Tisu Toilet di Tengah Wabah Virus Corona

Konten dari Pengguna
10 Maret 2020 13:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tisu toilet. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tisu toilet. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Panic buying gegara wabah corona terjadi di banyak negara. Segala macam kebutuhan untuk bertahan hidup diborong, beberapa barang menjadi langka dan mengalami lonjakan harga. Masker dan hand sanitizer memang menjadi primadona di tengah wabah COVID-19, namun di negara yang memiliki kebiasaan membersihkan pantatnya menggunakan tisu, benda ini juga ikutan langka.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, di Sidney dilaporkan setidaknya tiga perempuan terlibat dalam baku jambak memperebutkan tisu toilet. Dalam kejadian sebelumnya masih di negara yang sama, polisi malah terpaksa menyetrum seorang lelaki yang dengan masalah serupa, berebut tisu toilet. Polisi juga sampai harus turun tangan untuk melerai seorang pelanggan yang mengeluarkan pisaunya dalam keributan karena kelangkaan produk ini. Tisu toilet adalah barang penting, yang untuk mendapatkannya butuh pengorbanan besar.
Lain halnya dengan Haidee Janetzki, ibu rumah tangga ini dinobatkan sebagai 'ratu tisu toilet' setelah secara tidak sengaja memborong tisu toilet dalam jumlah besar. Pasangan Chris Janetzki dan Haidee Janetzki asal Queensland, Australia, menghabiskan $3.260 untuk membeli 2.306 roll tisu toilet secara tidak sengaja. Alih-alih memesan 48 roll, nyonya rumah malah memesan 48 kotak besar.
ADVERTISEMENT
Tampak seperti lelucon awalnya, namun panic buying yang kini melanda Australia membawa berkah tersendiri bagi mereka. Keluarga Janitzki tidak perlu berebut atau berkelahi untu mendapatkan salah satu item primadona di negara tersebut. Stok yang mereka miliki diperkirakan baru akan habis 12 tahun. Namun mereka memilih untuk menjual sebagian stok yang mereka miliki dengan harga yang normal di tengah tingginya permintaan.
Cebok dengan Tisu: Tidak Bersih dan Tidak Efisien
Cara mencuci pantat setelah buang hajat lah penyebab tingginya permintaan. Australia, seperti halnya negara-negara di Eropa bagian utara dan Amerika, memiliki budaya membersihkan pantat mereka dengan tisu toilet. Bagi kita orang Indonesia, tisu toilet langka adalah hal yang tidak bisa dibayangkan, karena di negara yang berasaskan Pancasila ini memiliki cara yang lebih intim dalam urusan cebok.
ADVERTISEMENT
Sebuah artikel yang ditulis oleh Indi Saramajiva yang diunggah dalam platform medium, dibagikan di banyak halaman Facebook dalam beberapa hari terakhir, berjudul “White People, You Need To Wash Your Butts. Toilet paper is not enough”. Artikel ini bercerita kenapa cebok dengan tisu sulit diterima akal sebab itu tidak benar-benar membersihkan pantat.
Ya, di negara-negara "barat", perlakuan yang diterima pantat berbeda dengan perlakukan yang diterima anggota badan lain atau bahkan lantai rumah. Ketika anggota badan terkena kotoran, dengan segera dibersihkan, dicuci, dan dibilas, begitupun lantai rumah yang cairan pembersihnya memiliki varian aneka wewangian, pantat tidak mendapat keistimewaan itu. Pantat mendapat bilasan dan basuhan bersabun aneka wangi saat mandi, karena selepas buang hajat, pantat hanya diseka dengan tisu.
ADVERTISEMENT
Rata-rata setiap orang Amerika menghabiskan 141 roll tisu per tahunnya, jumlah itu senilai $ 40. Untuk memenuhi angka itu, dibutuhkan lahan yang sangat luas dan air yang banyak. Secara ekologis, cara ini tidak efisien. Namun tetap saja tisu toilet adalah barang kebutuhan penting rumah tangga.
Tangan Kiri Mein Kampf
Di Kawasan Eropa bagian selatan, toilet dan bidet lebih sering dijumpai, meski masih menggunakan tisu juga dalam prosesnya. Orang-orang Prancis menemukan bidet, yang pada mulanya ditempatkan terpisah dari toilet. Bidet memiliki bentuk seperti bak pencuci yang juga sering digunakan sebagai tempat buang air kecil untuk wanita. Bidet terpisah merupakan versi orisinil warisan keagungan Eropa abad ke-18.
Teknologi ini berkembang menjadi bidet tangan, yang lebih praktis dan sama efisiennya. Semprot, lap, lalu keringkan dengan tisu. Penggunaan tisu bisa ditekan, karena air telah mengerjakan tugasnya terlebih dahulu. Pantat Anda lebih bersih, lebih hemat waktu dan Anda sudah berkontribusi pada pelestarian alam.
ADVERTISEMENT
Keampuhan tangan kiri manusia Indonesia sudah lebih dari cukup untuk membuat tisu toilet menjadi barang yang tidak dicari di tengah kehebohan wabah Corona. Mungkin kita bisa mengekspor kebiasaan ini ke negara yang membutuhkan sebagai tambahan pemasukan, layak dicoba.
Jadi teringat adegan dalam film “Into the White”. Drama Perang Dunia Dua yang diangkat dari kisah nyata, tentang prajurit angkatan udara Jerman dan Inggris yang terperangkap di dalam sebuah pondok di tengah ganasnya badai salju Norwegia. Karena kalah senjata, pasukan Inggris yang berjumlah dua orang itu menjadi tahanan pasukan Jerman yang berjumlah tiga orang.
Prajurit Inggris, Robert Smith mencuri buku milik Josef Auchtor, prajurit angkatan udara Jerman untuk dijadikan tisu toilet. Terlepas dari intrik politik dan konflik dua negara, urusan buang air besar tetap membutuhkan tisu toilet, dan celakanya, buku yang digunakan berjudul ‘Mein Kampf’, yang didapat Josef setelah mengantri berjam-jam lamanya dan ditanda tangani langsung oleh Der Fuhrer sendiri.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, tentara Jerman yang bertindak selaku pemegang senjata di pondok tidak mengeksekusi tindakan berani prajurit Inggris, karena tisu toilet adalah kebutuhan dasar manusia, manusia barat maksudnya. (Anasiyah Kiblatovski / YK-1)