Perjuangan Supriyadi, Penyandang Tunarungu Menembus Keterbatasan

Konten Media Partner
4 Desember 2019 21:09 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Slamet Supriyadi. (*)
zoom-in-whitePerbesar
Slamet Supriyadi. (*)
ADVERTISEMENT
Keterbatasan bukan menjadi alasan bagi seseorang untuk meraih kesuksesan. Tak terkecuali bagi para penyandang tunarungu yang kerap dianggap tidak bisa berkomunikasi di lingkungan, selayaknya seorang yang normal.
ADVERTISEMENT
Seperti Slamet Supriyadi, pemuda asal Desa Desa Pagongan RT 01/RW 01, Kecamatan Dukuhturi Kabupaten Tegal. Pemuda 29 tahun itu memiliki keterbatasan dalam pendengaran alias tuli. Tetapi baginya, itu bukan penghalang untuk beraktivitas dan membahagiakan orang tua.
Pada usia empat tahun Supri nama panggilan akrabnya mulai kehilangan indra pendengarannya. Bahkan dokter memvonisnya tidak dalam berkomunikasi atau berbicara dengan mendengarkan suara karena pendengarannya bermasalah. 
"Awalnya untuk mencari kerja setelah lulus sekolah itu susah banget. Kebetulan sekolah saya di SLB Manunggal Slawi. Dari SD, SMP sampai SMA. Setelah lulus sekolah di tahun 2011, saya mencoba untuk mencari kerja buat membantu orang tua. Tapi, saya sudah kesana kemari melamar pekerjaan tapi tidak ada yang menerima," ucap Supri dengan bahasa isyarat yang di terjemahkan oleh temen dengarnya Ade Ayu Alvaini pada PanturaPost Selasa (3/12/2019) malam.
ADVERTISEMENT
Saat berbincang dengan PanturaPost, Supri sedang kumpul dengan komunitas tulinya. Terlihat komunitas tuli sedang asik berbincang dengan bahasa isyarat dan oral atau dengan gerakan bibir lawan bicara. 
Supri sedang kumpul dengan komunitas tulinya.
Supri pun menambahkan, "Setelah saya tidak diterima kerja, saya coba berusaha fotocopy, tapi tidak berjalan atau sepi. Akhirnya mencoba mencari kerja lagi. Pada saat itu diterima di minimarket di Tegal. Berkerja di swalayan cuman bertahan satu tahun," katanya.
Perjuangan Supri untuk membantu orang tua tidak berhenti sampai di situ. Dengan semangat yang tinggi setelah keluar dari swalayan, dia sempat bekerja sebagai sales. Dan pada akhirnya ada seorang teman yang memberi kabar bahwa ada lowongan di pusat perbelanjaan cukup besar yang memiliki jejaring di setiap kota, termasuk di Tegal. Tapi dia harus melamar ke Jakarta. "Saya pun mencoba melamarnya."
ADVERTISEMENT
Serangkaian tahapan tes pun di lalui. Dengan keseriusan dan semangat akhirnya supri diterima di perusahaan retail tersebut. Dia ditempatkan di Cirebon selama enam bulan. Sebelum akhirnya dia ditempatkan di Tegal, kampung halamannya.
Selama bertugas di Tegal, dia berkerja mengelola dan mengontrol keluar masuknya barang, pengiriman, hingga pemasokan.  Termasuk mengoordinasi audit persediaan reguler, berhubungan dengan staf produksi, dan tim internal lainya. Semua kerjaan itu dilakukanya setiap hari lewat komputer.
Supri sedang kumpul dengan komunitas tulinya.
"Sebelum saya masuk bekerja di sana, saya belajar tentang komputer sama kakak saya, kalau kakak saya tidak ada, saya belajar sendiri. Saya pun belajar komputer dan desain melalui youtube," katanya.
Dalam komunikasi setiap hari-hari pun, dia bahasa isyarat. Atau di saat sedang membeli makan pun, memberi tahu pada pedagangnya melalui tulisan di handphonnya. "Saya bilang bahwa saya orang tuli. Kalau pedagangnya tidak bisa bahasa isyarat, pesanya pun dengan menggunakan tulisan di hp," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, salah satu teman dengar Supri, Ade Ayu Alvaini, mengatakan Supri orangnya ramah dengan siapa saja. Saat diajak ngobrol orangnya asyik. Walaupun dia tuli, kalau lawan bicaranya tidak bisa bahasa isyarat, dia memakai bahasa oral atau gerak bibir.
"Mereka menginspirasi sekali. Untuk semangatnya buat sukses. Kadang temen-temen yang dikasih pancaindra yang normal dia malah sering menyepelekan sesuatu dan cepat putus asa. Tapi setelah saya sering main sama temen-temem tuli yang muda-muda dan aktivitasnya melampaui batas. Yah, mereka menginspirasi dan keren," ungkap dia. (*)