Jurnalistik Alien

Tasaro Gk  Penulis Novel
Juru Cerita, penulis novel tetralogi Muhammad saw., pengajar jurnalistik, guru PAUD.
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2018 10:43 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Berita (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Berita (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Saya pikir, Anda tidak bisa menyebut diri sebagai wartawan, menuliskan nama Anda di bawah artikel yang pembaca anggap sebagai berita, jika Anda tidak pernah melakukan peliputan.
ADVERTISEMENT
Bahkan setelah berstatus mantan pun saya masih merasa gelisah mendekati sebal bukan main dengan praktik yang belakangan dianggap sebagai jurnalistik online.
Saya masih mengajar jurnalistik untuk kalangan terbatas dan hampir-hampir tidak tahu bagaimana lagi menerangkannya, karena apa yang saya sampaikan di depan kelas dihancurberantakkan oleh---entah puluhan, ratusan, atau ribuan---website berjudul media yang menjadi rujukan baca ribuan, mungkin puluhan ribu, bahkan jutaan, penduduk negeri ini, setiap hari.
Belum lama, di salah satu grup yang saya ampu, yang setiap ada momentum selalu saya ingatkan untuk berhati-hati dengan sumber informasi, lagi-lagi muncul salin tempel "link" ke sebuah website informasi yang setelah saya baca isinya, saya paham sasaran pembacanya kelompok mana.
Itu sah-sah saja. Langkah awal menyiapkan media, ya, memang menentukan pembaca sasaran.
ADVERTISEMENT
Tapi yang membuat saya amat terganggu adalah, tulisan yang disebut artikel dalam web itu sama sekali bukan berita. Sedangkan ribuan pembacanya, mereka yang meninggalkan komentar caci-maki setiap hari, saya cukup yakin menganggap tulisan itu sebagai berita: tulisan hasil liputan tepercaya.
Lalu apa isinya? Tak lebih dari saling tempel macam-macam artikel media lain, dikumpulkan, diberi sudut pandang tendensius, lalu dengan manis diakhiri oleh nama siapa pun di ujung tulisannya.
Siapa yang menyebutnya sebagai produk jurnalistik? Media macam apa yang merasa berhak menjadi sumber informasi jika cara bekerjanya semacam ini?
Apa yang menjadi fenomena hari ini memang tidak ada pada 10 tahun lalu. Ketika hampir semua orang punya akun media sosial, termasuk artis, politikus, cendekiawan, birokrat.
ADVERTISEMENT
Anda bisa setiap waktu membaca komentar mereka tentang segala sesuatu. Namun, jika seseorang merasa telah berhak ditahbiskan menjadi penyampai berita bermodal salin tempel dari semua pernyataan orang-orang di dunia maya, saya kira orang itu tengah melecehkan profesi wartawan yang butuh jalan panjang penuh perjuangan untuk dapat mencapai sebuah pengakuan.
Bayangkan, sebagai contoh, seorang wartawan mesti terbang ke Papua untuk kemudian diusir oleh birokrat di sana, sedangkan orang lain cukup menyalin tempel tulisan sang wartawan dan memperlakukan berita itu seolah-olah hasil kerjanya.
Lalu bagaimana mestinya? Bukankah media jaringan biasa melakukannya?
Itu mesti dimulai dengan Anda punya media massa benar-benar. Dewan Pers memberitahu kita dari 43.000 media online hanya 234 saja yang memenuhi syarat Undang-Undang Pers. Berapa persen itu?
ADVERTISEMENT
Jika Anda sekadar pembaca dan "pembagi link" di akun medsos bagaimana bisa Anda tahu mana media yang terjamin mana yang tidak?
Syaratnya akan sangat normatif dan berderet-deret namun saya lebih nyaman menyampaikan, lebih penting dari segala persyaratan media massa ideal adalah: tanggung jawab jurnalistik.
Jurnalistik tidak lahir dari ruang hampa dan wartawan bukan profesi penuh kenyamanan. Ia bagian langsung dari demokrasi dan kemanusiaan.
Pertanggungjawaban pers pertama adalah publik dan ia menjadi pejuang kepentingan publik.
Sampai di sini tentu akan runyam karena kita tahu raksasa-raksasa pers Tanah Air saat ini punya kepentingan politik praktis. Namun hanya karena realitas itu bukan berarti kemudian jurnalistik tidak berguna sama sekali lalu apa pun yang bukan arus utama lebih pantas dipercaya.
ADVERTISEMENT
Maka, hanya media yang benar-benar punya wartawan yang setidaknya lolos babak pertama sebagai media yang patut dipercaya.
Bagaimana mungkin kita membaca, percaya, lalu menyebar-nyebar link "berita" yang medianya bahkan tidak punya wartawan?
Bagaimana memastikan sebuah media punya wartawan atau tidak?
Gampangnya Anda bisa mengecek susunan redaksinya. Jika redaksi saja tidak punya. Dari Pemimpin Redaksi sampai wartawan-wartawannya tidak ada, lalu siapa yang mempertanggungjawabkan setiap "artikel" di dalamnya?
Semua tulisan yang dimuat media massa adalah artikel, namun hanya "berita" yang ditulis oleh wartawan.
Jika pembaca mau sedikit bersungguh-sungguh, mengetahui adanya wartawan atau tidak dalam sebuah berita, amat mudah diketahui dari beberapa kalimat saja.
"Ketika dihubungi kumparan.com, si A menegaskan...."
"Sewaktu dihubungi detik.com... Si B sedang tidak ada di tempat."
ADVERTISEMENT
Bahkan kalimat pendek ini sudah memberitahu kita ada usaha wartawan media bersangkutan. Ada kerja jurnalistik yang dilakukan. Ada 5W+1 H yang unsur WHAT-nya adalah fenomena yang dihadapi wartawan, bukan sesuatu yang selesai dikerjakan bermodal apa pun yang bersliweran di internet.
Bagaimana jika media bersangkutan memang bukan memuat berita melainkan artikel opini?
Maka, tulis besar-besar bahwa media ini bukan media berita melainkan opini. Sedangkan opini redaksi dalam media massa hanyalah Tajuk Rencana: sikap sebuah media terhadap sebuah fenomena. Sikap ini tetap pada patokan utama hal yang mesti dibela: kepentingan publik yang lebih besar.
Sedangkan opini lain di luar Tajuk Rencana pembacalah yang menulisnya.
Jadi amat sumir jika sebuah media isinya adalah apa yang disebut sebagai artikel opini namun "penulisnya" adalah orang-orang yang digaji oleh media tersebut. Janggal dan belum ada rujukannya media massa berupa kumpulan tajuk rencana. Mungkin teorinya dari luar angkasa. Dari para alien.
ADVERTISEMENT
Terlebih, apa yang disebut sebagai opini tadi hanyalah kreasi salin-tempel dengan sedikit sudut pandang semaunya. Sebab, sebuah artikel opini mesti mengeksplorasi pendapat si penulis terhadap sebuah permasalahan. Bukan sekadar kalimat penghubung kepingan-kepingan informasi yang disalin tempel dari sana-sini. Mestinya, Artikel Opini semacam makalah di kampus tetapi Anda tulis dengan bahasa populer.
Jadi, ayo, lebih peduli. Jika Anda tak terlalu teliti memilah apa yang Anda sebut berita, setidaknya berhenti menyebarkannya.
Ini opini, bukan berita.