu ‘Sayang” jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan video musik grup korea dengan berbudget tinggi NCT 127 “Superhuman” dan WayV “Regular” yang masing-masing ditonton tidak lebih dari 25 juta penonton. Ini merupakan salah satu bukti betapa superiornya kebudayaan komunal Indonesia bila dihadirkan sebagai sebuah produk kultur yang bertemu dengan teknologi modern. Begitu juga Gojek.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan ojek lokal yang lazim dimanfaatkan masyarakat Indonesia secara komunal, dipadukan dengan teknolog dapat merevolusi perilaku ekonomi jutaan penduduk Indonesia. Benar seperti yang dikatakan oleh Jack Ma pendiri Alibaba bahwa dimana ada keluhan disitu ada peluang.
Bisa dibayangkan apabila esensi dan filosofi batik dapat dikreasikan dengan bahan yang senyaman kaos t-shirt dengan desain minimalis, layaknya kostum futuristik di film Tron: Legacy, misalnya, maka tidak akan terbayangkan nilai ekonomisnya. Salah satu fashion designer asal Indonesia, Rinaldy Yunardi, dalam Dewi Fashion Knights pada Jakarta Fashion Week 2019, memperlihatkan kostum-kostum “The Faces”yang agung dan ajaib seperti layaknya sebuah karakter di masa depan.
Pendidikan
Ilustrasi pendidikan. Foto : Pixabay
Salah satu cara untuk mewujudkan Indonesia baru yang futuristik adalah dengan melalui pendidikan. Sir Ken Robinson pembicara TED TALK “Do Schools Kill Creativity” yang telah ditonton 380 juta orang dari 160 negara mencetuskan bahwa pendidikan seharusnya bukan sebuah sistem mekanik tapi sebuah sistem manusia yang menghormati dan memelihara kreativitas.
ADVERTISEMENT
Guru yang sangat dihormati berperan sebagai penyala api rasa keingintahuan setiap siswanya untuk terus belajar. Keingintahuan merupakan sumber kreativitas. Hal ini didukung oleh riset Hardy dan kawan-kawan tahun 2017 yang berjudul “Outside the box: Epistemic curiosity as a predictor of creative problem solving and creative performance” yang menyebutkan bahwa general curiosity memicu tingkat kreativitas yang lebih tinggi. Jika api ini selalu dipelihara, maka rasa penasaran akan membuat kita menikmati belajar hal yang baru dan topik yang tidak dikenal atau konsep abstrak.
Dalam frame Indonesia, perlu digali lebih dalam keanekaragaman kultur untuk menemukan esensi kultur itu. Esensi kultur kemudian butuh diterapkan pada kreasi produk baru. Melestarikan budaya Indonesia namun dalam wujud baru. Kreativitas yang diinjeksikan dalam kondisi pluralitas Indonesia melalui sarana teknologi akan dapat mengakselerasi terwujudnya Indonesia baru. Tentu diperlukan semangat dan dukungan penuh dari pemerintah dan masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Indonesia Maju
Dipilihnya orang-orang yang mampu menangkap esensi kultur Indonesia, seperti Nadiem Makarim, Wishnutama, dan Erick Thohir dalam kabinet Indonesia Maju Joko Widodo sejalan dengan kerinduan untuk menghadirkan Indonesia baru di level dunia.
Firasat Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dan maju sepertinya dapat terwujud dengan adanya sinyal simbolik perpindahan ibu kota lama Jakarta ke ibu kota baru Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Identitas bangsa Indonesia yang penuh toleransi serta keanekaragaman budaya dalam skala komunal yang masif, mestinya menjadi lautan harta karun tak ternilai. Dengan mengedepankan rasa ingin tahu dan kreativitas, kita dipanggil untuk mengeksplorasi, menemukan esensi kultur Indonesia, memadukannya dengan teknologi, demi peradaban Indonesia yang maju.
ADVERTISEMENT
=======================
Penulis : Wojtylla Danditya Geharnoto, Alumni Kolese De Britto Yogyakarta Angkatan 2018