Opini: Rawan Korupsi, Dana Penanganan Pandemi Corona Harus Diawasi 

Konten Media Partner
31 Maret 2020 19:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Agus Triyono
zoom-in-whitePerbesar
Agus Triyono
ADVERTISEMENT
Oleh: Agus Triyono*
Berkaitan dengan wabah virus corona yang belum berakhir, pemerintah akan mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk menangani penyebaran virus corona di dalam negeri. Dari data yang ada diperoleh jumlahnya mencapai Rp121 triliun. Jumlah ini diharapkan bisa memberi kontribusi besar menangani pandemi corona yang melanda di Indonesia. Dengan harapan, semua hal yang terkait dengan berbagai upaya dalam mengatasi masalah yang sangat luar biasa ini segera teratasi.
ADVERTISEMENT
Seperti diketahui, dana tersebut diperoleh dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sebesar Rp62,3 triliun dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) sebesar Rp56 triliun - Rp59 triliun melalui pos realokasi dana. Besarnya dana itu sesuai dengan Inpres Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Namun, tidak dipungkiri dana sebesar itu tentu harus diawasi penggunaannya. Lantas bagaimana cara mengontrol dana sebesar itu? Agar tidak ada celah bagi oknum-oknum tertentu untuk melakukan korupsi. Oleh karenanya perlu adanya pengawasan yang sangat ketat. Sehingga dana ini bisa tepat sasaran, baik di pusat maupun di daerah. Terlebih untuk realokasi itu tersebut dapat benar-benar diambilkan dari pos-pos  mana saja yang sesuai dengan berlandaskan skala prioritas.
ADVERTISEMENT
Hal ini dilakukan agar banyak sektor dapat merasakan dampak yang signifikan. Misalnya, sektor ekonomi dapat memberi harapan baru bagi daya beli masyarakat agar dapat meredam dampak virus corona terhadap ekonomi domestik. Sektor kesehatan, juga menjadi sangat vital karena kebutuhan medis membutuhkan dana yang sangat besar untuk mengatisipasinya. Belum lagi sektor lainnnya yang juga membutuhkan perhatian yang sangat ekstra.
Koordinasi antarlembaga sangat diperlukan untuk melakukan monitoring anggaran berjalan efektif. Lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah garda terdepan alam mencegah terjadinya korupsi. Tetapi pihak-pihak lain dan stakeholders juga harus ikut serta memberikan kontribusi besar dalam ikut serta mengawasinya, termasuk masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sistem yang sudah ada tetap harus bekerja sekuat tenaga untuk mengatasi masalah ini. Termasuk sistem dalam pendistribusian barang agar dapat diterima pada pihak yang membutuhkan. Dalam hal ini adalah kebutuhan alat dan kebutuhan medis untuk penanganan virus corona dapat dikontrol output-nya. 
Namun sebenarnya, setiap tahun pemerintah juga sudah membuat alokasi dana yang sangat besar untuk penanggulangan bencana di Indonesia. Pada 2019 saja, anggaran mitigasi dan penanggulangan bencana alam telah disediakan pemerintah sebesar Rp15 triliun. Padahal 2018 hanya sebesar Rp7 triliun, sehingga meningkat lebih dari 100 persen. Dan, juga sebelum wabah corona ini muncul , pemerintah juga telah menyiapkan anggaran sekitar Rp5 triliun untuk dana cadangan bencana pada tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Kita pantas untuk mengantisipasi, kemungkinan terjadinya tiindakan penyalahgunaan akan dana yang besar ini. Beberapa tahun lalu, sejumlah kasus korupsi penyalahgunaan dana bencana pernah terjadi di beberapa daerah seperti pada tsunami di Aceh, Donggala, Nias, Sukabumi, dan juga gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW), selama sepuluh tahun terakhir ini terdapat lebih dari 87 kasus korupsi dana bencana yang telah ditangani. Baik melalui kepolisian, kejaksaan, ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi. Tercatat bahwa sektor rawan korupsi terletak pada pada tahap tanggap darurat, rehabilitasi, dan pemulihan atau rekonstruksi lokasi bencana. Karena alasan bencana dan darurat, maka uang yang jumlahnya cukup besar itu sering dikucurkan tanpa pengawasan dan pertanggungjawaban yang jelas.
ADVERTISEMENT
Regulasi Antikorupsi dan Efek Jera
Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur hukuman mati bagi pelaku korupsi dana bencana. Regulasi antikorupsi ini, sesungguhnya ancaman hukuman bagi koruptor dana bencana sudah sangat memberatkan. Tetapi, kalau kita amati meski korupsi dana bantuan sudah dalam proses hukum tetapi umumnya, vonisnya masih tergolong ringan. Bahkan rata-rata hanya di bawah 5 tahun penjara. Hal ini tentu menjadi salah satu pendorong bahwa pelaku tindak korupsi dana bantuan bencana masih sering terjadi, bahkan bisa jadi tidak membuat jera si pelaku.
Apa yang mesti dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi dalam dana bencana ini, termasuk dalam rangka tanggap darurat virus corona ini? Upaya-upaya yang keras tentu harus dilakukan dari semua sektor.  Ada sejumlah upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah praktik korupsi dana bantuan bencana, termasuk dalam dana bantuan untuk penanganan virus corona yang akan segera dikucurkan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah meningkatkan integritas yang kuat bagi sumber daya yang terlibat dalam penggunaan dana tersebut.  Integritas tidak terlepas dari upaya untuk menjadi orang yang utuh, yang bekerja dengan baik. Hal itu terwujud dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang telah dirancang sebelumnya. Integritas sangat terkait dengan keutuhan dan keefektifan seseorang sebagai insan manusia (Cloud, 2007).
Berikutnya adalah membangun komunikasi yang kuat dan warning dini disertai dengan upaya terhadap sanksi yang tegas terhadap pelaku korupsi. Ini dilakukan agar keinginan untuk melakukan tindak korupsi dapat diminimalisir. 
Yang tidak kalah pentingnya lagi adalah melakukan manajemen maupun tatakelola dana harus mampu dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel. Keterbukaan setiap penggunaan dana akan sangat penting untuk mengurangi resiko terjadinya korupsi. Artinya, jika diperlukan untuk dilakukan audit dapat dipersiapkan dengan dengan sebaik-baiknya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya adalah adanya tim terpadu pengaduan publik yang bertugas mengawasi berbagai keluhan dan laporan masyarakat terkait pelanggaran atau pun ketidakberesan penggunaan anggaran dana bencana. Tim ini bisa dibentuk lintas sektoral dengan melibatkan pihak-pihak berkompeten untuk mengambil langkah konkrit dalam memberikan sanksi atau pun hukuman yang sesuai.
Terakhir, soliditas tim yang tangguh dan kuat dalam berkontribusi membantu terselesainya “badai”  bencana ini agar cepat berlalu menjadi daya juang melawan korupsi.(*)
*Analis Komunikasi Publik, Mitra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, Relawan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), Dosen di Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang.