Ujian Sri Sultan HB IX dan Istana Keramat di Curug Banyunibo, Bantul

Konten dari Pengguna
28 Desember 2019 17:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Juru kunci Curug Banyunibo, Poniran, di depan curug yang masih tampak kering di awal Desember lalu. Foto : Max Maul
zoom-in-whitePerbesar
Juru kunci Curug Banyunibo, Poniran, di depan curug yang masih tampak kering di awal Desember lalu. Foto : Max Maul
ADVERTISEMENT
Ruang pendadaran itu kulalui dengan gemilang. Predikat positif berhasil kugenggam. Gempita dan bahagia mengelilingiku. Ucapan selamat untukku banjir hari itu. Air mata tak sadar menetes bersama senyum yang sulit dihentikan. Akhirnya aku lulus sarjana ekonomi, Pak, Buk !.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, aku duduk di bawah pohon kersen sambil menghirup nafas panjang. Ujianku telah usai, lalu memoriku mengalir pada sebuah siang.
Dua pekan lampau, Kamis 4 Desember 2019 di pelosok Bantul. Kebutuhanku akan tempat merenung membuatku bertemu surga baru di pelosok Bantul. Tepatnya di Air Terjun (Curug) Banyunibo kecamatan Pajangan, kabupaten Bantul. Sosok lelaki tua berbadan tegap menyambutku di bangunan kecil yang dipayungi pohon jati dan mahoni.
Sosok itu bernama Pak Ponijan, 70 tahun. Lelaki uzur yang bertugas menjadi kuncen tersebut menyambutku dengan beberapa cerita tak biasa dalam hangatnya suasana dhuha.
Ponijan memulai kisahnya dengan kesaksian bahwa Curug Banyunibo pernah menjadi saksi bisu ujian yang dilakukan oleh Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada rakyat Yogyakarta, khususnya warga kecamatan Pajangan kabupaten Bantul. Sembari mengunyah gorengan dan meneguk air putih, ia memulai ceritanya.
ADVERTISEMENT
Menyamar sebagai Gembel
Suasana alam di sekitar Curug Banyunibo, Bantul. Foto : Max Maul
Pada suatu hari di tahun 70-an, terdapat sosok mencurigakan di wilayah desa Krebet. Orang asing berpakaian tapi lusuh dan dekil ala prank gembel Youtuber tentu membuat warga bertanya-tanya. Warga semakin curiga karena sosok tersebut justru lari ketika didekati warga.
“Waktu itu ceritanya, warga ngejar dari arah krebet menembus hutan karena curiga,” kata Ponijan.
Semakin dikejar, semakin menjauh. Bukannya patah arang, warga Krebet dan desa lain semakin bersemangat dan kompak. Hingga pada suatu saat, gembel tersebut lenyap dari pandangan warga saat terpojok di atas curug Banyunibo.
“Gembel yang dikejar itu terpojok sampai di atas curug Banyunibo,” lanjutnya.
Gembel yang terpojok di dan tidak terkejar oleh pengejar dari atas lalu melakukan aksi tak biasa. Si Gembel terjun begitu saja dari atas. Tak disangka, sosok gembel tersebut mampu mendarat selamat di bawah air terjun yang deras serta memiliki tinggi lebih dar 15 meter dengan selamat. Tanpa tali, dan peralatan keamanan lainnya.
ADVERTISEMENT
“Warga juga ndak tau kok bisa selamat,” kata Poniran.
Warga yang mengejar tidak mengetahui cara gembel tersebut mendarat dengan selamat. Namun, keajaiban itu hanyalah yang pertama dan terakhir. Gembel tersebut dengan anehnya tidak lari kemana mana lagi, sehingga warga yang tinggal di sekitar air terjun Banyunibo lantas mengamankannya.
“Habis ditangkap warga, langsung ramai-ramai dibawa ke kantor kecamatan Pajangan,” kenang Ponijan.
Pada momen itulah, sosok gembel tersebut membuka penyamarannya. Puluhan warga lintas desa terkejut bukan main, bahwa sosok gembel yang mereka kejar adalah raja mereka, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Warga lalu bergantian memohon maaf dan mencium tangan sultan mereka.
“Kanjeng sultan bilang, tujuannya jadi gembel itu untuk menguji kesiapan warga dalam menghadapi ancaman dari luar,” kenang Ponijan.
ADVERTISEMENT
Yang Tak dan Kasat Mata
Banyunibo rupanya sama keramatnya dengan Kedung Pengilon yang terletak di Kecamatan Kasihan Kabupatan Bantul. Menurut Ponijan, tidak sedikit makhluk tak kasat mata yang tinggal di Banyunibo.
“Ada semacam keraton atau istana di sini mas.”
Aku terdiam, terhenyak. Pikiranku teringat pada Kedung Pengilon yang terletak tak jauh dari Curug Banyunibo.
Ponijan menanggapi kegelisahanku dengan tatapan tenang. Ia lalu menceritakan tentang ritual yang kerap dilakukan di kompleks Curug Banyunibo. Seperti halnya tempat wingit lain, kungkum atau berendam beserta tapa dan sesajen merupakan hal yang lumrah.
“Sering tiap Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon ada yang berkunjung kesini. Kalau nggak bertapa ya kungkum, tapi banyak juga yang memberikan sesajen.”
ADVERTISEMENT
Menurut Ponijan, tujuan yang diharapkan dari ritual itu tak lain adalah mengharapkan nasib yang lebih baik dari kekuatan tak kasat mata. “Biasanya nyari pusaka atau minta keselamatan gitu lah.”
Sebagai kuncen yang baik, Ponijan turut mengingatkan saya yang pertama kali berkunjung. Menurutnya, tahun 2015 lalu pernah ada anak muda yang mengejek Curug Banyunibo, lalu anak tersebut mendapat penyakit tidak bisa bicara.
“Satu satunya obat ya air dari Curug Banyunibo, ” tegasnya.
Selain itu, pada masa lalu pernah ada penampakan pocong di atas air terjun yang terekam saat pengunjung berfoto ria. “Lima tahun lalu kurang lebih ada kejadian itu (pocong),” kata Poniran.
Korban jiwa juga pernah diminta oleh Curug Banyunibo. Menurut Ponijan. pernah satu pemuda yang mati namun mayatnya tak pernah ditemukan.
ADVERTISEMENT
Tidak lama setelah itu, aku berpamitan kepada Pak Ponijan sembari mentadzaburri ayat-ayat Qauniyah dari Allah SWT. Jati, akasia, kelapa, mahoni, sengon, pisang, lumut, gabus, lele, ikan mas, flora fauna di Curug Banyunibo berputar ke kesadaranku bersama semua kisah yang tak kasat mata. Maka nikmat Tuhan manakah yang kita dustakan?
Memori itu terus terngiang. Hidup tanpa ujian adalah omong kosong. Memori dua pekan lalu akan terus kuingat. (Max Maul / YK-1)
Baca juga :