Universitas Murdoch Tutup Program Bahasa Indonesia, Apa Dampak bagi Kita Semua?

Konten dari Pengguna
14 Desember 2020 18:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Universitas Murdoch. Foto: https://muisamurdoch.wordpress.com/category/student-life/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Universitas Murdoch. Foto: https://muisamurdoch.wordpress.com/category/student-life/
ADVERTISEMENT
Universitas Murdoch Australia mengumumkan akan menutup program pengajaran Bahasa Indonesia pada 2021 mendatang. Mengutip pemberitaan ABC, juru bicara Universitas Murdoch mengatakan bahwa mereka telah mengambil keputusan yang sulit untuk menutup tiga program pengajaran di kampusnya, yakni Bahasa Indonesia, Teater, serta Drama dan Radio.
ADVERTISEMENT
“Kami menyesali rencana penangguhan penawaran program kuliah bahasa Indonesia ini, namun dengan kurang dari sepuluh orang yang mendaftar setiap tahunnya selama tiga tahun terakhir, maka sulit dilakukan,” kata juru bicara Universitas Murdoch kepada ABC.
Profesor Emeritus David T Hill, yang pernah mengajar Bahasa Indonesia di Universitas Murdoch selama 25 tahun mengaku sangat kecewa dengan keputusan pengurus kampus.
“Saya merasa sangat kecewa atas pengumuman Universitas Murdoch minggu ini yang menyatakan minat administrasi universitas untuk menutup program pengajaran Bahasa Indonesia,” ujar David T Hill ketika diubungi, Senin (7/12).
Pasalnya, Bahasa Indonesia telah diajarkan di Universitas Murdoch sejak kampus itu didirikan pada 1974 -- yang awalnya menggunakan nama Bahasa Melayu. Menurut Hill, program tersebut cukup terkenal dan bermutu. Universitas Murdoch telah menghasilkan alumni-alumni yang sangat lancar berbahasa Indonesia dan mendapat pekerjaan yang sangat prestisius.
ADVERTISEMENT
“Antara lain sebagai ilmuwan, akademikus, guru sekolah, pebisnis atau pengusaha, pegawai negeri dalam Kemlu Australia, dan instansi pemerintah yang lain,” lanjutnya.
Apalagi saat ini Universitas Murdoch menanggung sekitar 7 persen dari jumlah mahasiswa yang belajar Bahasa Indonesia di Australia. Jumlah ini menurut Hill cukup besar, sehingga mempunyai peranan yang penting dalam hubungan Australia dan Indonesia.
Kekurangan Pengajar
Profesor David T Hill mengatakan, beberapa tahun terakhir jumlah mahasiswa program pengajaran Bahasa Indonesia di Murdoch memang selalu mengalami penurunan. Fenomena ini menurutnya terjadi di seluruh Australia selama dua dekade terakhir.
Tapi menurutnya, ada faktor lain yang menyebabkan jumlah mahasiswa program pengajaran Bahasa Indonesia di Murdoch terus menurun, yaitu kebijakan pengurus universitas yang dia nilai kurang tepat. Hal ini mempersulit peningkatan jumlah mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Murdoch.
ADVERTISEMENT
“Struktur ijazah serta syarat-syarat pilihan mata kuliah diubah-ubah sedemikian rupa sehingga kadang-kadang mahasiswa sulit memilih Bahasa Indonesia dalam struktur ijazah mereka,” ujarnya.
Faktor lain menurutnya adalah kurangnya tenaga pengajar. Sampai tahun 2015, ada dua staf di program tersebut termasuk dirinya. Namun kini dia sudah pensiun, sehingga saat ini program Bahasa Indonesia ditanggung oleh satu dosen saja.
“Untuk mempromosikan Bahasa Indonesia dan memperkuat serta memperluas program BI, sebaiknya ada paling sedikit dua orang (tenaga pengajar),” kata Hill.
Dampak untuk Hubungan Australia-Indonesia
Penutupan program Bahasa Indonesia menurut David T Hill tentu akan menimbulkan dampak negatif bagi hubungan bilateral Australia-Indonesia. Sebab, untuk mempertahankan hubungan ‘people to people’ yang sehat, aktif, produktif, dan simpatik, menurut dia harus ada keterampilan berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia yang paling dekat di hati.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, ada peran besar penutur Bahasa Indonesia yang berkewarganegaraan Australia. Merekalah yang akan berfungsi sebagai perantara, penerjemah, penyambung lidah, serta memberi isi pada pengertian antarbudaya dan antarbangsa.
“Ini sangat penting di negara-bagian kami, di Australia Barat, dimana hanya dua universitas yang mengajar Bahasa Indonesia. Kalau ditutup di Murdoch, akan tinggal satu universitas saja,” ujarnya.
Karena itu, dia berharap pihak pengurus Universitas Murdoch akan membatalkan rencana penutupan pengajaran Bahasa Indonesia. Apalagi menurutnya sudah ada bantuan dari pihak Indonesia untuk memberi dukungan dan bantuan.
“Semoga, masalah ini dapat diatasi bersama-sama, supaya Universitas Murdoch dapat tetap memainkan peranan yang berarti dalam mempererat kedua bangsa kita,” kata David T Hill.
Sementara itu, Ariel Heryanto, sosiolog yang kini menjabat sebagai Herb Feith Professor untuk Studi Indonesia di Universitas Monash Australia, mengatakan bahwa penutupan program Bahasa Indonesia di Universitas Murdoch dan sejumlah kampus lain di Australia memang akan berdampak pada hubungan Australia-Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam jangka panjang, menurutnya akan semakin sedikit sarjana yang terdidik bertahun-tahun sebagai ahli khusus atau spesialis tentang Indonesia.
“Padahal hingga 40 atau 50 tahun lalu, Australia menjadi sarangnya para ahli di dunia tentang Indonesia,” ujar Ariel Heryanto ketika dihubungi, Selasa (8/12).
Namun dampak itu menurutnya jangan terlalu dibesar-besarkan. Pasalnya, hubungan antara Australia dan Indonesia tidak terbatas hanya di bidang akademik saja. Keharmonisan hubungan bilateral antarnegara tidak hanya dipengaruhi oleh orang-orang di kampus atau yang pernah lulus kuliah di bidang kajian Indonesia saja.
“Hubungan antarpemerintah, dan antarwarga masih berjalan terus, walau terbatas dan serba dangkal atau praktis,” lanjutnya.
Menurutnya, masih banyak orang Indonesia yang berkunjung ke Australia untuk berbagai urusan, baik sebagai penetap sementara maupun untuk jangka waktu lama. Begitupun sebaliknya, dari Australia ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, apa yang terjadi di Universitas Murdoch merupakan satu dari serangkaian kejadian serupa di sejumlah universitas di Australia yang sudah berjalan beberapa tahun.
Sudah bertahun-tahun pihak pimpinan di sejumlah perguruan tinggi kehilangan selera mengembangkan bidang atau program pendidikan yang dianggap ‘kering, yakni tidak menarik banyak mahasiswa, kurang mendatangkan pasokan dana, dan kurang meningkatkan status atau prestasi lembaga di bidang penelitian dan industri.
“Kajian tentang Indonesia, dan khususnya Bahasa Indonesia, merupakan sebagian dari sejumlah korban kondisi tersebut. Ada sejumlah korban lain, khususnya di bidang humaniora,” lanjutnya.
Keadaan itu diperparah dengan adanya pandemi tahun 2020. Pembatasan ketat wilayah negara untuk mengatasi wabah menyebabkan larangan kunjungan dari luar negeri masuk ke Australia. Jangankan orang asing, bahkan puluhan ribu warga Australia menurutnya terkatung-katung di luar negeri karena tidak bisa pulang ke negaranya.
ADVERTISEMENT
“Macetnya program perkuliahan dan pemasukan dari uang perkuliahan merupakan pukulan besar secara finansial dan mental bagi banyak universitas,” ujar Ariel Heryanto. (Widi Erha Pradana / YK-1)