'The Social Dilemma' Bagian 5: Menolak Teknologi Menghancurkan Hidup Kita

Konten dari Pengguna
6 Oktober 2020 12:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi teknologi yang mengambil alih dan menghancurkan hidup manusia. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi teknologi yang mengambil alih dan menghancurkan hidup manusia. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam film dokumenter berjudul The Social Dilemma, dijelaskan dengan sangat detail bagaimana teknologi yang mestinya membantu pekerjaan kita justru berpotensi merusak peradaban manusia.
ADVERTISEMENT
Algoritma yang media sosial bangun tidak atas dasar kemanusiaan. Algoritma media sosial semata-mata dibuat di atas dan untuk kepentingan bisnis. Akibatnya, teknologi yang mestinya membantu manusia kini justru menciptakan kekacauan massal, kemarahan, ketidaksopanan, kurang saling percaya, kesepian, alienasi, peningkatan polarisasi, peretasan pemilu, populisme, gangguan, dan ketidakmampuan berfokus pada isu sebenarnya.
Lantas, bagaimana caranya supaya perkembangan teknologi justru tidak menghancurkan peradaban kita?. Berikut seri penutup dari total 5 ulasan film dokumenter ‘The Social Dilemma’.
Pandangan pertama datang dari Sandy Parakilas, mantan Manajer Operasional Facebook, yang mengatakan bahwa menyelesaikan masalah ini bukan berarti harus melarang perusahaan teknologi fokus pada cuan. Yang menjadi masalah adalah ketika tidak ada regulasi atau aturan sehingga perusahaan bertindak seolah sebagai pemerintah yang asli.
ADVERTISEMENT
“Lalu mereka berkata,’Kami bisa mengatur diri’. Itu sebuah kebohongan. Itu konyol,” kata Sandy Parakilas dalam film berdurasi satu setengah jam itu.
Perusahaan teknologi memiliki banyak data sensitif tentang diri kita. Masalahnya, kita hampir tidak punya regulasi yang mengatur tentang privasi digital.
Joe Toscano, mantan Konsultan Desain Google mengatakan bahwa negara perlu memajaki perusahaan teknologi dari setiap pemungutan dan pemrosesan data yang mereka lakukan. Sama seperti saat kita membayar tagihan air dengan memantau jumlah penggunaan air.
“Kenakan pajak pada perusahaan ini atas aset data yang mereka miliki,” kata Joe Toscano.
Hal itu menurutnya akan membuat perusahaan memiliki alasan fiskal untuk tidak menguasai semua data yang ada di planet ini.
Hukum yang Jauh Tertinggal
ADVERTISEMENT
Roger McNamee, Investor Awal Facebook mengatakan bahwa hukum atau regulasi yang ada saat ini jauh tertinggal ketimbang perkembangan teknologi yang ada. Menurutnya, situasi yang ada sekarang bukan bertujuan untuk melindungi pengguna, melainkan untuk melindungi hak dan privilese perusahaan-perusahaan raksasa yang sangat kaya saat ini.
“Apa kita akan selalu tunduk pada orang terkaya dan paling berkuasa?” tanya McNamee.
Menurut dia, ada kalanya saat kepentingan nasional, kepentingan orang atau para pengguna, lebih penting ketimbang keuntungan seseorang yang sudah menjadi miliarder. Karena itu, menurutnya regulasi yang membatasi kebebasan perusahaan-perusahaan ini perlu segera dibuat demi melindungi masyarakat.
Hal ini senada dengan Shoshana Zuboff, seorang profesor dari Harvard Business School. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan teknologi ini telah merusak demokrasi dan kebebasan.
ADVERTISEMENT
Zuboff bahkan dengan tegas mengatakan bahwa aktivitas menjual belikan perhatian manusia oleh perusahaan teknologi ini harus dilarang. Seperti pemerintah melarang perdagangan organ tubuh manusia.
“Karena mereka punya konsekuensi merusak yang tak terelakkan,” kata Zuboff.
Ketika Manusia Menjadi Komoditas Tambang
Kehidupan modern menempatkan pohon mati memiliki nilai lebih tinggi secara finansial (lihatlah penebangan hutan) ketimbang yang masih hidup. Begitu juga paus mati, memiliki harga lebih tinggi ketimbang yang hidup (lihatlah perburuan paus).
“Jika ekonomi kita terus bekerja seperti itu, dan perusahaan tidak diatur, mereka akan terus menghancurkan pohon, membunuh paus, menambang tanah dan terus menyerap minyak dari dalamnya, meski kita tahu itu menghancurkan planet dan membuat dunia yang lebih buruk untuk generasi mendatang,” kata Justin Rosenstein, mantan teknisi Facebook dan Google.
ADVERTISEMENT
Itu adalah perilaku dan paradigma bisnis yang hanya menuhankan pada keuntungan. Seolah-olah secara ajaib perusahaan-perusahaan yang bertindak egois ini akan memberikan hasil terbaik.
Yang menakutkan adalah, saat ini kitalah yang menjadi komoditas tambang itu. Manusialah yang kini ditambang oleh perusahaan-perusahaan teknologi raksasa tersebut.
“Kini kitalah pohon dan pausnya. Perhatian kita yang ditambang,” lanjutnya.
Kita akan semakin menguntungkan perusahaan jika kita menghabiskan waktu menatap layar dan menatap iklan ketimbang menghabiskan waktu untuk menikmati hidup.
Teknologi Tak Mustahil Diubah
Tapi cara kerja teknologi bukanlah hukum fisika yang mustahil diubah. Ini adalah pilihan yang dibuat oleh para pakar teknologi selama ini, dan manusia bisa mengubahnya.
“Kita membangun ini, dan bertanggung jawab untuk mengubahnya,” kata Tristan Harris, mantan ahli etika desain Google.
ADVERTISEMENT
Model ekstraksi atau pertambangan perhatian manusia menurutnya bukanlah cara memperlakukan manusia yang baik. Struktur masyarakat yang sehat menurutnya bergantung pada keluarnya kita dari bisnis model bisnis yang merusak ini.
“Kita bisa menuntut produk ini dirancang secara manusiawi. Kita bisa menuntut untuk tidak diperlakukan sebagai sumber daya yang bisa diekstraksi,” ujar Tristan.
Hal itu terdengar mustahil. Tapi menurut Tristan, hal itu harus dilakukan, dan harus berhasil.
Pada akhirnya, mesin ini tidak akan berubah sampai ada tekanan publik yang besar. Hal ini bisa terjadi ketika masalah ini terus dijadikan percakapan di hadapan publik.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Matikan semua notifikasi di gawai kita. Lalu perlahan, hapus aplikasi-aplikasi media sosial yang hanya membuang dan membuat waktu kita tidak produktif. Jangan pernah klik video rekomendasi dari Youtube, karena itu akan menjadi perangkap untuk kita.
ADVERTISEMENT
Kita juga bisa mulai beralih dari Google ke Qwant sebagai mesin pencari karena tidak menyimpan riwayat pencarian. Kita juga bisa memasang ekstensi di Chrome yang terinstal di perangkat kita untuk menghapus rekomendasi.
Supaya tidak terjebak pada informasi palsu, kita perlu melakukan riset lebih banyak terhadap sebuah informasinya sebelum membagikan. Pastikan kita memperoleh beragam informasi, tidak hanya dari satu pihak saja. Bahkan, di media sosial pun kita perlu mengikuti orang yang tidak kita sukai supaya kita selalu mendapat informasi pembanding dan tidak terjebak pada polarisasi informasi.
Yang tidak kalah penting, jauhkan anak-anak dari media sosial.
“Perhatikan banyak orang di industri teknologi tak memberikan perangkat ini kepada anak mereka,” kata Tristan.
“Kami fanatik soal itu. Kami gila. Kami tak memberikan anak-anak kami waktu di depan layar,” kata Tim Kendall, mantan Eksekutif Facebook mengamini pernyataan Tristan.
ADVERTISEMENT
Jonathan Haidt, seorang psikologis sosial di NYU Stern School of Business mengatakan ada tiga aturan sederhana yang perlu diterapkan di dalam keluarga untuk mengatasi masalah ini. Pertama, tidak ada gawai di tempat tidur setiap malam.
“Apapun waktunya, 30 menit sebelum tidur, semua gawai keluar,” kata Jonathan Haidt.
Aturan kedua, tidak ada media sosial sampai anak SMA. Menurutnya, usia minimal seorang anak boleh menggunakan media sosial adalah 16 tahun. Sementara aturan ketiga adalah menyusun anggaran waktu dengan anak-anak kita.
Jaron Lanier, dia sangat merekomendasikan kita untuk menghapus dan melepaskan diri dari semua akun media sosial yang kita miliki. Alasannya adalah untuk menciptakan ruang percakapan sosial dan bebas dari mesin manipulasi.
“Jadi, lakukanlah! Keluar dari sistem. Ya, hapuslah. Lepaskan benda bodoh itu. Dunia ini indah. Lihat, di luar sana indah,” kata Jaron Lanier. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT