Bahasa dalam Bahaya

Tasaro Gk  Penulis Novel
Juru Cerita, penulis novel tetralogi Muhammad saw., pengajar jurnalistik, guru PAUD.
Konten dari Pengguna
19 Juli 2018 9:18 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bahasa-bahasa di Dunia (Foto: Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bahasa-bahasa di Dunia (Foto: Getty Images)
ADVERTISEMENT
Kang Emil, Wali Kota Bandung, yang keren itu menulis di twitter-nya "Warga Bandung, pengunjung Bandung, mari membuang sampah pada tempatnya."
ADVERTISEMENT
Berbuah 10 komentar, katanya.
Lalu, Kang Emil menambahi sedikit maklumatnya.
"Warga Bandung, pengunjung Bandung, buanglah sampah pada tempatnya, buanglah mantan pada temannya."
Ribuan cuitan meriuhi media sosial.
Kang Emil memaknai itu sebagai komunikasi efektif terhadap generasi milenial, mereka yang mengisi 50 persen daftar pemilih Pemilu, mereka yang menyebabkan terjadinya bonus demografi, mereka yang mendominasi "hunian" dunia maya.
Bahasa Milenial itu beda. Mesti lebih banyak guyonnya. Kang Emil tampaknya yakin betul, menjadi pemimpin zaman milenial mesti banyak canda dalam kata tapi superserius ketika bekerja. Sebab, ia menganggap proses mengedukasi adalah bagian paling susah dalam kepemimpinan, sedangkan bahasa menjadi media langsung dalam prosesnya maka memahami "bahasa" milenial menjadi menjadi penentu keberhasilannya.
Menyisir Jalan Riau, mengunjungi Alun-alun Bandung, melihat toilet Bandara Husain, Anda akan merasakan spirit itu. Grafis, humor bodor, warna, sedikit kalimat, tapi terasa ke arah yang teratur. Saya rasa baru di Bandung, penulis merasa keren, karena kalimatnya dipajang besar-besar di jalan utama kota. Di Asia Afrika, seberang Masjid Agung, Anda akan menemukan tulisan Pidi Baiq, ayahnya Dilan, terpampang, jauh sebelum filmnya menghebohkan.
ADVERTISEMENT
Pokoknya, dalam kepemimpinan yang intinya bagaimana menggunakan sebuah pengaruh untuk mendorong publik mengikuti program yang direncanakan, pendekatan ini, menurut saya, cukup produktif. Milenial sebagai objek didekati dengan simpatik, dipahami, dicelupi, digerakkan. Namun, pada konteks berbeda, ketika generasi ini bukan sedang menjadi objek melainkan subjek dari berbagai kepentingan, saya mulai merasa, bahasa mereka justru menjadi kendala. Bahasa bisa jadi dalam bahaya.
Kenangan masa muda (Foto: flickr/@StateFarm)
zoom-in-whitePerbesar
Kenangan masa muda (Foto: flickr/@StateFarm)
Bermula ketika mereka tak mendapatkan contoh, berbahasa itu sebaiknya bagaimana.
Jika tidak berpikir bahwa penulis memiliki kewajiban langsung untuk menjaga bahasa bangsa, rasanya hendak kabur saja dari arena. Sebab, apa yang tampak mata belakangan ini kian menggerus posisi bahasa sebagai alat komunikasi beradab ataupun penjaga etika.
Hari ini, orang yang ditahbiskan sebagai sastrawan bisa jadi malah mengolok-olok susastra dengan mengumbar caci maki, ketidakpekaan, kekasaran di media sosial, hanya untuk menyampaikan pendapatnya.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa jika ditanya, saya benar-benar tidak tahu apa itu sastra dan sastrawan. Sebab, yang saya pahami, nyawa sastra, ya bahasa, sedangkan sastrawan itu mereka yang meniti jalan filsuf. Seorang filsuf hendaknya lebih banyak merenung, sesedikit mungkin bicara kotor.
Sedangkan sastra Indonesia, selain hafalan sejarah Pujangga Baru, Balai Pustaka, Pram, sisanya adalah perdebatan. Malah saya mulai berpikir karya menjadi sastra kalau ada adegan seksual dan kaitan Peristwa 65-nya.
Lalu, begitu berlabel sastra, sahlah dia masuk ke perpustakaan sekolah, keren ditenteng-tenteng, lama-kelamaan membentuk nilai boleh dan tidak boleh, indah dan tidak indah, sastra dan tidak sastra.
Saya pilih menyisih. Saya menulis saja. Saya mengajak orang menulis saja. Tentang sastra saya tak tahu apa-apa. Wartawan; ia yang menyusur ketidaknyamanan, mengangkat jihad pena, garda terdepan kepentingan publik, belakangan kian samar keteguhan bahasanya. Kepentingan politik mungkin akan ikut menentukan sudut pandang berita, namun bahasa, semestinya tegak berdiri pada tempatnya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana bisa seorang wartawan salah paham soal "terharu atau bersedih", "bergeming atau tidak bergeming", "total atau totalitas", "alibi atau alasan."
Seorang wartawan mesti banyak belajar lagi jika tak menemukan ada hal janggal pada judul "Kawanan Penyelundup Narkoba Berhasil Ditangkap Polisi."
Banyak lagi. Banyak lagi.
Ilustrasi Wartawan (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Wartawan (Foto: Pixabay)
Sedangkan wartawan itu "guru bahasa Indonesia" seluruh anak bangsa. Lebih dipanuti dibanding guru yang mengajarkan teori sebenarnya. Kesalahan bahasa seorang wartawan akan diulang jutaan orang, sepanjang zaman.
Pembicara publik, motivator, mereka yang berkelidan dengan bahasa, setiap hari, jika tak menyempatkan diri untuk mempelajari bahasa sendiri, apa yang diulang-ulang akan terasa benar. Padahal banyak juga yang tak tepat sasaran.
Apalagi politikus, lebih-lebih pejabat.
Kemudian, bagaimana dengan generasi baru negeri ini? Mereka yang mencontoh kita; manusia yang hidup dan berbahasa lebih dulu dari mereka. Milenial menyerap kegagalan kita berbahasa lalu menggandakannya. Beberapa tahun ini saya cukup babak belur menghadapi bahasa milenial. Biasanya saya bertahan karena pilih berpikir, "Oh, mungkin memang saya yang menua. Makin baper. Dibegitukan saja tersinggung."
ADVERTISEMENT
Kalau sudah begitu, semua akan baik-baik saja. Sebab saya memahami cara mereka berbahasa tidak terkait etika, tata krama, EBI, unggah-ungguh Jawa, atau norma tata krama manapun.
Hanya, jika pola komunikasi seenaknya begini masuk ke ranah pekerjaan, biasanya saya pilih mengambil sikap. Setidaknya ada tiga kelompok yang saya perhatikan benar-benar.
1. Panitia yang hendak mengundang saya sebagai pembicara; 2. Redaksi yang hendak menggarap naskah saya; 3. Wartawan yang hendak membuat sebuah artikel.
Beberapa kali saya benar-benar tak bisa paham, di mana hilangnya pembelajaran berbahasa di kalangan anak muda? Sebab, kita mendadak merasa tidak terlibat di dalamnya. Orangtua, guru, tetangga, Pak RT, Pak RW semua akan berkata sama "Anak sekarang sudah tidak tahu cara berkata-kata yang baik kepada orangtua."
ADVERTISEMENT
Lha, mereka belajar dari mana? Ketidakbisaan mereka tanggungjawab siapa? Belum lama, seorang editor tiba-tiba muncul di layar WA saya, bahkan saya belum menyimpan identitasnya. Banyak yang dia katakan, hanya beberapa yang benar-benar saya perhatikan.
1. Aku begini begitu; 2. Aku mau bikin buku ini jadi begini begitu; 3. Aku minta begini begitu.
Dia mengirim hasil layout buku saya dan menyampaikan apa yang direncanakan redaksi terhadap buku itu. Sebenarnya lucu, karena setahun lalu, editor kepalanya sudah mengatakan hal yang sama.
Jadi posisi "aku" di situ pun tak terasa tepat rasanya. Terlalu memonopoli. Lalu, cara dia mengatakan, "Aku minta..."agar saya membuat semacam sinopsis untuk backcover buku itu pun membuat saya geleng-geleng kepala.
ADVERTISEMENT
Bahkan, jika intinya sama, seharusnya dia menyiapkan kalimat permintaan yang berbeda. Saya yakin saya menulis di penerbit tempat dia bekerja bahkan sebelum dia menjadi editor. Sebelumnya, saya tidak pernah didekati dengan komunikasi model ini. Kami bukan teman dekat. Usia kami bahkan mungkin terpaut satu dekade.
Komunikasi semacam itu tidak tepat bagi saya. Saya ingat betul, direktur tempat saya pernah menjadi editor selama lima tahun tidak pernah menyuruh saya dengan kalimat "aku minta." Beliau selalu menggunakan kata ganti orang pertama "saya" dan mengganti kata "minta" dengan "mohon" pada kalimat tulisan.
com-Komunikasi itu penting (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
com-Komunikasi itu penting (Foto: Thinkstock)
Ini editor ... meminta penulis yang bukan bagian sistem dia, mengakukan dirinya, lalu menyuruh-nyuruh penulis seperti hanya penulis saja yang berkepentingan terhadap buku itu.
ADVERTISEMENT
Bahkan, setelah saya jawab dengan tertib. Saya balas dengan sopan, dan saya katakan masih banyak editan dia yang bolong-bolong, sang editor perkasa ini hanya membalas "siap".
Saya kok yakin, selama lima tahun menjadi editor, kepada penulis pemula pun saya amat hati-hati memperlakukannya. Bahkan ketika menulis surat penolakan naskah.
Tunggu...tunggu. Saya tidak sedang mengadili etika dia. Itu sepenuhnya urusan dia. Tapi jika masuk ranah profesional, khususnya bertemu dengan penulis model saya, cara komunikasi semacam ini catatan tersendiri. Saya bisa memutuskan untuk tidak menerbitkan naskah di sebuah penerbit jika komunikasi editornya buruk.
Lalu panitia acara. Fuuuh...sudah berkali-kali. Sangat sering, panitia acara yang ingin saya jadi pembicara tidak menjadikan bahasa sebagai bagian penting dalam komunikasinya. Panitia yang sudah lupa ajaran PAUD nya tentang tiga kata ajaib "tolong, maaf, dan terima kasih."
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, kini, meski tak memakai manajemen, saya melibatkan istri saya untuk menyeleksi mana-mana acara yang layak didatangi. Acara yang memang benar-benar membutuhkan saya, bukan sekadar selebrasi. Acara yang panitianya tahu menggunakan bahasa.
Wartawan, yang mestinya paling tahu bagaimana menggunakan bahasa, memberi saya pengalaman tak terlupa. Ketika dia ditugasi redakturnya tetapi terlalu malas untuk wawancara dan saya menawarkan diri untuk menuliskan artikel tentang buku saya sendiri, dan dia menghilang begitu saja setelah saya mengirim naskahnya via email.
Telepon tak diangkat, kirim pesan tak dibalas. Padahal sebelumnya dia minta saya untuk mengirim artikel dengan aturan spasi hingga tenggat waktu yang padat.
Ketika akhirnya telepon tersambung, dia hanya komentar "Aku sedang sibuk. Telepon nanti lagi." Pada akhirnya saya tidak memedulikan dia lalu menelepon redakturnya, yang dulu jadi wartawan dari sejak hari pertama di bawah supervisi saya.
ADVERTISEMENT
Saya katakan, saya tidak mau berurusan lagi dengan wartawan itu. Kepada setidaknya, tiga kelompok milenial ini, bagi saya, bahasa tidak boleh dipandang satu mata. Usaha kecil saya untuk menjaga bahasa, tak mengapa jika orang lain menganggapnya tak berguna.
Baik bahasa sebagai alat komunikasi yang tertata, maupun bahasa sebagai pagar etika. Tapi apakah saya kehabisan harapan? Rupanya tidak.
Saya terhibur sekaligus terharu dalam sebuah perjalanan ke Jombang, Jawa Timur beberapa hari lalu. Ratusan pelajar Madrasah Aliyah, yang tetap remaja pembawaannya, riuh suaranya, enerjik tingkah lakunya, namun mereka menggunakan bahasa dengan bagaimana mestinya.
Kepala sekolah mereka, Pak Soetrisno, membuka acara tidak dengan bahasa yang bertele-tele tapi juga tidak lari dari fungsinya.
ADVERTISEMENT
"Harapan MAN 3 Tambakberas ke depan adalah menjadikan sekolah ini sebagai sekolah literasi. Kalianlah anak-anak Bahasa yang menjadi ujung tombaknya. Satu siswa satu buku. Siap?"
Ramailah kumpulan remaja itu menyerukan kesiapan mereka. Anak-anak muda yang masih mau mencium tangan orang lebih tua, berbicara pelan dan hati-hati, dan bersastra dengan sungguh-sungguh.
Beberapa di antara mereka naik ke panggung membaca puisi karya guru favorit mereka yang penulis multitalenta: Sastra Rialita. Saya jarang suka dengan puisi tapi saya menyukai puisi-puisi yang dibacakan anak-anak itu. Puisi tentang hal-hal sehari-hari. Puisi yang tidak diukir-ukir hingga susah dipahami.
***
"Jangan ditulis, Nak, nanti Pintar! " Jangan ditulis, Nak, nanti pintar!" Itu suara guru bahasa Arab jika kami mulai malas mencatat. "Jangan ditulis, Nak, nanti pintar!" Suara itu kembali terdengar.
ADVERTISEMENT
Baiklah, Pak, tidak kami tulis. Kami tidak ingin pintar. Kami ingin gembira. Jihan, ia pintar, Pak tapi ia jarang gembira. Setiap pagi, ia datang awal mula membawa tas yang penuh tugas rumah. Aku? Aku sesekali meminjam tugas itu. Sekali, oh bukan, dua kali. Ehm, sepertinya bukan. Berapa kali, ya? Jangan ditulis, Nak, nanti pintar! Suara itu dekat sekali di telinga
Guru bahasa Arab sudah ada di depan mejaku. Buku catatanku masih kosong.
***
Bahkan dengan bahasa, mengkritik guru pun bisa begitu puitis. Tak perlu bersikap tak sopan, apalagi menyakiti mereka dengan tangan.
Di panggung yang sama, tampil alumni yang belajar bahasa dari guru yang sama. Namanya Sudrajat dan ia baru saja menjadi sarjana. Berpuisi tentang hujan, dengan instrumen piano sebagai latar belakang. Hari-hari itu benar-benar pesta bahasa. Tidak berhenti pada kata-kata namun juga bagaimana bahasa membentuk tindak-tanduk.
ADVERTISEMENT
"Kami mendidik santri bagaimana tata etika berucap dan menghargai," kata Miss Real atau Bu Real, panggilan Mbak Sastra Realita di MAN 3 Tambak Beras ketika kami berbincang perihal penyusutan nilai bahasa dalam berbincang maupun beretika pada kalangan remaja. Saya percaya. Benar-benar percaya. Pesantren telah membuktikan berkali-kali kepada saya. Bahwa harapan bangsa ini masih ada. Dalam banyak hal, masa depan bahasa Indonesia salah satunya.