Tagih Janji Tak Hapus Mapel Sejarah, Prodi Sejarah se-Indonesia Surati Nadiem

Konten Media Partner
4 Maret 2022 14:20 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mendikbud Nadiem Makarim. Foto: Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mendikbud Nadiem Makarim. Foto: Kumparan
ADVERTISEMENT
Perkumpulan Prodi Pendidikan Sejarah se-Indonesia (P3SI) mengirimkan surat kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim, terkait dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 tahun 2022 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang menghapus pendidikan sejarah maupun sejarah Indonesia dari mata pelajaran wajib di sekolah maupun perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Masalah penghapusan sejarah dari pelajaran wajib di sekolah sebenarnya sudah sempat mencuat pada akhir 2020 silam. Kabar itu bahkan membuat Nadiem harus memberikan klarifikasi untuk tidak akan menghapus sejarah dari mata pelajaran wajib di sekolah. Melalui kanal YouTube Kemendikbud RI pada 20 September 2020, Nadiem bahkan menyatakan jika isu penghapusan pelajaran tersebut tidak benar atau hoaks semata.
“Tidak ada sama sekali kebijakan, regulasi, atau perencanaan penghapusan mata pelajaran sejarah di kurikulum nasional,” kata Nadiem Makarim.
Namun tahun berikutnya, pemerintah menerbitkan PP Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang di dalamnya tidak memasukkan sejarah sebagai pelajaran wajib di sekolah maupun perguruan tinggi.
Tak pelak, PP tersebut juga menuai kritikan, salah satunya dari P3SI, yang dengan tegas menolak penghapusan sejarah dari kurikulum. Karena banyak penolakan, pemerintah kembali merevisi aturan tersebut, dan pada Januari kemarin menerbitkan PP Nomor 4 tahun 2022, sebagai perubahan atas PP Nomor 57 tahun 2021.
ADVERTISEMENT
“Tapi sama saja, sejarah sama sekali tidak disinggung di dalam PP ini,” kata Zulkarnain di Yogyakarta, Kamis (3/3).
Prodi pendidikan sejarah UNY. Foto: Dok. Prodi Pendidikan Sejarah UNY
Tak puas dengan perubahan itu, P3SI kembali menyurati Nadiem pada 20 Februari kemarin, yang intinya mendorong pemerintah merevisi ulang PP tersebut dengan memasukkan pendidikan sejarah maupun sejarah Indonesia ke dalam kurikulum sebagai mata pelajaran wajib di bangku sekolah maupun perguruan tinggi.
“Surat ini untuk menagih janji Mendikbud yang mengatakan tidak akan menghapus pelajaran sejarah dari kurikulum,” ujarnya.
Surat tersebut juga memuat rekomendasi perubahan yang telah dirumuskan bersama para pakar di bidang sejarah, pendidik, pengajar, fungsionaris organisasi profesi, serta para peneliti di bidang sejarah. Total, ada lima pasal yang diusulkan untuk diubah, yakni pasal 5, 6, 37, 39, dan pasal 40, yang intinya memasukkan pendidikan sejarah dan sejarah Indonesia ke dalam pasal-pasal tersebut.
ADVERTISEMENT
Misalnya pada Pasal 40 ayat (2), tentang kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang sebelumnya tak mencantumkan sejarah sebagai mata pelajaran wajib, diusulkan untuk ditambah sejarah Indonesia. Hal sama juga terjadi pada pasal 40 ayat (6) tentang kurikulum yang wajib diberikan di jenjang pendidikan tinggi, yang semula hanya memuat agama, Pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia, diusulkan untuk ditambah Sejarah Indonesia.
“Usulan itu sudah kami rumuskan dan kaji secara matang dengan banyak pihak, bukan hanya untuk kepentingan kami sebagai pendidik di prodi sejarah,” kata Zulkarnain.
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Foto: Shutter Stock
Dosen Pendidikan Sejarah dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang juga Ketua Umum P3SI, Abdul Syukur menambahkan, pencantuman sejarah sebagai pelajaran wajib di kurikulum bukan semata-mata hanya untuk kepentingan para pendidik sejarah, tapi untuk masa depan generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Saat ini saja, menurut dia sudah makin sedikit anak-anak muda yang memahami sejarah bangsanya. Jika pendidikan sejarah benar-benar dihapuskan dari kurikulum, dia khawatir generasi mendatang akan semakin jauh dari nilai luhur bangsanya dan makin mudah dipengaruhi oleh budaya-budaya luar yang kontraproduktif dengan nilai-nilai luhur tersebut. Karena itulah menurutnya pendidikan sejarah mesti tetap menjadi pelajaran wajib, baik di bangku sekolah maupun perguruan tinggi.
“Kami menangkap sinyalemen bahwa proses pengambilan keputusan tanpa informasi lengkap dan tanpa pertimbangan yang mendalam mencerminkan sikap yang meragukan dari sisi tanggung jawab terhadap sejarah bangsanya dengan segala dinamikanya,” kata Abdul Syukur.