Memaknai Kekalahan ala Prabowo

Konten dari Pengguna
23 April 2019 16:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wck tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari pemilihan umum usai, berdasar hasil hitung cepat 12 lembaga survei yang tergabung dalam Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Presiden Jokowi akan melanjutkan periode keduanya dengan mulus. Selisih suara antara Jokowi dan Prabowo diperkirakan mencapai 10 persen. Sementara itu, tingkat partisipasi pemilih diperkirakan meningkat hingga mencapai 80 persen dari sekitar 192 juta pemilih terdaftar.
ADVERTISEMENT
Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki waktu hingga 22 Mei 2019 untuk mengumumkan hasil real count kepada publik. Menuju ke sana, kedua pasangan calon telah melakukan klaim kemenangan. Walaupun kedua kubu menegaskan komitmennya untuk menunggu hingga hasil pengumuman resmi dari KPU, tapi klaim kemenangan yang ditunjukkan Prabowo terasa amatlah berlebihan.
Jika memang hasil hitung cepat berbanding lurus dengan real count KPU, maka Prabowo harus menerima kekalahan keduanya dari Jokowi. Setelah pada 2014 lalu selisih suara mereka sekitar 6 persen untuk kemenangan Jokowi-Kalla. Prabowo memang tidak diuntungkan dari rilis hitung cepat lembaga survei, bahkan pada pidato pertamanya pada hari pencoblosan, Rabu sore (17/04), Prabowo meminta pendukungnya untuk tidak memercayai hasil hitung cepat.
ADVERTISEMENT
Ia mengklaim memiiki data real count internal yang menunjukan keunggulannya atas Jokowi sebesar 62 persen. Sebelumnya, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi juga merilis exit poll di 5.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang menunjukan Prabowo-Sandi menang 55,4 persen. Publik tentu belum melupakan klaim kemenangan Prabowo pada 2014 lalu. Saat itu, Prabowo mengklaim memenangi pertarungan pilpres dengan disusul aksi sujud syukur. Pada 2019 ini, ia mengulangi hal yang sama, berpidato kemudian diikuti sujud syukur.
Alasan di Baliknya
Melakukan klaim kemenangan tentu sah-sah saja, namun kemudian publik bertanya seberapa kuat landasan sebuah klaim menjadi kebenaran. Pertama, ia tidak mengakui hasil hitung cepat yang mengungguli Jokowi-Maruf. Kedua, data-data yang menjadi bahan klaim Prabowo tidak pernah dibuka ke publik untuk diuji kebenarannya. Ketiga, jika Prabowo tidak percaya dengan hasil hitung cepat dari lembaga survei, mengapa ia tidak melakukan klaim kemenangan yang sama ketika partainya, Gerindra hanya mampu menjadi nomor dua versi hitung cepat.
ADVERTISEMENT
Penyangkalan terhadap realitas yang ditampilkan Prabowo menunjukan adanya gejala delusi, sehingga apa yang diyakininya tidak sesuai dengan kenyataan. Sebagai calon presiden dan juga pemimpin salah satu partai terbesar di Indonesia, Prabowo tentu paham mengenai pengaruhnya tehadap psikologi massa di bawahnya. Misalnya dalam psikologi, massa merupakan salah satu bentuk kolektivisme dan kebersamaan. Sifat massa yang cenderung impulsif, mudah tersinggung, dan lebih mudah terpengaruhi menjadi ancaman jika ternyata gejala delusi tersebut menyebar hingga ke lapisan masyarakat.
Dugaan lainnya misalnya, Prabowo sebenarnya secara sadar dan rasional menyadari kekalahannya. Namun, ia sedang menempuh upaya-upaya untuk mendelegitimasi lembaga penyelenggara pemilu. Lebih jauh mengkonstruksi masyarakat untuk tidak memercayai hasil penghitungan di KPU karena hasilnya yang telah direkayasa.
ADVERTISEMENT
Tesis kedua kemudian menjadi semakin dekat, misalnya pada 2017 lalu ketika Prabowo dan partainya, Gerindra mendukung pencalonan Anies Baswedan sebagai gubernur di Pilkada Jakarta, ia melakukan klaim kemenangan berdasarkan hasil hitung cepat dari lembaga-lembaga survei yang sama dengan pemilu 2019. Artinya, Prabowo paham betul bahwa hasil dari lembaga survei adalah valid dan dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan kasus hari ini, ia berusaha untuk mengaburkan realitas objektif seputar hasil hitung cepat.
Setidaknya hingga empat hari setelah pencoblosan, Minggu (21/04), Prabowo telah melakukan klaim kemenangan sebanyak empat kali. Anjuran untuk tidak menonton hasil hitung cepat di televisi adalah taktik untuk "menyihir" para pendukungnya untuk percaya bahwa satu-satunya sumber kebenaran yang dapat dipercaya - termasuk hasil pemilu - adalah yang berasal dari tim kampanye mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Pengaburan atas realitas objektif tersebut dipakai untuk menyalakan emosi dan sentimen publik, sehingga yang muncul kemudian adalah ketidakpercayaan terhadap data dan fakta sebagai satu-satunya realitas objektif. Upaya tanding melalui penyampaian fakta pun akan percuma ketika subyek utamannya memutarbalikkan fakta tersebut secara berulang dan teramplifikasi hingga sangat dalam melalui media sosial. Dalam politik misalnya gejala ini dikenal sebagai post-truth politics.
Menjadi Oposisi
Selain dua tesis di atas, kemudian berkembang tesis lanjutan yaitu politik adalah soal kepentingan saja. Adagium "tak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan" memang jelas adanya. Bisa jadi apa yang ditampilkan Prabowo merupakan bagian dari upaya untuk menekan petahana untuk bisa berunding dengannya dan Gerindra. Bukan tidak mungkin setelah penetapan hasil pemilu oleh KPU nanti, Gerindra merapat menjadi bagian dari partai pendukung pemerintah.
ADVERTISEMENT
Kepartaian Indonesia yang dinamis, nir-ideologi, dan tidak mengikat dari level pusat hingga daerah membuat politik Indonesia sangatlah cair. Misalnya, partai-partai yang terkesan berseteru di panggung nasional ternyata cukup banyak mengikat kerja sama di pilkada. Pada pilkada serentak 2018 lalu, koalisi PDIP-Gerindra terjadi di 48 daerah, koalisi PDIP-PKS di 33 daerah, dan koalisi PDIP-Gerindra-PKS di 21 daerah.
Gerindra berada pada posisi yang cukup dilematis saat ini, ongkos politik yang besar tak terbayar setelah Prabowo kalah dalam dua pertarungan. Namun, di sisi lain posisi ini akan menguntungkan pada 2024 nanti jika Gerindra memutuskan untuk terus berada di jalur oposisi. PDIP misalnya, memilih menjadi oposisi selama dua kali pada periode pemerintahan SBY. Kemudian, selama dua (2) kali berturut-turut juga menjadi partai pemenang pemilu (2014 dan 2019), termasuk mampu mengusung presiden dari unsur partainya sendiri.
ADVERTISEMENT
Belajar dari PDIP, selama menjadi oposisi PDIP menjadi partai paling bising dalam mengkritik kebijakan-kebijakan yang tidak populis, salah satunya yang cukup heroik adalah aksi walkout anggota DPR Fraksi PDIP pada pembahasan RAPBNP 2013 yang salah satu poinnya adalah pengurangan anggaran subsidi untuk BBM. Tak jarang juga, politisi-politisi PDIP memimpin aksi demonstrasi di istana negara untuk mengkritik kenaikan BBM.
Memilih sebagai oposisi tentu akan membebani partai, tapi publik akan lebih mudah menoleh jika anggota DPR Fraksi Gerindra menyontek langkah yang dilakukan PDIP dalam kurun waktu 10 tahun (2004-2014). Sambil membangun kekuatan untuk mempersiapkan pertarungan pada 2024. Pada akhirnya publik hanya bisa menduga, oligark yang menentukan.
SIAP PRESIDEN! *hormat*
ADVERTISEMENT