Museum Situs Purbakala Semedo, Impian Dakri yang Kini Terwujud

Konten Media Partner
31 Oktober 2022 19:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Empat tokoh penemu benda-benda purbakala di Semedo. Baju hitam berikat kepala adalah Dakri.
zoom-in-whitePerbesar
Empat tokoh penemu benda-benda purbakala di Semedo. Baju hitam berikat kepala adalah Dakri.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
PENEMU fosil manusia di wilayah Desa Semedo, Kabupaten Tegal, Dakri, akhirnya bisa bernapas lega. Impian di wilayahnya memiliki museum terlaksana sudah. Di wilayah yang sama, Dakri juga menemukan ribuan fosil fragmen binatang purbakala.
ADVERTISEMENT
Kini museum tersebut banyak dikunjungi orang dari berbagai daerah. Bahkan peneliti dari Prancis, Jerman, Australia, dan turis Belgia silih berganti menyambangi Desa Semedo untuk menjumpai Dakri.
Pada bulan Mei 2006 ia menemukan fosil fragmen atap tengkorak manusia purba. Temuan fosil atap tengkorak itu diperkirakan usianya lebih tua dari Sangiran. Satu minggu setelah temuan itu, Dakri memberi kabar ke pihak Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.
Tujuh bulan kemudian, tepatnya bulan Desember 2006, datanglah pakar arkelogi Dr. Harry Widianto dari Balai Arkeologi Yogyakarta bersama pihak Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Mereka kemudian melakukan penelitian tentang kebenaran penemuan benda purbakala berupa atap tempurung manusia purba.
Dalam pertemuan itu, Dr. Harry Widianto selaku Ketua Tim penelitian, mengatakan; “Pak Dakri, fosil atap tengkorak manusia purba yang ditunggu-tunggu sudah ditemukan Sampeyan. Sekarang Pak Dakri mau minta kompensasi apa? Uang?” ujar Harry yang sudah berulangkali datang ke rumah Dakri setiap kali ia mendapat kabar dari Dakri atas temuan benda-benda purbakala. Dakri sendiri pertama kali menemukan benda-benda purbakala pada tahun 1987.
ADVERTISEMENT
Apa jawaban Dakri kala itu? “Bagi saya kompensasi uang yang ditawarkan bapak, merupakan satu kehormatan. Tapi mohon maaf, saya tidak membutuhkan uang itu, Pak.”
Jawaban Dakri mengejutkan para tamu. Ketua Tim penelitian pun sampai tercengang mendengar ucapan Dakri.
“Latas yang diminta Pak Dakri apa?”
“Bertahun-tahun saya cakep-capek mengumpulkan fosil-fosil purbakala. Apa gunanya jika di wilayah Semedo tidak dibangun museum? Dengan dibangun museum, benda temuan saya bisa terawat dengan baik. Anak-anak sekolah bisa belajar tentang asal-usul sejarah wilayah dan manusia Tegal di museum ini, sekaligus menjadi tempat wisata sejarah.”
Lantaran keinginan Dakri ingin di wilayah Semedo dibangun sebuah museum, akhirnya keinginan itu disepakati oleh mereka. Alasan keinginan Dakri disepakati, lantaran temuan atap tempurung manusia purba itu, tergolong luar biasa. Menurut Dakri mengutip omongan pakar arkelogi Dr. Harry Widianto, bahwa penemuan benda purbakala itu, ditafsirkan sisa-sisa dari homo erectus tipik yang hidup pada Kala Plaestosen Tengah, kira-kira 0,9 – 0,25 juta tahun lalu.
ADVERTISEMENT
“Fragmen atap tengkorak tersebut ditemukan pada endapan konkresi pasir lateristik yang mengeras dengan letak fosil tengadah, bagian interna berada di luar, ketebalan atap tengkorak pada bagian parietal kiri adalah 0,85 mm. Sementara bagian indention stebal mm, fosil ini berukuran panjang antero/posterior 2 cm, dan lebar tranfersal pada pertengahan pariental 10,6 cm. Itu kata Dr. Harry Widianto,” ujar Dakri yang mengaku selain dirinya sebagai penemu benda-benda purbakala, ada tiga teman lainnya yakni; Duman, Sunardi, dan Anshori,
Pembangunan museum akhirnya dimulai. Mengutip dari buku “Catatan Sejarah Situ Semedo, Dunia Purba Semedo” karya Topik Rochadi, pembangunan Museum Situs Semedo dimulai pada tahun 2015. Tahap kedua yaitu pada tahun 2016, fokus meneruskan pembangunan aula, perpustakaan dan pertamanan.
ADVERTISEMENT
Tahun 2017 pembangunan pagar keliling dan pengaspalan area museum. Dana pembangunan dari APBN oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.
Kini Museum Situs Semedo di wilayah Desa Semedo telah berdiri megah. Tumpah ruah masyarakat dari bebagai daerah dan kota berbondong berdatangan ke lokasi museum. Halaman rumah-rumah penduduk dekat museum dibuat area parkir, jualan, dan tampak kios-kios jualan sedang dibangun. Pedangan tiban mengular di sepanjang jalan.
Mengenai ramainya Desa Semedo akhirnya dikunjungi banyak orang dari mana-mana, hal itu menurut Dakri karena ada sebuah pitutur dari nenek moyang Semedo, “Mbésuk rejaning jaman Semedo bakal dadi pasar pilang kerep. Sing didol apu karo uyah. Sing didol dudu barang sembarangan, tuku sapincuk dilayani sapincuk, tuku sewakul dilayani sewakul”.
ADVERTISEMENT
Dari bahasa Jawa yang dituturkan Dakri artinya apa? Menurutnya, bahwa, suatu saat nanti Desa Semedo akan terjadi kemajuan zaman (Mbésuk rejaning jaman), Semedo akan menjadi pasar di mana orang datang dan pergi terus menerus (Pasar pilang kerep), tempat jual beli sesuatu yang berupa kejujuran dan kebenaran (apu = enjet atau batu gamping yang diolah menjadi batu kapur, meskipun diolah tetap putih bahkan bertambah putih), uyah (artinya garam), yang dijual barang berharga (Sing didol dudu barang sembarangan), yang beli sedikit dilayani sedikit, siapa membeli banyak dilayani banyak (tuku sapincuk dilayani sapincuk, tuku sewakul dilayani sewakul).
“Apa arti dari tembung ‘Rejaning jaman Semedo bakal dadi pasar pilang kerep’? Tembung itu sekarang menjadi kenyataan setelah di Semedo ada berdiri museum, banyak masyarakat berjualan dan membangun kios-kios jualan dan juga halaman mereka dijadikan tempat parkir. Lantas apa yang dijual dari daerah kami? Tentu saja jualan kami adalah benda-benda purbakala berupa fosil-fosil. Dalam bahasa nenek moyang kami: tuku sapincuk dilayani sapincuk, tuku sewakul dilayani sewakul. Tapi apa yang dijual tidak pernah habis,” kata Dakri yang kemudian menambahkan mengapa barang dijual tidak pernah habis? Karena yang dijual adalah benda-benda purbakala yang ada di dalam museum. (*)
ADVERTISEMENT
------
Lanang Setiawan, novelis penerima hadiah Sastra “Rancagé” 2011.