news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ajuj & Kinanthi (episode 8)

Tasaro Gk  Penulis Novel
Juru Cerita, penulis novel tetralogi Muhammad saw., pengajar jurnalistik, guru PAUD.
Konten dari Pengguna
24 Juli 2018 0:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ajuj & Kinanthi (episode 8)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
"Suatu saat, mencintai adalah memutar hari tanpa seseorang yang engkau sayangi. Sebab, dengan atau tanpa seseorang yang engkau kasihi, hidup harus tetap dijalani."
ADVERTISEMENT
***
Malam yang sama....
”Bapak malu benar dengan tingkah anakmu itu, Mbokne. Kurang ajar. Dikasih tahu orang tua tidak mau mendengarkan.”
Saepul berbicara dengan tata bahasa yang kacau. Nada yang meluap-luap. Istrinya, mboknya Ajuj, menemani dengan tekun. Mendengarkan omongan suaminya dengan legawa. Sedari tadi, dia menjadi “keranjang sampah” tempat Saepul menumpahkan rasa sebal terhadap Ajuj. Anak yang dia anggap sudah mempermalukan dirinya di hadapan penduduk dusun. Sudah membuat wibawanya sebagai rois dusun terjun bebas.
Sementara Saepul belum juga meredakan emosinya, mendatarkan kata-katanya, Ajuj sibuk sendiri di kamarnya. Hati-hati, dia melipati beberapa helai baju sepenuh tas sekolah yang ia jejali dengan beberapa benda pribadinya. Tidak dia pusingkan keributan di ruang tengah. Dia abaikan sumpah serapah bapaknya yang sudah pasti diarahkan kepada dirinya. Ajuj sedang menjalankan sebuah rencana.
ADVERTISEMENT
“Mbokne bisa mendidik anak kita tidak? Bapak ini urusannya banyak. Tidak bisa mengawasi anak mbeling itu setiap hari.”
Mboknya Ajuj menunduk. Batinnya semacam ditusuk-tusuk. Oleh kenyataan bahwa Ajuj berani melawan bapaknya, juga oleh kata-kata suaminya yang terus saja menyalahkan dirinya saja.
”Kalau Mbokne sudah ndak sanggup mendidik Ajuj, sudah, kirim saja anak itu ke pesantren. Jadi ndak pusing lagi kita.”
Saepul menatap istrinya dengan nyala di matanya. ”Diam saja! Mau Ajuj dikirim ke pesantren?”
Mboknya Ajuj menggeleng lemah. Air matanya menitik-nitik.
”Ini urusan gawat, Mbokne. Ajuj itu calon penerus keluarga rois. Kalau dia terus-terusan bergaul dengan keluarga ndak bener itu, bisa rusak dia. Dosa besar kita. Mbokne mau kalau nanti di akhirat Gusti Allah menanyakan kok bisa Ajuj jadi bajingan? Mau nanggung dosanya?”
ADVERTISEMENT
Mboknya Ajuj menggeleng lagi.
Saepul tambah geram. ”Perempuan! Bisanya menangis saja. Sudah panggil Ajuj ke sini. Bapak mau bicara. Kita kirim saja ke pesantren. Biar tahu rasanya jauh dari orang tua!”
Meski tidak setuju, mboknya Ajuj tidak punya daya untuk menolak keinginan suaminya. Dia bangkit lalu berjalan agak sempoyongan sambil terisak-isak, menuju kamar Ajuj.
”Pakne!”
Saepul terperangah oleh jeritan istrinya. Semakin sebal jadinya. Dia tidak suka histeria. Dia menyusul istrinya dengan dongkol sekaligus penasaran. Sang rois menemukan mboknya Ajuj berdiri gemetaran di depan jendela kamar yang terbuka lebar menghadap ke kebun. Saepul melihat seantero kamar dan segera paham apa yang terjadi.
”Bocah kurang ajar! Minggat ke mana dia!”
ADVERTISEMENT
***
Kinanthi menoleh ke belakang dan menemukan kesan yang ajeg di wajah Ajuj. Pesan dari mata lelaki kecil itu seperti ingin mengungkapkan banyak hal. Penyesalan, permintaan maaf, dan entah apa lagi. Ajuj memandangi Kinanthi sambil menyandarkan punggungnya ke bangku di belakangnya.
Tempat duduk di kelas itu berupa bangku panjang empat kaki tanpa sandaran. Jadi, kalau ingin sedikit santai, engkau hanya bisa menyandarkan punggungmu ke meja di belakangmu. Itu berarti, engkau akan membuat kesal teman yang ada di belakangmu. Sebab, berat badanmu akan menekan meja itu ke dadanya.
”Nabi Yusuf menolak Zulaikha karena Allah, dan akhirnya mendapatkan cinta perempuan bangsawan itu juga karena Allah.” Hisyam mengakhiri kisah nabinya dengan manis. Guru agama yang menyenangkan. Tidak pernah kaku saat menyampaikan materi. Selalu diselingi guyonan yang menarik. Tidak membuat mengantuk. Hisyam datang dari kota. Wawasannya luas bak bentang samudera. Masih muda, belum ada istrinya. Dulu dia KKN di dusun itu, lalu memutuskan untuk kembali lagi, setelah selesai kuliah agama di kota provinsi.
ADVERTISEMENT
”Boleh bertanya, Pak?”
Ajuj mengangkat tangannya. Dia murid paling senior di kelas itu. Jika Kinanthi mendaftar di sekolah satu tahun lebih dulu dibanding umur seharusnya, Ajuj justru sebaliknya. Dia masuk di sekolah dasar itu satu tahun terlambat dari usia rata-rata murid baru. Jadilah mereka teman satu kelas, meski pun usia keduanya berjarak dua tahun atau lebih sedikit.
”Ya, Ajuj. Mau tanya opo?”
“Apa bedanya? Bukankah tetap saja yang dinikahi Nabi Yusuf itu perempuan yang sama?”
“Tentu saja beda, Ajuj. Saat pertama kali Zulaikha mendekati Yusuf, niatnya bukan karena Allah,” Mursam mengulang adegan sobekan baju Yusuf ketika Zulaikha mengajaknya berzina. Adegan yang legendaris. “Pada kesempatan kedua, Yusuflah yang menawarkan kepada Zulaikha untuk menikah, setelah suami Zulaikha meninggal.”
ADVERTISEMENT
“Kalau suami Zulaikha tidak meninggal bagaimana, Pak?”
Hisyam terdiam beberapa lama. Susahnya menjawab pertanyaan berandai-andai. Sebab, kenyataannya itu tidak terjadi. “Intinya, kita dibolehkan oleh Allah untuk mencintai manusia, asal sesuai dengan cara-Nya. Tidak melanggar aturan-aturan-Nya.”
Para murid kelas enam itu mengangguk-angguk. Bukan berarti paham. Kebanyakan hanya berpartisipasi saja. Ajuj tidak puas sebenarnya dengan jawaban gurunya. Namun, dia tidak memperpanjang pertanyaannya. Mungkin kali lain, di luar kelas. Toh, dia bertanya memang hanya untuk mencari perhatian saja. Agar Kinanthi yang duduk di pojok depan menoleh kepadanya.
Kinanthi duduk sendirian. Memang jumlah murid di kelas itu ganjil. Namun, alasan Kinanthi kesepian di bangkunya bukan sekadar jumlah ganjil itu. Tidak ada murid perempuan yang mau duduk satu bangku dengannya. Engkau sudah tahu alasannya.
ADVERTISEMENT
Gong jam pulang ditabuh. Selesai sudah semua pelajaran hari ini. Ajuj, sang ketua kelas, memimpin doa bersama, hormat kepada guru kemudian berurutan ke luar kelas. Kinanthi paling dulu meninggalkan bangkunya. Dia berjalan dengan gegas. Tak berapa lama dia sudah menyusuri jalan beraspal jelek yang menghubungkan kota kecamatan dengan dusun tempat tinggalnya.
Sekolah Kinanthi berdiri di pinggir jalan menuju kecamatan. Sekolah itu tidak menampung banyak murid. Hanya satu ruangan untuk setiap kelas. Enam kelas dengan murid rata-rata di bawah 30 anak. Gedungnya sudah mengkhawatirkan. Bentet dinding-dindingnya. Retak di mana-mana. Gentengnya banyak yang pecah pula. Eternit juga jebol di sana-sini.
Kinanthi ingin buru-buru sampai di rumah. Terik siang membuat bayangan seperti air di permukaan aspal. Haus sekali. Tidak boleh terlambat, karena harus membantu simboknya menjaga Hasto. Sorenya harus ke tlogo untuk mencuci baju-baju kotor.
ADVERTISEMENT
“Thi!”
Tidak ada yang memanggil dengan cara itu, nada itu, tekanan kata itu, kecuali Ajuj. Kinanthi tidak menghentikan langkahnya. Dia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk menghindari Ajuj, demi kebaikan temannya itu. Agar dia tidak dijewer bapaknya lagi. Supaya dia tidak diejek ‘banci’ lagi oleh Kardiyo, agar dia tidak disalah-salahkan lagi oleh orang-orang.
Tetapi gagal. Ajuj sudah menjajari langkahnya.
“Kamu kok menghindari aku, Thi?”
Tidak menjawab. Kinanthi berjalan menunduk. Seperti hendak memastikan bayangan tubuhnya yang tipis hitam dan agak miring itu tidak tertukar.
”Kamu ndak mau lagi temenan sama aku, Thi?”
”Nanti kamu dimarahi bapakmu lagi, Juj.”
Akhirnya Kinanthi bersuara. Dia tidak mau disebut Ajuj tidak mau lagi berteman dengan temannya yang baik hati itu.
ADVERTISEMENT
”Ndak akan, Thi. Aku ndak akan dimarahi Bapak lagi.”
”Kamu bohong. Pak Rois pasti marah-marah lagi. Pasti njewer kamu lagi. Nanti ku disalahkan lagi.”
Ajuj mendahului langkah Kinanthi, menghadangnya kemudian. ”Thi. Aku minggat. Aku sudah ndak serumah lagi sama Bapak.”
Mata Kinanthi agak membelalak. Namun, tidak ada suara yang keluar dari sana.
”Aku menginap di rumah Mbak Gogoh.”
”Bapak kamu ndak nyari?”
Ajuj mengangguk. ”Nyari. Tapi aku ndak mau pulang.”
Keduanya lantas berjalan beriringan. ”Bapak mau maksa aku pindah ke pesantren di kota. Aku ndak mau. Aku bilang, kalau dipaksa, aku pasti minggat dari pesantren. Nglompro sakparan-paran. Jadi gelandangan.”
ADVERTISEMENT
Kinanthi merasakan degup yang tidak wajar di dadanya. ”Kamu calon rois, to, Juj. Harus belajar di pesantren.”
”Ndak mau.”
”Kenapa?”
Ajuj melirik Kinanthi, ”Ndak mau aja.”
Bunyi bersuit-suit terdengar dari jauh. Ajuj menoleh. Kardiyo dan berandalannya. Kali ini Ajuj tidak peduli. Dia mengajak Kinanthi terus berjalan. ”Nanti malam aku ke rumah kamu, yo, Thi.”
”Mau apa?”
“Ada PR IPA, to.”
“Kamu ndak dimarahi?”
“Dimarahi siapa. Wong, aku sudah ndak di rumah.”
Kinanthi diam.
“Kecuali kamu yang ndak bolehin aku ke rumah.”
“Kata siapa?”
“Jadi boleh?”
Kinanthi enggan menjawab.
“Diam berarti boleh.”
Kinanthi semakin menunduk.
ADVERTISEMENT
***
“Itu namanya gubuk penceng, Thi.”
Kinanthi menengok langit, mengikuti arah telunjuk Ajuj. Keduanya duduk-duduk di dipan bambu teras rumah, yang biasanya dipakai mengaso bapaknya Kinanthi. Malam itu cerah. Langit berbinar bintang, bulan lebih terang dari biasanya, dan bapaknya Kinanthi pergi sejak sore tadi. Ke dusun tetangga, katanya. Ada gawe; perayaan pernikahan. Biasanya diawali lek-lekan, begadang sampai pagi yang diikuti para bapak. Mengopi, merokok, dan … ceki alias berjudi.
“Sudah lihat?” Ajuj menoleh ke Kinanthi yang masih tolah-toleh kebingungan,”itu lho, Thi. Itu yang bentuknya seperti layangan.”
Kinanthi mengangguk kemudian. Bibirnya tersenyum. Dia sudah menemukan rasi bintang yang dimaksud Ajuj.
“Nah, yang di bawah Gubuk Penceng itu, ada galaksi rahasia.”
ADVERTISEMENT
“Hah?”
“Iya, Thi. Galaksi yang tidak terlihat.”
Kinanthi tambah kebingungan. Dia lagi-lagi mengikuti arah telunjuk Ajuj. Di bawah kaki Gubuk Penceng yang ada area gelap gulita. Tidak ada bintang. Padahal di sekelilingnya berjubel benda langit yang berpijaran.
“Sudah ketemu?”
“Wong, hitam begitu, Juj.”
“Iya. Itu karena kamu ndak bisa lihat. Sebenarnya di sana ada galaksi besar sekali.”
”Mosok?”
”Eee, ndak percaya. Ada galaksi di sana. Namanya ... Galaksi Cinta.”
Ajuj melirik Kinanthi. Memeriksa akibat dari kalimat terakhirnya pada diri temannya yang malu-malu itu. Namun, tidak terjadi apa-apa. Kinanthi masih memindai langit dengan kesungguhan.
Ajuj tersenyum, melihat ke langit lagi. “Nanti, kalau kita ndak bersama lagi, terus kamu mau cari aku, kamu lihat aja ke langit sana, Thi. Cari Gubuk Penceng. Di bawahnya ada galaksi yang tidak terlihat. Namanya Galaksi Cinta. Aku ada di situ.”
ADVERTISEMENT
Kinanthi menoleh ke Ajuj, “Kamu bicara apa, Juj? Aku ndak mudeng. Ndak ngerti.”
Ajuj tertawa. Dibiarkannya Kinanthi tidak paham apa makna kata-katanya. Dia juga tidak bermaksud membuat Kinanthi memahami apa maksudnya. Galaksi Cinta itu karangannya saja. Entah bagaimana, nama itu muncul ujug-ujug dari kebiasaannya melihat langit malam. Dia tahu sedikit tentang rasi bintang dari buku-buku di perpustakaan sekolah.
Dari hampir seratus murid sekolah itu, tidak sampai 10 murid yang rajin membuka-buka buku perpustakaan. Ajuj termasuk dari sedikit anak itu. Hal apa pun yang menyangkut antariksa selalu menarik perhatiannya. Termasuk rasi bintang, galaksi, planet-planet, meteor, dan pasukan luar angkasa lainnya.
Ajuj sudah merasa langkahnya menjadi antariksawan dimulai ketika dia menemukan galaksinya.
ADVERTISEMENT
Galaksi Cinta....
”Kamu sudah siap Ebtanas, Juj?”
Ajuj memanyunkan bibir, ”Masih lama.”
”Tinggal empat bulan lagi.”
”Berati bukan besok pagi, to?”
”Iya, tapi kalau ndak siap dari sekarang, nanti ndak bisa dapat nilai bagus.”
”Buat apa nilai bagus, Thi? Ndak nerusin juga.”
“Kamu, kan, anak orang kaya, Juj. Bapakmu banyak uang. Kalau aku memang ndak tahu mau nerusin atau tidak. Sepertinya tidak.”
“Aku sekarang, kan, ndak punya orang tua, Thi. Ndak punya bapak. Cuma punya Mbah Gogoh.”
”Sampai kapan kamu mau tinggal di rumah Mbag Gogoh, Juj?” Kinanthi mengucapkan ganjalan hatinya.
”Sampai Bapak ndak maksa aku ke pesantren lagi.”
”Lha, bayaran sekolah kamu bagaimana?”
”Sekolah, ya, sekolah saja.”
”Biayanya?”
Mata Ajuj berbinar kemudian, ”Mulai besok, setiap pulang sekolah, aku naik gunung. Cari gamping.”
ADVERTISEMENT
Sekarang dua mata Kinanthi yang membelalak,”Apa ndak bahaya?”
”Ya, ndak apa-apa. Aku laki-laki, to? Tinggal di rumah Mbah Gogoh butuh biaya juga. Masak aku ndak bantu-bantu buat dapur Mbah Gogoh. Gulma itu namanya?”
”Gulma?”
”Iya. Seperti yang dibilang Bu Guru Siti. Gulma, tanaman pengganggu. Parasit.”
”Ooo.”
Diam sebentar.
”Mbah Gogoh ndak apa-apa kamu menumpang di sana?”
”Malah senang, Thi. Kan, Mbah Gogoh kesepian. Ndak punya anak, ndak punya cucu.”
Obrolan dua bocah itu kemudian ke sana-sini. Tentang teman-teman sekolah mereka bahas. Tentang tingkah orang-orang dusun tidak ketinggalan. Sepertinya obrolan itu tidak akan ujungnya jika tidak datang mobil pick up yang berhenti di depan rumah Kinanthi persis. Suara mesin meraung.
”Kulonuwun!”
ADVERTISEMENT
Kinanthi tergeragap. Dia mengenal suara itu. Suara Tukiman, bank plecit yang beberapa waktu lalu juga datang menagih utang.
”Monggo,” jawab Kinanthi setengah gemetaran, ”Bapak sedang ndak ada.”
”Mbokmu ada, to?” sambar Tukiman.
Tanpa mengiyakan, Kinanthi bergegas masuk rumah meninggalkan Ajuj dan Tukiman. Tak berapa lama, dia muncul lagi bersama simboknya.
”Wo, Pak Tukiman, mari-mari silakan masuk. Bapakne sedang ndak ada, je.”
”Saya mau menagih janji Pak Mangun.” Tukiman menganggap angin basa-basi mboknya Kinanthi. Dia tetap berdiri di depan pintu.
”Iya. Bapaknya Kinanthi sedang ke luar, mencari uang untuk mengembalikan pinjaman ke Pak Tukiman.”
”Batas waktu pengembalian sudah lewat lama ini. Saya ndak bisa menunggu lagi.”
”Lha, bagaimana lagi, Pak Tukiman. Saya, ya, ndak punya uang.”
ADVERTISEMENT
“Sudah saya ambil barang saja. Hitung-hitung Pak Mangun bayar bunga hutangnya ke saya.”
”Barang apa, Pak? Lha wong kita ndak punya apa-apa.”
”Nuwun sewu, permisi, saya lihat-lihat dulu,” Tukiman meminta izin di mulut, tetapi memaksa masuk tanpa menunggu persetujuan tuan rumah. Dia melangkah ke dalam rumah dan langsung menelisik seluruh isi rumah. ”Nah, itu ada lemari.” Tukiman mendekati satu-satunya lemari yang ada di rumah itu. Lemari pakaian yang dihuni baju-baju keluarga Mangun. ” Jati muda. Tapi lumayanlah buat bayar bunga.”
Mboknya Kinanthi tertegun di tempatnya berdiri. Dia tidak bisa mengucapkan kata apa pun. Juga ketika Tukiman dengan tidak sopan sama sekali membuka lemari itu dan mulai mengeluarkan isinya. Memindahkan sedikit pakaian dari dalam lemari ke atas meja.
ADVERTISEMENT
Tukiman berteriak beberapa kali, memanggil orang suruhannya yang masih ada di mobil pick up. Dua orang muncul kemudian. Sama-sama tinggi besar, seperti halnya Tukiman. Tanpa bisa dicegah, mereka bertiga lalu mengangkut lemari itu dari ruang tengah rumah Kinanthi, diangkat ke bak terbuka mobil itu.
Semuanya berlangsung cepat. Mboknya Kinanthi masih tertegun tanpa suara. Tatapannya menumbuk lantai tanah ruang dalam. Kinanthi mulai sesenggukan. Menangis karena takut sekaligus sedih. Rumah yang ia tinggali semakin kosong saja dari hari ke hari. Radio, jam dinding, meja kursi, sudah lebih dulu dijual atau diangkut bank plecit karena bapaknya tidak bisa membayar tunggakan utang. Sekarang, lemari warisan neneknya pun berpindah tangan.
”Thi ... kamu ndak apa-apa?” Ajuj hanya bisa mengatakan itu. Lebihnya, diam.
ADVERTISEMENT
”Sudah. Kamu pulang saja sana!” Suara mboknya Kinanthi melengking. ”Nanti orang-orang mengatakan macam-macam lagi. Nanti bapakmu yang pandai agama itu marah-marah lagi. Kamu pulang saja.”
Ajuj tahu benar, omongan ketus itu ditujukan kepadanya. Entah bagaimana, dia bisa memahami perilaku mboknya Kinanthi. Dia tidak tersinggung. ”Thi ... besok ketemu di sekolah, yo. Jangan sedih.”
Ajuj mengalungkan sarungnya. Menuruti keinginan mboknya Kinanthi, dia lalu meninggalkan rumah itu dengan langkah gontai. Sampai di jalan, dia menengok ke belakang. Kinanthi masih berdiri di teras rumah. Ajuj berusaha tersenyum.
”Kinanthi! Masuk!”
Teriakan mboknya Kinanthi memacu Ajuj agar segera meninggalkan tempat itu, kembali ke rumah Mbah Gogoh. Ajuj tersenyum masghul. Ternyata keadaannya pun tidak lebih baik dibanding Kinanthi.
ADVERTISEMENT