Usaha Wartawan Udin Terus Hidup di Dada Anak Muda

Konten Media Partner
6 Mei 2021 15:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
“Kalau diibaratkan warna, Udin itu warna merah. Berani, sampai sekarang tetap nyala,” kata Elis Azizah Putri, 22 tahun, ketika sedang mengunjungi pameran Memorabilia Udin di Antologi Space Jogja, Rabu (5/5).
Dua orang pengunjung sedang melihat poster Udin di pameran Memorabilia Udin di Antologi Space Jogja, Rabu (5/5). Foto: Widi Erha Pradana
Dua puluh lima poster berwajah Fuad Muhammad Syarifuddin, alias Udin tergantung rapi dengan latar belakang kuning, merah, biru, ungu, hijau dan warna-warna lain. Pada poster itu tertulis angka 1996 sampai 2020 secara berurutan, dari poster bergambar wajah Udin yang polosan sampai Udin yang mengenakan masker.
ADVERTISEMENT
Di sana, tangan Elis sedang membuka poster itu satu demi satu dengan tatapan mata yang khidmat, mengamati lekat-lekat setiap poster yang ada di depannya. Sebelumnya, Elis hanya tahu Udin dari poster-poster dan mural yang banyak terpampang di sudut Jogja dengan tulisan ‘Wartawan Udin Dibunuh Karena Berita’.
“Ikonik banget kan gambarnya, warna merah sama background-nya hitam,” kata mahasiswi akhir di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta itu.
Elis tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa sosok Udin yang biasanya hanya dia lihat di poster-poster pinggir jalan ternyata masih dikenang dan bertahan dalam hati banyak orang meski kasusnya sudah berjalan nyaris seperempat abad. Dia juga tidak pernah membayangkan seseorang bisa dibunuh hanya karena berita.
ADVERTISEMENT
“Keren banget sampai dibuat pameran kayak gini, ternyata ini kasus besar yang sampai sekarang belum selesai,” lanjutnya.
Tak jauh dari Elis, ada Marcel Giovani, 22 tahun, yang sedang mengamati membaca kliping artikel-artikel berita dari Koran Bernas -tempat Udin bekerja- tentang kasus Udin yang dikumpulkan sejak tahun 1996. Sama dengan Elis, sebelumnya juga tidak banyak yang dia ketahui tentang Udin.
“Tahu dari jalan itu, ada posternya yang wartawan dibunuh karena berita itu,” kata Marshel.
Dalam benaknya, profesi wartawan bukanlah pekerjaan yang berisiko sama sekali. Mereka hanya bertugas mencari berita, lalu menulisnya. Bahkan saat ini banyak wartawan yang hanya bekerja di kantor, jauh dari risiko-risiko celaka dan bahaya.
Tapi setelah membaca beberapa kliping dan melihat poster yang dipamerkan, Marshel baru tahu bahwa profesi wartawan ternyata punya sisi kelam yang mengerikan. Meski tidak terjun ke medan perang dengan memikul senjata, ternyata wartawan bisa mati dibunuh karena berita yang mereka tulis.
ADVERTISEMENT
“Kalau menurutku Udin itu warna merah. Berani memberitakan kebenaran, pada akhirnya dibunuh juga, jadi merah itu juga darah,” ujarnya.
Rabu (5/5) sejak buka puasa hingga pameran Udin tutup, sayang hanya 2 mahasiswa itu yang mengunjungi pameran. Tak banyak yang bisa digali dari undangan kenalan Udin, hari itu.
Memasyarakatkan Udin Lewat Seni
Foto: Widi Erha Pradana
Kurator pameran Memorabilia Udin, Anang Saptoto, menjelaskan bahwa pameran seni dipilih sebagai medium untuk menyampaikan isu pembunuhan Udin karena dinilai tak memiliki sekat masyarakat. Seni bisa dinikmati dan menjangkau semua kalangan kelas apapun. Seni, menurutnya memiliki kekuatan lain yang bisa memengaruhi seseorang melalui emosi dan rasa.
Melalui pameran ini, mereka ingin supaya isu pembunuhan Udin bisa lebih populer, tidak hanya menggema di kalangan jurnalis dan aktivis-aktivis pergerakan saja. Salah satu sasaran utama adalah anak-anak muda.
ADVERTISEMENT
“Makanya konsepnya kan kita bikin yang kekinian, biar relevan dengan anak-anak muda. Supaya isu ini juga bisa masuk ke anak-anak gaul,” ujar Anang.
Poster-poster yang dipamerkan menurut dia juga sengaja dibuat bernuansa lebih dingin, tidak seperti poster-poster yang banyak dipasang di jalanan yang sangat kental unsur aktivismenya.
“Kita harus tahu, di mana kita harus teriak, di mana harus berbisik. Kalau di jalanan emang harus teriak, tapi di sini kan suasananya tenang, enggak perlu teriak,” lanjutnya.
Dia mengakui, tidak mudah membumikan kembali isu pembunuhan Udin yang sudah berlangsung hampir seperempat abad ini di tengah masyarakat, apalagi anak-anak muda yang zamannya sudah jauh berbeda. Karena itu, supaya bisa menjangkau anak-anak muda mereka memilih Antologi Collaborative Space yang banyak digunakan anak-anak muda untuk nongkrong, mengerjakan tugas kuliah, maupun bekerja sebagai lokasi pameran.
ADVERTISEMENT
“Kalaupun mereka tidak tertarik dengan isunya, setidaknya mereka lihat dan tahu sedikit tentang Udin melalui apa yang dipajang,” ujar Anang.
Udin dan Suramnya Nasib Jurnalis
Tulisan di mug yang dipajang di pameran. Foto: Widi Erha Pradana
Pameran seni bertajuk Memorabilia Udin ini diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta berkolaborasi dengan Connecting Design Studio, IndonesiaPENA, serta Antologi Collaborative Space, ini digelar untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional pada 3 Mei. Ketua AJI Yogyakarta, Shinta Maharani, mengatakan bahwa cukup besar antusias publik untuk hadir dalam pameran tersebut, meskipun sebenarnya tidak semua yang datang awalnya ingin mengunjungi pameran, melainkan untuk mengerjakan tugas atau sekadar ngopi.
Pameran ini menjadi pengingat bagi pemerintah khususnya, untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, salah satunya Udin yang menjadi ikon dalam pameran tersebut. Meski kasus Udin sudah berlangsung nyaris 25 tahun dan tak juga menemui titik terang, menurutnya masih tetap ada harapan untuk menguak dalang di balik kasus tersebut.
ADVERTISEMENT
“Mantan Hakim Agung Artidjo mengatakan, kasus pembunuhan Udin tidak bisa kedaluwarsa kalau kemudian tidak ada terdakwa yang kemudian menjadi aktor intelektualnya,” kata Shinta Maharani.
Gagalnya penegak hukum mengungkap kasus pembunuhan Udin, menurutnya menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Terlebih sampai sekarang, kasus kekerasan terhadap jurnalis sampai sekarang masih terus terjadi. Sepanjang 2020 sampai Mei saja, AJI mencatat telah terjadi 90 kasus kekerasan terhadap jurnalis, angka ini merupakan yang terbanyak sepanjang 10 tahun terakhir.
Selain Udin, ada juga sembilan jurnalis lain yang dibunuh ketika menjalankan kerja jurnalistiknya yang semua penegakan hukumnya bermasalah. Jika tidak diselesaikan, hal itu menurut Sinta akan berpengaruh pada psikologis para jurnalis ketika menjalankan kerja-kerja jurnalistik, terutama jurnalis-jurnalis investigasi.
ADVERTISEMENT
“Udin kenapa penting dan menjadi ikon, karena dia adalah wartawan pertama yang dibunuh pada 1996 itu. Kemudian Udin adalah salah satu yang mengawali jurnalisme investigasi dan kemudian terbunuh,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)