Anomali Ketahanan Pangan Indonesia

Pembaharu
Aktivis, organisatoris, Mahasiswa
Konten dari Pengguna
19 Maret 2021 13:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pembaharu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gito Marnakkok Pardede
zoom-in-whitePerbesar
Gito Marnakkok Pardede
ADVERTISEMENT
Perjalanan Panjang bangsa Indonesia untuk mandiri dalam ketahanan pangan ternyata sudah diawali dari puluhan dekade yang lalu sejak negara ini dibentuk.
ADVERTISEMENT
Diawal dengan memenuhi kebutuhan beras nasional dengan mengimpor beras dari Vietnam, Thailand, dan Burma, tentu ini berdampak bagi negara yang masih muda harus membuang devisen ratusan juta tiap tahun untuk membeli beras dan pastinya ini sangat tidak sejalan dalam membangun sebuah negara yang berdikari dengan 270,20 juta Penduduk Indonesia Hasil SP2020
Sukarno sering berkata dalam pidato-pidatonya bahwa Petani adalah Penyangga tatanan negara Indonesia yang berarti komponen terpenting untuk menentukan masa depan generasi bangsa, sehingga Bung Karno pernah mengatakan ”Soal Pangan Adalah Soal Hidup Matinya Bangsa!”
Dalam menghadapi badai krisis di tengah COVID-19 memaksa kita semua untuk mengoreksi hampir seluruh kebijakan–kebijakan pemerintah, tak terkecuali rencana impor beras yang kembali dicanangkan pemerintah melaui Kementerian Perdagangan dan Menko Perekonomian. Situasi ekonomi yang lemah tentunya mengharuskan pemerintah harus berhati-hati dalam mengambil keputusan Impor 1 juta ton beras di 2021.
ADVERTISEMENT
Pemerintah mencatat melalui data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak tahun 2000 hingga 2019, Indonesia tidak pernah berhenti mengimpor beras dari Vietnam, Thailand, China, India, Pakistan, Amerika Serikat, Taiwan, Myanmar, hingga Singapura. Dari negara-negara tersebut membuat Indonesia harus terus belajar lagi untuk bagaimana bisa menanam padi untuk mencukupi rakyat sendiri.
Dilansir laman Kompas sejak awal periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Indonesia masih melanjutkan langganan impor beras asal Vietnam dan Thailand. Di tahun 2014, sebanyak 306.418 ton beras dari Vietnam dipasok ke Indonesia. Setahun berselang, di 2015 Indonesia kembali impor beras dari Vietnam sebanyak 509.374 ton. Kali ini Vietnam jauh mengungguli Thailand yang hanya mengekspor berasnya sebanyak 126.745 ton ke Indonesia. Pada 2016, persaingan ketat antara beras impor dari Vietnam dan Thailand kembali terjadi. Di tahun tersebut, beras impor asal Vietnam berjumlah 535.577 ton, sedangkan dari Thailand 557.890 ton.
ADVERTISEMENT
Kemudian di tahun 2017, jumlah beras impor asal Thailand dan Vietnam ikut menurun seiring terpangkasnya total kuota impor beras pemerintah sebanyak 305.274 ton. Dari total capaian impor itu, sebanyak 16.599 ton beras berasal dari Vietnam, sedangkan dari Thailand sebesar 108.944 ton. Di 2018, impor kali ini, 767.180 ton beras Vietnam dipasok ke Indonesia, sedangkan dari Thailand sebanyak 795.600 ton. Adapun pada 2019, jumlah pasokan beras impor asal Vietnam dan Thailand kembali merosot. Indonesia hanya impor beras sebanyak 33.133 ton dari Vietnam dan 53.278 ton dari Thailand.
Ilustrasi sawah Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Sedangkan data BPS tahun 2020 mencatat dari luas panen padi pada 2020 diperkirakan sebesar 10,79 juta hektare, mengalami kenaikan sebanyak 108,93 ribu hektare atau 1,02 persen dibandingkan luas panen tahun 2019 yang sebesar 10,68 juta hektar. Kemudian Produksi padi pada 2020 diperkirakan sebesar 55,16 juta ton GKG, mengalami kenaikan sebanyak 556,51 ribu ton atau 1,02 persen dibandingkan produksi di tahun 2019 yang sebesar 54,60 juta ton GKG. Dan jika potensi produksi padi pada 2020 dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk, produksi beras pada 2020 diperkirakan sebesar 31,63 juta ton, mengalami kenaikan sebanyak 314,10 ribu ton atau 1,00 persen dibandingkan 2019 yang sebesar 31,31 juta ton. Prediksi kenaikan produksi ini tentu bisa seharusnya menjadi acuan kebijakan impor beras nasional pada tahun 2021 ini.
ADVERTISEMENT
Kepala BPS Suhariyanto juga mengatakan total konsumsi beras nasional diperkirakan mencapai 29,37 juta ton pada tahun 2020. Dengan begitu ada surplus sekitar 2,26 juta ton di tahun ini. Jika 2020 produksi beras kita diperkirakan Meningkat 1% dibandingkan produksi beras tahun 2019, harusnya upaya upaya mengimpor beras tidak lah menjadi pilihan lagi
Ada beberapa indikasi yang menandakan bahwa kebijakan impor beras 2021 ini perlu dihapuskan karena mengacu pada adanya peningkatan hasil panen yang tersaji pada data BPS 2 tahun belakangan, peningkatan 1% pada tahun 2020 memberi isyarat bahwa sektor pertanian adalah sektor yang kebal terhadap badai pandemi COVID-19. Tidak bisa dipungkiri beberapa anomaly dalam rencana impor beras besar-besaran di tahun 2021 ini tidak menyelamatkan produksi petani dalam negeri, pemerintah harus memulai perbaikan trend peningkatan produksi panen panen raya petani, persediaan gudang Bulog, hingga menyelamatkan kasus-kasus pertanian yang ada di Indonesia .
ADVERTISEMENT
Tahun ini juga merupakan kesempatan bagi pemerintah untuk dapat melindungi dan memberdayakan sektor pertanian seperti yang tertuang dalam UU 18 tahun 2012 pasal 17 tentang Pangan yang berbunyi Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melindungi dan memberdayakan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan sebagai produsen Pangan. Serta mendukung peningkatan produksi pertanian untuk menekan impor seperti amanat Pasal 39 yang berbunyi: Pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil.
Upaya-upaya pemerintah harus berfokus pada arus ekonomi bawah yang berasal dari para petani, kemandirian dalam pangan tidak bisa lepas dari kehidupan pertanian, ketahanan pangan bergantung pada pemanfaatan lahan dan sumber daya alam untuk terus menghasilkan ketersediaan makanan bagi masyarakat, oleh sebab itu pertanian di sebuah negara musti menjadi sektor utama yang harus dilindungi bersama aspek aspek yang terikat di dalamnya, jika ada aspek-aspek pertanian yang dilewatkan pemerintah maka tidak akan adapula lah ketahanan pangan yang mandiri di dalam sebuah negara. Pemerintah tidak bisa terus-menerus bertahan pada kebijakan impor beras dan harus berupaya mencari inovasi baru agar cita cita swasembada pangan bisa segera diwujudkan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain masih banyak tugas pemerintah dalam menyelesaikan persoalan pertanian dalam mewujudkan ketahanan pangan, prioritas utama di balik pembangunan food estate di Kalimantan dan Sumatera harus diuji kembali mengingat percobaan food estate seperti di Lampung pada masa orde lama dan di Kalimantan Tengah (pulau pisau) pada masa pasca-reformasi yang gagal dilakukan, pemerintah mesti menjamin harga komoditas pokok yang menguntungkan petani dan juga memperoleh sarana dan prasarana pertanian Langkah yang amat mendesak juga terkait keberlanjutan pembangunan pertanian sampai kepada konflik-konflik pertanian yang tidak kunjung selesai , apabila konflik lahan masih saja berkepanjangan bisa jadi rencana untuk mandiri untuk pangan dalam negeri tidak akan pernah kita bisa laksanakan.
Gito Marnakkok Pardede / 0823-0459-4942
ADVERTISEMENT
Penulis aktif sebagai aktivis pencinta lingkungan
Alumni Fakultas pertanian USU
Wakil Ketua DPD KNPI Sumut
Ketua GMKI SUMUT 2018-2020