Tingkat Kematian Kanker Tinggi, Indonesia Darurat Dokter Spesialis Kanker

Konten Media Partner
7 Juni 2021 19:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito, Ibnu Purwanto. Foto: Widi Erha
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito, Ibnu Purwanto. Foto: Widi Erha
ADVERTISEMENT
Jumlah dokter spesialis kanker di Indonesia masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Sedikitnya jumlah dokter spesialis kanker ini mengakibatkan angka kematian pasien kanker di Indonesia masih sangat tinggi, sebaliknya angka kesintasan atau bertahan hidup pasien masih rendah.
ADVERTISEMENT
Dokter spesialis penyakit dalam hematologi onkologi medik (Sp.PD-KHOM) misalnya, di Indonesia hanya terdapat 188 orang, atau hanya 0,07 dari 100 ribu penduduk. Jumlah ini masih sangat rendah dibandingkan dengan jumlah yang direkomendasikan menurut UK Royal Colega of Physician, yakni 1,42 untuk tiap 100 ribu penduduk.
Begitu juga dengan jumlah dokter spesialis bedah onkologi yang hanya berjumlah 443 orang, spesialis obstetri-ginekologi konsultan ginekologi onkologi sebanyak 328 orang, spesialis patologi anatomi sebanyak 959 orang, bahkan dokter spesialis onkologi radiasi hanya ada 93 orang.
Kepala Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito, Ibnu Purwanto, mengatakan bahwa terbatasnya dokter spesialis kanker ini membuat pembentukan tim multidisiplin yang kuat untuk penanganan penyakit kanker menjadi sulit dilakukan. Akibatnya, angka kesintasan pasien kanker di Indonesia relatif rendah, hanya 35 persen. Angka ini jauh dibandingkan Thailand yang sudah mencapai 54,70 persen, bahkan Malaysia sudah mencapai 79,80 persen.
ADVERTISEMENT
Hal ini bisa dilihat dari jumlah penderita kanker di Indonesia yang pada 2018 mencapai 348.809 dengan jumlah estimasi kematiannya mencapai 207.210 jiwa.
“Jumlah tim kanker kita masih terbatas, sehingga sulit untuk membentuk multidisciplinary team yang kuat dan merata. Sedangkan pendekatan multidisciplinary approach adalah kunci suksesnya,” kata Ibnu Purwanto dalam diskusi daring yang diadakan oleh PKMK FK-KMK UGM, baru-baru ini.
Selain jumlahnya sangat sedikit, penyebaran layanan kanker di Indonesia juga belum merata, baik penyebaran sumber daya manusia, layanan diagnostik, serta layanan terapeutik terutama mesin radioterapi. Layanan kanker di Indonesia sampai saat ini masih terpusat di wilayah barat, terutama Jawa dan Sumatera. Sedangkan di wilayah tengah dan timur, layanan kanker masih sangat terbatas.
ADVERTISEMENT
“Untuk jangka pendek, pemerataan SDM itu mutlak dengan penempatan flying doctor pada rumah sakit provinsi yang belum punya layanan kanker, sehingga minimal setiap provinsi akan memiliki layanan kanker,” ujarnya.
Muhammad Faozi Kurniawan. Foto: Widi Erha
Hal serupa juga disampaikan oleh peneliti kebijakan kesehatan masyarakat di PKMK FK-KMK UGM, Muhamad Faozi Kurniawan. Dia mengatakan, ketersediaan rumah sakit memang masih terpusat di Jawa dan Sumatera. Dari 13 rumah sakit rujukan nasional untuk kanker, lima ada di Jawa, tiga di Sumatera, dua di Kalimantan, dua di Sulawesi, satu di Bali, sedangkan di Papua dan Maluku sampai saat ini belum tersedia rumah sakit rujukan nasional untuk penyakit kanker.
Tidak meratanya layanan kanker ini menurut Faozi disebabkan karena kondisi geografis yang sulit dijangkau. Sehingga dari segi ekonomi, investasi rumah sakit atau fasilitas kesehatan lebih menguntungkan jika dilakukan di Jawa dan Sumatra. Sebab proses pembangunannya lebih mudah, hasilnya lebih bagus, serta investasi pengembaliannya lebih cepat karena populasi penduduk yang lebih besar. Namun, hal itu mestinya tidak bisa dijadikan alasan untuk membiarkan situasi ini terus berlarut mengingat tingginya risiko kematian oleh penyakit kanker.
ADVERTISEMENT
“Pemerataan kesehatan harus dilakukan segera karena dengan adanya JKN deteksinya mestinya lebih bagus, datanya lebih bagus,” ujarnya.
Koordinator Program Kanker dan Kelainan Darah, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan, Aldrin Neilwan, mengatakan bahwa untuk menyelesaikan masalah kanker tidak serta merta cukup dengan menambah sumber daya manusia. Untuk menangani kanker, perlu adanya keseimbangan antara sumber daya yang dibutuhkan dengan pengetahuan dan kepedulian masyarakat yang merupakan sasaran dari layanan tersebut.
Menurut dia, kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan layanan yang ada saat ini masih rendah. Misalnya layanan untuk deteksi dini kanker, capaiannya baru mencapai 8,29 persen dari sekitar 40 juta sasaran.
“Masih sangat jauh sekali, artinya fasilitas yang sudah kita berikan belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat yang menjadi sasaran,” kata Aldirn.
ADVERTISEMENT