news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Telaga Sarangan: Naga, Telur Misterius, dan Tuduhan Syirik

Konten dari Pengguna
11 Januari 2021 15:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu pemandangan utama telaga sarangan. Foto: Widi Erha Pradana.
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu pemandangan utama telaga sarangan. Foto: Widi Erha Pradana.
ADVERTISEMENT
Kabut putih tipis turun dari pegunungan yang mengelilingi telaga Sarangan menutup sebagian permukaan air yang tenang. Angin berhembus, menampar mesra pohon cemara dan pinus, di sekitar telaga.
ADVERTISEMENT
Beberapa orang tampak sedang lari-lari kecil di sekitar telaga, sebagian ada juga yang bersepeda. Sedangkan sisanya ada yang sedang menyantap sate kelinci, pecel, atau sekadar menyesap kopi di warung sekitar telaga yang terletak di Kecamatan Plaosan, Magetan, Jawa Timur.
Berada di lereng Lawu dengan ketinggian 1.287 meter di atas permukaan laut, udara di sekitar telaga sangat sejuk, bahkan cenderung dingin. Hari itu sudah cukup siang, tapi sebagian besar warung masih tertutup rapat.
“Sekarang sepi, sejak corona. Jadi enggak semua pedagang buka tiap hari,” kata Puji, salah seorang pedagang makanan di sekitar telaga yang buka paling pagi, Senin (21/12).
Biasanya, semua warung buka ketika akhir pekan saja. Karena hanya ketika akhir pekan, pengunjung atau wisatawan yang datang ramai. Sementara saat hari biasa, sebagian pedagang akan mencari kesibukan lain seperti pergi ke ladang untuk berkebun.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya penutupan telaga Sarangan untuk wisatawan tidak berlangsung lama. Penutupan itu dilakukan karena salah seorang warga Sarangan ada yang diduga terinfeksi COVID-19 beberapa bulan yang lalu. Tapi setelah diperiksa lebih lanjut, hasilnya negatif, dan telaga Sarangan dibuka lagi seperti biasa.
“Sekarang sudah mendingan, mulai banyak lagi walaupun dibandingkan dulu masih jauh,” ujarnya.
Sesepuh sekaligus Juru Kunci Telaga Sarangan, Sastro Supar, 90 tahun, mengatakan bahwa telaga Sarangan memang sudah bertahun-tahun menjadi sumber kehidupan. Dulu, air di telaga Sarangan digunakan untuk keperluan pertanian dan kebutuhan sehari-hari.
Namun sekarang, fungsinya bertambah, menjadi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar setelah dibangun menjadi objek wisata. Ada yang berjualan makanan dan minuman, cinderamata, sewa penginapan, perahu, sampai sewa kuda.
ADVERTISEMENT
“Sedikitnya ada 500 orang (yang jualan) di sekitar telaga Sarangan,” ujar Sastro Supar.
Telur Misterius dan Sepasang Naga
Foto: Widi Erha Pradana.
Pagi itu Sastro Supar sedang duduk sendiri di teras rumahnya yang jaraknya sekitar satu kilometer dari telaga. Sudah dua dekade terakhir dia dipercaya menjadi sesepuh telaga sarangan oleh pemerintah Magetan.
Setelah merapikan letak topi dan kain penutup telinganya, Sastro Supar mulai bercerita awal mula terbentuknya telaga seluas 7 hektar itu.
“Ini cerita dari simbah-simbah kami sejak dulu, terserah nanti masnya percaya atau tidak,” kata Mbah Sastro memulai ceritanya.
Dahulu kala, di hutan lereng Lawu tinggal sepasang suami istri bernama Kyai Jalilung atau Kyai Pasir dan Nyai Jalilung atau Nyai Pasir. Suatu ketika, Kyai Jalilung pamit kepada istrinya untuk pergi ke ladang yang bernama ladang Sarangan. Dia juga berpesan supaya setelah agak siang, Nyai Jalilung menyusulnya dan membawa bekal untuk sarapan.
ADVERTISEMENT
Ketika berada di ladang, Kyai Jalilung menemukan sebuah telur di bawah pohon besar. Karena sudah lapar, dan sang istri tak kunjung datang membawakan makanan, Kyai Jalilung kemudian membakar telur yang dia temukan.
“Setelah dibakar, sudah masak, dimakan separuh saja sudah kenyang. Setelah sudah kenyang, baru Nyai datang,” lanjut Mbah Sastro.
Nyai Jalilung datang membawa bekal, seperti yang dipesan oleh suaminya. Namun ketika diserahkan, Kyai Jalilung menolak karena sudah sangat kenyang setelah memakan separuh telur yang dia temukan. Separuh telur yang tersisa kemudian diserahkan kepada Nyai Jalilung untuk dimakan.
Setelah keduanya memakan telur tersebut, tiba-tiba Kyai Jalilung dan Nyai Jalilung merasa tubuhnya sangat panas. Tidak tahan dengan panas yang dirasakan, suami istri itu kemudian pergi ke sumber mata air di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Keduanya lalu mandi di mata air tersebut dan berguling-guling dengan harapan panas yang dirasakan oleh tubuh mereka akan hilang.
“Sampai sekarang sumber airnya masih ada, namanya Jarakan. Tapi sudah dipakai buat umum, sudah diambil ke mana-mana,” ujarnya.
Alih-alih sembuh, setelah beberapa lama mandi di sumber air, tubuh Kyai Jalilung dan Nyai Jalilung justru berubah menjadi naga. Setelah menjadi naga, keduanya terus berguling-guling, hingga tanah di sekitarnya tergerus dan terbentuk cekungan. Cekungan itulah yang kini menjadi telaga Sarangan. Itu kenapa, naga menjadi ikon telaga Sarangan sampai dibuatkan patung di sebelah utara telaga.
“Itu konon kejadiannya pada tahun 508 Masehi, harinya Jumat Pon bulannya Sya'ban Ruwah. Itu konon, saya melanjutkan cerita dari dulu-dulu,” ujar mantan prajurit Seinendan itu.
ADVERTISEMENT
Di tengah telaga juga terdapat pulau kecil yang dipenuhi berbagai jenis pepohonan. Kata Mbah Sastro, pulau itu adalah jelmaan Kusuma Ayu Dewi Werdiningsih, yang tidak lain adalah saudara Kyai Jalilung dan Nyai Jalilung.
Ketika saudaranya tak kunjung pulang, Dewi Merdiningsih mencoba menyusul mereka ke ladang untuk mencarinya. Namun setelah sampai, Dewi Werdiningsih hanya menjumpai ladang yang sudah berubah menjadi telaga.
“Karena saudaranya tidak ada, daripada tidak ketemu saudaranya, itu lebih baik dia moksa, ilang sakjiwo rogone di tengah telaga itu, itu ada makamnya di tengah pulau,” ujarnya.
Elang Hitam, Mitos Ikan Tombro Merah
Air terjun Tirtosari. Foto: Widi Erha Pradana.
Tak jauh dari telaga Sarangan, terdapat air terjun Tirtosari yang tingginya sekitar 20 meter. Dari sanalah sumber air dari gunung Sidoramping yang sangat jernih mengalir ke telaga Sarangan.
ADVERTISEMENT
Berada di antara pegunungan yang hijau, kawasan air terjun dan telaga menurut Mbah Sastro juga menjadi tempat tinggal berbagai jenis flora dan fauna. Meski jumlahnya sudah menurun sejak beberapa tahun sebelumnya, tapi di sekitar air terjun masih banyak dijumpai burung kutilang dan cendet.
Dulu, menurut Mbah Sastro juga ada burung jalak putih dan jalak penyu yang sangat indah. Tapi sekarang kedua spesies burung itu menurutnya sudah punah.
“Lah bagaimana, kalau sekarang ada dua saja misalnya menyarang di pohon langsung dipanjati, diambil. Sudah punah semua,” ujar Mbah Sastro.
Siang itu, di antara perbukitan dan ladang pertanian yang menghijau juga tampak seekor elang hitam terbang meliuk-liuk menembus kabut yang mulai turun. Elang itu terbang cukup rendah, tampaknya sedang mencari mangsa untuk makan siangnya.
ADVERTISEMENT
“Memang kadang masih sering kelihatan. Beruntung masnya bisa lihat,” ujar Mbah Sastro.
Sementara itu, telaga Sarangan juga menjadi rumah berbagai jenis ikan. Dua ikan asli telaga Sarangan adalah ikan wader dan tombro. Konon, dulu ketika ada ikan tombro merah yang tertangkap, tidak lama akan terjadi musibah di telaga, entah ada orang yang tenggelam atau bunuh diri.
Tapi sekarang hal itu sudah tidak pernah terjadi. Menurut Mbah Sastro, yang penting manusia dan alam bisa saling menjaga, menghormati, dan menghargai.
“Kalau manusia bisa menjaga alam, maka alam juga akan menjaga manusia di sekitarnya,” ujarnya.
Selain ikan, di sekitar telaga juga banyak dijumpai kera ekor panjang. Kera itu sudah lama berada di sana. Menurut Mbah Sastro, mereka turun dari hutan karena makanan di dalamnya sudah tidak ada. Masyarakat juga sudah tidak ada yang menanam jagung lagi di ladangnya, yang biasanya menjadi makanan favorit kera.
ADVERTISEMENT
Sementara di telaga, masih banyak dijumpai sisa-sisa jagung atau kacang yang dimakan manusia. Tak jarang, para pengunjung juga memberikan makan kepada mereka, sehingga kera-kera itu lebih betah di sana. Kendati demikian, asal tidak diganggu kera-kera itu tidak mengganggu. Dan sampai sekarang, masyarakat di sekitar telaga bisa hidup berdampingan dengan mereka.
Tidak hanya menjadi tempat tinggal berbagai jenis satwa. Ekosistem di sekitar telaga juga menjadi tempat tinggal berbagai jenis pohon, mulai dari cemara, pinus, bulu, dan pohon liwung yang langka.
“Di pulaunya itu juga ada pohon asli Sarangan, namanya pohon sarangan,” ujar Mbah Sastro.
Rasa Syukur yang Dituduh Syirik
Sesepuh sekaligus Juru Kunci Telaga Sarangan, Sastro Supar. Foto: Widi Erha Pradana.
Setiap tahun, masyarakat di Sarangan selalu memperingati hari ulang tahun telaga yang sudah menjadi sumber penghidupan mereka selama bertahun-tahun. Awalnya, perayaan dilakukan secara sederhana berupa selamatan dengan tumpeng dan pisang.
ADVERTISEMENT
Tapi beberapa tahun terakhir, perayaan tersebut dilakukan sangat meriah dengan tumpeng gono bahu setinggi dua meter. Ratusan masyarakat mengarak tumpeng tersebut keliling telaga.
“Yang dikandung maksud, orang Sarangan itu tidak musyrik, tidak menyembah kayu batu itu tidak,” ujar Mbah Sastro.
Di tepi telaga memang ada kayu dan batu besar, tapi menurutnya itu bukan karena tujuan musyrik. Kayu dan batu besar itu lebih ditujukan sebagai pengingat bahwa zaman dulu sebelum ada rumah, manusia hidup di bawah kayu dan batu.
Tradisi setahun sekali itu, menurut Mbah Sastro hanya berupa ungkapan syukur kepada Tuhan karena selama ini telaga Sarangan telah memberikan penghidupan bagi banyak orang. Sedikitnya, ada 500 orang yang mencari nafkah di sekitar telaga Sarangan.
ADVERTISEMENT
“Selamatan membawa uborampe dan sebagainya itu, maksudnya cuma syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, orang yang mencari rezeki di tepi telaga itu cuman mencari ridho Allah, tidak syirik, tidak musyrik, tidak menyembah kayu batu,” lanjutnya.
Selain tradisi arak-arakan, setiap tahun juga diadakan bersih desa, makam, masjid, sampai ke pulau yang ada di tengah telaga. Meski sudah ditekankan bahwa semua itu ditujukan sebagai ungkapan syukur atas nikmat Tuhan, tapi menurut Mbah Sastro masih ada saja orang-orang yang mengatakan semua tradisi itu sebagai praktik-praktik kemusyrikan.
“Mereka itu tidak mau ikut selamatan, bahwa di hutan ini ada sumber mata air yang diberi Tuhan. Tapi mereka mau minum airnya,” ujarnya.
Meski jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi jika tidak ditanggapi serius bukan tidak mungkin mereka akan menyebarkan virus-virus itu kepada generasi berikutnya untuk meninggalkan tradisi mereka.
ADVERTISEMENT
“Kita ini juga orang Jawa, orang Islam. Ndak syirik, ndak musyrik, tidak menyembah kayu batu. Cuma kita ini melestarikan nilai budaya Jawa yang adiluhung. Kalau orang Jawa sudah tidak tahu Jawa lagi, mau bagaimana? Orang luar saja kulak budaya sama orang Jawa,” ujar Mbah Sastro. (Widi Erha Pradana / YK-1)