'Video on Demand' dan Eksplorasi 'VR' Jadi Peluang Film Dokumenter

Konten dari Pengguna
9 Desember 2019 17:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu pengunjung FFD 2019 menjajal film dokumenter yang dikemas dalam medium Virtual Reality. Foto : Widi Erha
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu pengunjung FFD 2019 menjajal film dokumenter yang dikemas dalam medium Virtual Reality. Foto : Widi Erha
ADVERTISEMENT
Ada sekitar 75 film dari berbagai negara yang diputar dalam Festival Film Dokumenter (FFD) di Taman Budaya Yogyakarta sejak 1 sampai 7 Desember 2019. Dari siang sampai malam, film demi film silih berganti diputar, siapa saja bisa menontonnya secara gratis.
ADVERTISEMENT
Meski gratis, sebenarnya tak terlalu mudah bagi festival untuk mendatangkan penonton. Direktur FFD 2019, Henricus Pria mengatakan film dokumenter meski tak terlalu familiar untuk penonton Indonesia, namun masih terus tumbuh.
Sementara dari sisi jumlah produsen, di Indonesia sudah semakin banyak orang-orang yang membuat film dokumenter.
“Mungkin didukung juga dengan adanya sekolah film. Sekarang kan film bukan lagi benda yang eksklusif, orang bisa bikin film dengan beli kamera digital, belajar dari YouTube mungkin udah bisa bikin film,” ujar Pria ketika ditemui di TBY, pekan lalu di sela perhelatan FFD.
Film dokumenter selama ini tumbuh dan bertahan masih dengan hanya menautkan dirinya pada sirkuit kebudayaan yang lebih luas, seperti menjadikannya sebagai bahan ajar, advokasi isu tertentu, dan juga menyimpan kekayaan literatur.
ADVERTISEMENT
Yang sekarang perlu diperkuat lagi menurut Pria justru bagaimana agar masyarakat luas bisa lebih banyak mengakses film-film dokumenter. Di platform-platform digital berbayar seperti Netflix, sebenarnya sudah semakin banyak film-film dokumenter yang ditawarkan.
Firman Fajar Wiguna, 18 tahun, salah seorang peserta festival mengatakan bahwa setiap tahun semakin banyak inovasi dalam pembuatan film-film dokumenter. Misalnya dengan adanya penggunaan media virtual reality yang juga sudah mulai dikembangkan oleh FFD.
“Itu menurutku salah satu gaya baru untuk menyajikan gaya dokumenter sih. Apalagi di zaman yang sudah semakin canggih juga kan harus mengikuti juga perkembangannya,” kata pemuda yang akrab disapa Igun itu.
Siapa Penonton Film Dokumenter?
Salah seorang pengunjung hendak memasuki area perhelatan FFD 2019. Foto : Widi Erha
Dalam satu pekan, biasanya ada sekitar 4.000 sampai 5.000 orang yang menonton penayangan film dokumenter di FFD. Peminat film dokumenter menurut Pria semakin meningkat jumlahnya, meskipun perkembangannya tidak terlalu pesat. Lambatnya perkembangan ini disinyalir karena adanya stigma membosankan yang selama ini menempel pada film dokumenter.
ADVERTISEMENT
“Mungkin karena film dokumenter itu masih ketempelan stigma membosankan, tentang sejarah, dan sebagainya,” ujar Pria.
Di Yogyakarta, kebanyakan penikmat film dokumenter datang dari kalangan mahasiswa. Mahasiswa dominan di antara konsumen film dokumenter karena dinilai lebih terbuka dengan medium-medium yang baru.
“Mungkin mereka juga punya kebutuhan untuk riset dan sebagainya,” lanjutnya.
Soal genre atau tema yang diangkat menurut Pria tidak ada yang benar-benar menonjol di antara yang lain. Semua genre menurutnya memiliki penikmatnya masing-masing baik itu isu politik, sosial, budaya, pendidikan, lingkungan, dan sebagainya.
Rahmad Jiwandono, salah seorang penonton mengatakan film dokumenter memiliki daya tarik tersendiri. Film dokumenter menurutnya selalu menyajikan hal yang berbeda karena berdasarkan pada observasi di lokasi.
“Dan cara penyampaian film beda-beda, tergantung perspektif sang sutradara,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Pengunjung lain, Dina Anggraeni, baru kali ini datang ke ke festival film. Biasanya dia hanya menonton film-film fiksi yang tayang bioskop.
“Penasaran, tadi dikasih tahu temen. (Waktu nonton) agak bingung sih, karena tadi kebetulan bahasanya mandarin kan, masalah yang diangkat juga masih asing buat aku,” kata Dina.
Festival Film yang Tak Sekadar Membahas Film
Ada misi besar di balik penyelenggaraan FFD kali ini, yaitu mewujudkan kesadaran akan isu inklusivitas dan menciptakan ruang yang aman untuk semua.
“Jadi nggak cuma festival yang membahas film saja. Tetapi bahwa dari film itu kami bisa membahas banyak hal, misalnya mengenai ruang aman yang bebas kekerasan, bebas pelecehan seksual, dan sebagainya,” ujar Pria.
Sebagai bentuk advokasi atas hak-hak penyandang disabilitas, panitia juga menyediakan ruang menonton film menggunakan teknologi virtual reality (VR). Di sana, semua film yang ditayangkan adalah film-film tentang kehidupan para penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
“Walaupun effort-nya belum 100 persen, tapi kita ingin memulai kesadaran agar semua akses untuk difabel bisa dipermudah,” lanjutnya.
Bagaimana Industri Film Dokumenter Bisa Hidup?
Suasana pertunjukan salah satu film FFD di Taman Budaya Yogyakarta. Foto : Widi Erha
Ketika berbicara industri film dokumenter di Indonesia, menurut Pria saat ini perkembangannya memang masih relatif lambat. Namun sebenarnya ada platform-platform yang bisa dimanfaatkan para sineas untuk memproduksi film. Sejumlah platform itu memberikan kesempatan bagi para pembuat film dokumenter untuk mendapatkan bantuan atau co-production.
“Misalnya kayak yang diselenggarakan Bekraf, atau dari institusi lain seperi In-Docs yang fokusnya pada pendanaan,” ujar Pria.
Saat ini menurutnya platform yang ada sudah semakin terbuka. Di Yogyakarta misalnya, pemerintah melalui Dinas Kebudayaan juga menyediakan dana keistimewaan khusus untuk pengembangan film dokumenter.
“Jadi bisa daftar di dalam negeri maupun di luar negeri,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Perkembangan film dokumenter di Indonesia sekarang memang masih bergantung pada pendanaan pemerintah dan donatur. Masih sulit film dokumenter untuk mendapat keuntungan dari penayangannya, terlebih belum banyak film dokumenter yang tayang di bioskop juga.
“Nggak usah ngomongin dokumenterlah, yang fiksi saja masih struggle,” ujar Pria.
Besarnya jumlah penduduk Indonesia dengan selera yang beragam seharusnya bisa dilihat sebagai potensi pasar juga. Tinggal bagaimana proses sosialisasi atau memperkenalkan masyarakat dengan film dokumenter. Terlebih perkembangan sinema di Indonesia secara umum sekarang menurut Pria mengalami tren yang positif.
Di sini keberpihakan regulasi pemerintah atas perkembangan dunia perfilman memegang peran penting selain kualitas film itu sendiri. Sebab, sejauh ini menurutnya belum ada proteksi pemerintah terhadap dunia perfilman yang dilakukan secara nyata.
ADVERTISEMENT
Menurut Pria, ke depan film dokumenter masih sulit untuk bisa sukses sendiri tanpa pendanaan dari luar. Perlu ada investor yang paham akan penggunaan dan pemanfaatan film dokumenter.
Ini senada dengan yang dikatakan Igun, menurutnya selama ini produksi film dokumenter lebih banyak mengandalkan kerja sama dengan investor untuk membiayai produksi filmnya. Bahkan, tidak sedikit para sineas yang membiayai sendiri film-film dokumenter garapannya.
“Sekarang mungkin kita belum ngomongin industri ya, kita bahkan masih ngomongin soal film dokumenter itu bisa sampai dulu. Bahwa ini ada tontonan ini, dan punya konten yang sangat kaya. Apalagi di Indonesia masih banyak yang belum dieksplor lagi ceritanya. Jadi it’s in development,” ujar Pria.
Jalan Keluar VR
Direktur FFD 2019, Henricus Pria. Foto : Widi Erha
Dalam gelaran FFD kali ini, ada hal baru yang ditampilkan yakni penggunan teknologi virtual reality (VR), sehingga penonton seolah menjadi tokoh di dalam film tersebut. Saya mencoba menonton sebuah film pendek berjudul Bulu Mata Kaki menggunakan VR. Film ini merupakan garapan Firman Fajar Wiguna, seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
ADVERTISEMENT
Bulu Mata Kaki menceritakan seorang penyandang disabilitas di Purbalingga, Kuswati, 26 tahun yang bekerja sebagai pembuat bulu mata atau dalam bahasa setempat disebut ngidep. Saya tak asing dengan pekerjaan ini, di Banyumas, tetangga saya juga cukup banyak yang bekerja sebagai pembuat bulu mata palsu. Bukan perkara mudah, saya pernah beberapa kali mencoba membuatnya karena penasaran, tapi tak pernah jadi.
Sementara dalam film itu, Kuswati dengan lincah bisa membuat bulu mata itu tanpa kedua tangannya. Ya, dia adalah seorang penyandang tunadaksa. Kuswati yang hanya sekolah sampai kelas 2 SD karena tak kuat diejek teman-temannya, menyulam bulu mata menggunakan kedua kakinya. Sepasang bulu mata dihargai Rp 200 rupiah, dalam sehari dia biasa mendapatkan Rp 3 ribu.
ADVERTISEMENT
“Kalau dihitung-hitung ya jelas nggak cukup. Tapi ya harus dicukup-cukupin. Daripada nganggur di rumah,” kata Kuswati berbahasa Jawa Banyumasan dalam film itu.
Yang paling menarik bagi saya sebenarnya teknologi VR yang digunakan dalam penayangan film itu. Saya seolah berada di dalam kehidupan si tokoh dalam film. Saya juga melihat latar film hingga 360 derajat secara memutar, tak hanya tampak depan seperti saat kita melihat bioskop atau televisi.
“VR ini salah satu yang banyak menarik penonton ya. Karena secara medium itu sangat baru, dan kita juga masih eksplor juga. Tapi selama ini banyak feedback yang positif,” ujar Pria.
Saat ini festival masih menjadi medium utama dalam mendistribusikan film dokumenter. Menurut Pria, hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri, di festival film seseorang bisa menonton film-film yang jarang ditayangkan di tempat lain seperti bioskop atau televisi.
ADVERTISEMENT
“Jadi salah satu ekslusivitasnya itu juga jadi daya tarik tersendiri,” ujar Pria.
Film dokumenter Period. End of Sentence. memenangkan Oscars 2019. Foto: Netflix
Meski begitu, perkembangan layanan video on-demand yang kini tengah populer menurut Pria juga harus dimanfaatkan untuk membantu mendekatkan film dokumenter kepada penonton. Bahkan ke depan dia mengatakan akan mendorong film dokumenter ke platform digital seperti platform akses arsip atau membuat platform streaming reguler melalui website.
Film dokumenter menurut Igun juga harus bisa mengembangkan gaya yang lebih bisa diterima oleh masyarakat. Sebab, selama ini stigma membosankan yang menempel pada film dokumenter masih sangat kuat.
“Mungkin lebih dikembangkan lagi untuk gaya-gaya yang lebih menarik. VR ini menarik banget untuk bikin hidup dokumenter,” kata Igun.
Ada 286 judul film dokumenter yang mendaftarkan diri dalam perhelatan FFD 2019. Dari 286 judul, panitia menyeleksi menjadi hanya 26 film saja sebagai finalis. Ada empat kategori, yaitu kategori film dokumenter panjang Indonesia, dokumenter panjang internasional, dokumenter pendek, serta kategori dokumenter pelajar. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT