Soal KTP Transgender, Pemkot Yogya: Jenis Kelamin Sesuai Kodrat Saat Lahir

Konten Media Partner
19 Mei 2022 18:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh beserta jajaran menyaksikan proses perekaman data KTP-el terhadap seorang transgender di kantor Disdukcapil Tangerang Selatan, Rabu (2/6/2021). Foto: Dirjen Dukcapil
zoom-in-whitePerbesar
Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh beserta jajaran menyaksikan proses perekaman data KTP-el terhadap seorang transgender di kantor Disdukcapil Tangerang Selatan, Rabu (2/6/2021). Foto: Dirjen Dukcapil
ADVERTISEMENT
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Yogyakarta, Septi Sri Rejeki, menekankan bahwa keterangan jenis kelamin di dalam dokumen kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Kartu Keluarga (KK), akan disesuaikan dengan jenis kelamin ketika dia lahir.
ADVERTISEMENT
“Dinas Dukcapil akan memberikan dokumen kependudukan terkait jenis kelamin berdasarkan kodrat jenis kelamin yang dimiliki saat lahir,” kata Septi Sri Rejeki, dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta secara daring, Rabu (18/5).
Pemerintah menurut dia juga tidak akan mengisi keterangan jenis kelamin di dalam dokumen kependudukan berdasarkan perilaku maupun bentuk fisik seseorang. Septi juga menegaskan bahwa Pemkot Jogja tidak pernah membedakan atau mendiskriminasi transgender di semua layanan dokumen kependudukan.
“Tidak ada perbedaan dalam persyaratan. Semua sama, tidak memihak pada satu golongan atau satu jenis kelamin atau satu kelompok dalam kita melakukan pelayanan,” ujarnya.
Foto: Tangkapan layar zoom
Jika seseorang terlahir dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, kemudian dia ingin mengubah jenis kelamin di dalam dokumen kependudukannya, maka harus melengkapi syarat tambahan yakni penetapan pengadilan terkait dengan perubahan jenis kelamin.
ADVERTISEMENT
“Jadi benar-benar kami on the track, dalam melakukan pelayanan kepada siapapun, tidak ada perbedaan,” ujarnya.
Saat ini menurut dia Disdukcapil Kota Yogyakarta sudah memproses dokumen kependudukan lima orang transgender yang ingin mengubah keterangan jenis kelaminnya.
Septi mengatakan kendala transgender di Jogja dalam mengurus dokumen kependudukan saat ini karena kebanyakan belum memiliki dokumen-dokumen pendukung seperti akta kelahiran serta alamat terang. Padahal, kelengkapan-kelengkapan tersebut menurut dia sangat penting bagi pemerintah dalam memproses kepemilikan dokumen kependudukan para transgender tersebut.
Dia mendorong kepada para transgender di Jogja untuk segera mengurus dokumen kependudukannya. Sebab, jika mereka tidak memiliki dokumen kependudukan, mereka juga tidak bisa mengakses hak-hak mereka sebagai warga negara seperti berbagai jenis bantuan dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
“Karena memang mereka (transgender) punya hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia yang sama dengan yang lainnya,” tegas Septi Sri Rejeki.
Foto: Tangkapan layar zoom.
Koordinator Waria Crisis Center (WCC) Yogyakarta, Rully Mallay, mengatakan bahwa sampai saat ini para transgender yang ada di Yogyakarta masih kerap mendapat diskriminasi dan stigma negatif, baik dalam pelayanan publik maupun dalam kehidupan sosial di tengah masyarakat. Selama bertahun-tahun para transgender di Jogja juga hidup tanpa dokumen kependudukan, hal itu membuat mereka kesulitan dalam mengakses hak-hak mereka sebagai warga negara.
“Akses untuk mendapatkan pendidikan, akses untuk mendapatkan skill yang baik, pekerjaan yang layak, akses kesehatan, dan lain sebagainya,” kata Rully Mallay dalam kesempatan yang sama.
Namun Rully mengapresiasi upaya Pemkot Jogja beberapa tahun terakhir dalam mengakomodir aspirasi kelompok rentan seperti transgender, meskipun eksekusinya belum optimal. Dia berharap, ke depan pemerintah terus meneruskan dan meningkatkan tren positif ini. Rully juga berharap pemerintah akan mengeluarkan kebijakan dan regulasi yang bisa memudahkan para transgender untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara.
ADVERTISEMENT
“Karena seringkali pelanggaran hukum itu berkelindan dengan persoalan politik, dengan policy-policy sehingga sulit untuk mencapai perwujudan pemenuhan HAM jika prasyarat itu belum terpenuhi,” ujarnya.