Ulasan 'The Social Dilemma' Bagian 3: Masalah Attention Business Model

Konten dari Pengguna
30 September 2020 11:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi film dokumenter Netflix 'The Social Dilemma.' Foto: Netflix
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi film dokumenter Netflix 'The Social Dilemma.' Foto: Netflix
ADVERTISEMENT
Teknologi internet membuat sebagian pekerjaan kita saat ini terasa lebih mudah. Melalui media sosial, kita bisa dengan mudah terhubung dengan teman, saudara, atau sahabat di belahan Bumi lain yang sudah sangat lama tidak pernah berjumpa. Tidak bisa dipungkiri, internet telah menciptakan keindahan-keindahan yang menakjubkan dalam kehidupan kita.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, media sosial turut berkontribusi besar dalam kasus pencurian data, kecanduan teknologi, berita palsu, juga polarisasi di tengah masyarakat.
Sebagian besar orang mungkin berpikir bahwa Google hanyalah sebuah mesin pencarian, sementara Facebook, Instagram, Twitter, dan media sosial lainnya, sekadar tempat untuk melihat kabar terbaru teman-temannya.
Yang jarang disadari, perusahaan dan platform-platform tersebut selalu berlomba-lomba menarik perhatian pengguna. Mereka berlomba-lomba bagaimana supaya manusia bisa terpaku berjam-jam di depan layar sembari menyaksikan layanan mereka.
Banyak layanan di internet yang seolah gratis, namun sebenarnya tidak. Semua itu dibayar oleh pengiklan. Untuk apa pengiklan membayar layanan tersebut? Supaya iklan mereka bisa ditampilkan ke kita melalui layanan tersebut. Sederhananya, perusahaan teknologi menjual perhatian penggunanya kepada pengiklan. Perhatian kita adalah produk yang dijual kepada pengiklan.
ADVERTISEMENT
“Jika kau tidak membayar produknya, berarti kaulah produknya,” kata Aza Raskin, Co-Founder Center for Humane Techy yang juga pernah bekerja di Firefox & Mozilla Labs, dalam film dokumenter produksi Netflix, ‘The Social Dilemma’.
Perubahan perlahan, kecil, dan tidak terlihat dalam persepsi dan perilaku kita, adalah produk yang dijual oleh perusahaan teknologi kepada pengiklan. Karena itu, mereka akan berlomba-lomba untuk mengubah perilaku, cara pikir, dan jati diri kita dengan sangat perlahan dan kecil sehingga tidak pernah kita sadari. Dan semua aktivitas kita di internet akan direkam, menjadi sebuah data yang berharga bagi bisnis mereka untuk menentukan prediksi bisnis yang tepat.
Polarisasi yang Keras
Media memiliki masalah yang sama, karena bisnis model mereka pada umumnya adalah menjual perhatian kita ke pengiklan. Menjadikan kita, pengguna layanan mereka, sebagai produk yang mereka jual ke pemodal. Tapi internet memungkinkan bisnis model seperti itu bisa dilakukan dengan lebih efisien, penetratif, ekspansif, dalam skala yang belum pernah terbayangkan.
ADVERTISEMENT
Salah satu dampak yang paling kentara dari penggunaan algoritma di internet untuk menarik perhatian kita adalah mencuatnya polarisasi di tengah masyarakat.
Guillaume Chaslot, mantan engineer di Youtube yang bertugas membuat algoritma video rekomendasi untuk kita, mengakui hal itu.
Dia kini sangat mengkhawatirkan algoritma yang dulu dia buat akan meningkatkan polarisasi di tengah masyarakat. Jokowi vs Prabowo, Trump vs Joe Biden. Setiap pemilu memang bisa saja membuat pilihan berbeda tapi media sosial membuat perbedaan pilihan itu menjadi seolah-olah perbedaan yang sangat tajam dan sulit didamaikan. Itu semua karena konten yang datang ke pendukung Jokowi adalah konten anti Prabowo, begitu sebaliknya, dalam derajat yang sangat massif.
Ketahuilah, dari sudut pandang bisnis, polarisasi sangat efisien untuk membuat masyarakat terus online sehingga durasi menontonnya semakin panjang.
ADVERTISEMENT
Algoritma yang dibangun di internet selalu mencari beberapa perangkap yang sangat kuat dan mana perangkap yang paling sesuai dengan minat kita.
“Lalu jika kita mulai menonton salah satu video itu, itu akan merekomendasikannya berulang-ulang kali,” kata Guillaume Chaslot.
Informasi Palsu Adalah Sumber Keuntungan
Bukan hanya polarisasi, di Twitter, berita palsu bahkan menyebar enam kali lebih cepat ketimbang berita yang sebenarnya. Sistem algoritma yang dibangun memang memberi ruang untuk penyebaran berita palsu. Alasannya, informasi palsu akan memberi semua perusahaan itu lebih banyak uang.
“Daripada kebenaran. Kebenaran itu membosankan,” kata Sandy Parakilas, mantan Manajer Operasi Facebook.
Model bisnis yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan ini adalah model bisnis yang mencari profit dari disinformasi. Mereka menghasilkan uang dengan cara membebaskan informasi beredar bebas tanpa kontrol, dan diterima siapa saja dengan harga terbaik.
ADVERTISEMENT
Belakangan, kita banyak sekali menemui informasi-informasi ngawur tentang virus corona, terutama yang kaitannya dengan teori konspirasi. Semua orang dengan latar belakang yang tidak jelas, seketika menjadi seorang ahli dadakan yang memberikan informasi-informasi ngawur tentang virus corona.
Tapi bagi para perusahaan penyedia layanan, informasi-informasi seperti itulah yang disukai karena akan memancing semakin banyak perhatian pengguna. Itu artinya, aliran uang dari iklan akan semakin lancar.
Tapi, apa yang kita lihat dari isu bahwa COVID-19 adalah konspirasi hanyalah versi ekstrem dari apa yang terjadi di seluruh ekosistem informasi kita. Media sosial memperkuat gosip dan desas-desus secara eksponensial hingga kita tidak tahu mana yang benar, apapun isu yang kita pedulikan.
Setiap hari, algoritma menjadi sangat ahli dalam mempelajari cara memicu kita. Makin mahir menciptakan berita palsu yang kita serap seolah-olah itu kenyataan. Kita menjadi kehilangan kendali atas jati diri dan keyakinan kita.
ADVERTISEMENT
Untuk eskalasi lebih besar, hal ini sangat mungkin dijadikan sebagai senjata untuk mencapai kepentingan politik. Algoritma media sosial bahkan mampu mengguncang kestabilan sebuah pemerintahan.
Maria A. Ressa, CEO Rappler Filipina, menjelaskan bagaimana situasi sebuah negara yang sumber informasinya hanya berasal dari Facebook dan media sosial.
“(Di Filipina) Demokrasi hancur begitu cepat. Enam bulan,” kata Maria Ressa.
Para pengusaha teknologi meyakini semua masalah ini bisa diselesaikan dengan membangun teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Tapi Catherine Helen O’Neil, seorang matematikawan dan ilmuwan data menegaskan bahwa itu adalah kebohongan.
Menurutnya, AI tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah yang ada sekarang, terutama soal distribusi berita palsu atau hoaks.
“Itu bohong. Orang-orang membahas AI seolah AI akan paham soal kebenaran. (Padahal) AI takkan menyelesaikan masalah ini. AI tak bisa menyelesaikan berita palsu. Mereka tak punya proksi kebenaran yang lebih baik dari klik,” ujar Catherine.
ADVERTISEMENT
Ini semua bukan soal teknologi yang menjadi ancaman eksistensial. Namun kemampuan teknologi untuk menghadirkan kemungkinan terburuk di masyarakat. Kemungkinan terburuk itulah ancaman eksistensialnya.
Teknologi yang mestinya mempermudah pekerjaan manusia, kini justru menciptakan kekacauan massal, kemarahan, ketidaksopanan, kurang saling percaya, kesepian, alienasi, peningkatan polarisasi, peretasan pemilu, populisme, gangguan, dan ketidakmampuan berfokus pada isu sebenarnya. Dan kini masyarakat tak mampu menyembuhkan dirinya dan berubah menjadi semacam kekacauan.
“Kurasa dalam jangka pendek, perang saudara,” kata Sandy Parakilas, mantan Eksekutif Facebook yang juga pernah menjadi Presiden Pinterest ketika ditanya apa yang dia cemaskan sekarang dari berkembangnya teknologi informasi saat ini. (Widi Erha Pradana / YK-1)