Laporkan Korupsi, Rp 200 Juta Menanti

Tasaro Gk  Penulis Novel
Juru Cerita, penulis novel tetralogi Muhammad saw., pengajar jurnalistik, guru PAUD.
Konten dari Pengguna
15 Oktober 2018 12:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi penolakan. (Foto: Shutter Stock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penolakan. (Foto: Shutter Stock)
ADVERTISEMENT
Saya cukup yakin, orang yang mampu melapor ke KPK ada koleganya yang korupsi itu, sedang marah sekali. Lalu ketika dia melapor oleh karena iming-iming uang Rp 200 juta, berarti kemarahannya ada pada tingkatan berbeda. Sudah marah, benci, syukur-syukur kebenciannya itu bisa memberi keuntungan.
ADVERTISEMENT
Semoga saja ketika benar dia mendapat uang itu, seluruhnya dia sumbangkan kepada korban bencana alam. Itu tentu mengubah kesan “bersenang-senang di atas kejatuhan orang lain” menjadi “melawan korupsi dengan kesungguhan hati.”
Saya akan memberikan konteks paragraf itu kepada Anda lewat sebuah kisah.
Setahun lalu, saya meletakkan amplop cokelat tebal berisi seluruh uang Bantuan Operasinal Pendidikan (BOP) bagi PAUD yang saya kelola di meja kepala UPT kecamatan tempat PAUD kami beroperasi. Melengkapi uang itu, saya sertakan selembar surat berisi pengembalian dana dan alasannya.
Akhirnya, hari ini, Senin, 21 Agustus, saya menyampaikan surat pengembalian dana BOP kepada Bapak sebagai pernyataan sikap tegas bahwa PAUD kami menjadi bagian dari gerakan PAUD Antikorupsi.
ADVERTISEMENT
Kami sertakan bersama surat ini, berita acara pengembalian dana BOP dan kuitansi bermaterai. Mohon kepada Bapak agar bisa menerima dan menandatanganinya. Terima kasih atas perhatian dan respons Bapak. Semoga langkah kami memberi inspirasi dan manfaat.
Begitu bagian dari surat panjang yang rada puitis itu. Intinya, daripada saya mengurangi hak-hak anak didik saya untuk keperluan yang tidak sesuai peruntukan, lebih baik PAUD kami tidak menerima bantuan sama sekali. Saya kembalikan saja. Paling tidak, saya tidak pusing menjawab pertanyaan malaikat di akhirat nanti kalau pun di dunia tidak ada yang mempermasalahkannya.
Beberapa pekan sebelumnya, para penyelenggara PAUD se-kecamatan berkumpul dan dianggap menyepakati pungutan BOP untuk dipakai berbagai keperluan. Dianggap menyepakati karena setidaknya saya tidak pernah sepakat, tidak pernah menyetujui. Baik tahun itu maupun tahun-tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Maka, ketika program ajaib itu tetap berjalan, saya memutuskan untuk mengembalikan seluruh bantuan dari pemerintah yang menjadi hak anak-anak di PAUD saya, dan di seluruh anak Indonesia.
Saya memilih mengembalikan dana itu ketika saya punya kesempatan untuk melaporkannya ke saber pungli, polisi, kejaksaan, atau KPK. Laporan itu gampang sekali. Bahkan, sampai hari ini saya masih bergabung di grup penyuluh antikorupsi yang adminnya dikelola kawan-kawan KPK. Tinggal 'klik', sampai sudah.
Anda bertanya, mengapa waktu itu saya memilih mengembalikan dana dan bukan melaporkan kasus itu?
Jika Anda berorganisasi dan begitu mengenal orang-orang di dalamnya, pada tahapan tertentu Anda akan menganggap mereka keluarga sendiri. Jika Anda ingin meluruskan sebuah kesalahan, Anda berusaha caranya tidak menyakiti hati, tidak mencelakakan, tidak merusak silaturrahim.
ADVERTISEMENT
Maka, mengembalikan dana, dengan bunyi surat yang spesifik adalah cara saya mengampanyekan gerakan antikorupsi itu. Meluruskan kebengkokan pikiran.
“Wah, ini yang sangat saya hindari,” kata Pak Kepala,” ... saya tidak pernah menyetujui ada pungutan-pungutan. Tidak pernah menyuruh. Masa’, Bah, saya mempertaruhkan pekerjaan saya bertahun-tahun begitu saja,” kira-kira begitu kalimat Pak Kepala. Agak marah.
Iya. Dia juga memanggil saya 'Abah'.
Inti pertemuan itu adalah, Pak Kepala tidak mau ada pungutan apa pun dalam BOP. Dia berjanji kepada saya untuk menyuruh siapa pun yang mengumpulkan sejumlah dana tidak sesuai peruntukannya untuk mengembalikan ke lembaga-lembaga.
ADVERTISEMENT
Benar kemudian. Seluruh penyelenggara PAUD berkumpul lagi. Tadinya saya mengira, agendanya hanya pengembalian pungutan kepada lembaga-lembaga yang sudah terlanjur menyetor. Rupanya tidak.
Mereka, orang-orang yang bertanggung jawab terhadap pungutan itu, marah-marah di depan orang-orang. Satu di antaranya malah sempat menelepon KPK dan bertanya apakah benar saya ini pegawai KPK.
Lha, kapan saya mengaku-ngaku pegawai KPK?
Saya penyuluh antikorupsi untuk PAUD hasil pelatihan KPK. Itu beda!
Suasana hangat bukan main. Ketika salah seorang dari mereka meninggikan suaranya, menyorotkan sinar matanya, dan bicara jauh dari konteks yang semestinya, saya gagal menahan diri. Saya berdiri, bicara dengan nada sangat tinggi, sudah tidak peduli apa-apa lagi.
“Kalau saya mau. Melaporkan kasus ini gampang sekali. Bahkan tidak perlu melaporkan, bukti-bukti pungli ini tinggal saya foto, saya posting di medsos. Selesai. Terkenal Anda! Mengapa saya tidak melakukan itu. Karena saya masih peduli. Saya tidak mau mencelakakan teman-teman sendiri. Saya ingin meluruskan tanpa mencelakakan.”
ADVERTISEMENT
Suasana tidak mereda. Saya malah dikeroyok kata-kata. Sampai saya benar-benar berteriak di depan para pejabat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tingkat kecamatan itu, di depan puluhan penyelenggara PAUD. “Sudah begini saja. Kita buktikan apa yang Anda lakukan itu melanggar hukum atau tidak. Terserah mau ke Saber Pungli, Polsek, atau ke KPK! Sekarang kita berangkat! Saya atau Anda yang salah.”
Dua...tiga kali saya mengulang kalimat itu sembari merendahkan martabat saya sendiri. Saya belum pernah berteriak-teriak semacam itu di depan banyak orang yang tidak saya kenal. Akhirnya malah Pak Kepala UPT yang menjawab saya.
ADVERTISEMENT
Pak Kepala tetap dengan putusannya. Hari ini, harus dijelaskan bahwa pungutan itu hal yang salah. Melanggar hukum. Dana harus dikembalikan. Saya merasa lega dan lemas pada saat yang bersamaan. Marah-marah itu melelahkan.
Saya lalu mendatangi orang-orang yang tadi saya tunjuk-tunjuk, meminta rida kepada mereka sambil tersenyum selebar-lebarnya. Mereka menerima jabat tangan saya, tetapi tidak tahu bagaimana hatinya.
Hari itu cukup bersejarah. Saya tidak tahu apakah ada kejadian serupa, ketika dana pungutan BOP dikembalikan kepada lembaga setelah dikumpulkan dengan 'sukarela'. Saya yang sebelumnya betul-betul terlanjur basah jika kasus itu masuk ke ranah hukum, merasa lega karena yakin telah melakukan hal yang tepat.
Bahwa, meluruskan kawan, sepahit apa pun, adalah hal yang layak dilakukan. Pada saat yang bersamaan, mencegah perbuatan salah dengan cara yang paling lembut, cara yang paling sedikit menyebabkan kerusakan, layak diusahakan.
ADVERTISEMENT
Saya telah merasa melakukan kewajiban saya. Kewajiban mengingatkan. Di PAUD kami, saya sangat berhati-hati mengunakan dana BOP. Guru-guru di sekolah saya pahamkan pelan-pelan agar mengerti, kami hanya akan mengambil apa yang menjadi hak kami. Termasuk untuk para guru.
Dari BOP kami hanya mengambil pos yang memang dibolehkan untuk dibagikan kepada guru. Itu sepuluh persen saja. Sisanya, saya gunakan untuk keperluan murid. Seluruhnya. Bentuknya mulai dari buku paket yang banyak itu, pemeriksaan kesehatan, makanan tambahan, administrasi, alat permainan, perbaikan fasilitas pendirikan, dan pos-pos lain yang tujuan akhirnya adalah mengoptimalkan kebutuhan anak didik.
ADVERTISEMENT
Penyelenggara PAUD tidak dapat apa-apa. Tidak meski Rp 10 ribu saja. Saya mendirikan PAUD memang bukan untuk mencari pendapatan. Saya gemar dengan dunia anak-anak.
Saya pun percaya, membantu orang lain, sekecil apa pun, tidak akan pernah sia-sia. Biarkan itu menjadi 'bisikan-bisikan' antara saya dan Tuhan.
Saya tahu, saya tidak bisa memaksakan apa yang saya yakini dan saya praktikkan kepada para penyelenggara PAUD yang lain. Mereka yang jumlahnya hampir 100 lembaga dalam satu kecamatan saja. Mendekati seribu setiap kabupaten dan menjadi puluhan ribu tersebar di hampir seluruh pulau di Indonesia.
Cara hidup orang beda-beda. Tapi setidaknya dengan teguh pada keyakinan yang saya jalani, saya mau mereka percaya, itu mungkin dilakukan. Senaif apa pun saya dan apa yang saya kerjakan di mata mereka.
ADVERTISEMENT
Setelah pagi yang 'hangat' itu, saya memang masih mendengar selentingan bahwa pungutan dalam bentuk berbeda tetap dilakukan. Selentingan yang susah dibuktikan. Jika sebelumnya saya bisa mengoleksi surat, kuitansi bertanda tangan terkait dengan pungutan, sekarang tidak lagi. Dengan begitu, saya tidak bisa memperlakukannya sebagai fakta. Tidak pasti kebenarannya.
Ilustrasi Stop pungli. (Foto: Jamal Ramdhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Stop pungli. (Foto: Jamal Ramdhan/kumparan)
Lagi pula saya kelelahan. Berteriak sendiri itu bikin lelah sekali. Saya merasa cukup dengan apa yang sudah saya lakukan. Bahkan para Nabi pun tugasnya hanya menyampaikan. Apa yang membuat setiap kaum berubah, ya, keinginan kuat mereka sendiri.
Sejak hari itu, saya hanya rajin mengingatkan tanpa langkah yang melebihi itu. Setiap ada berita perihal korupsi di level PAUD, saya screen shoot, saya kirim ke WA, sambil tertawa-tawa. Iya, saya capek dengan kengototan. Biasanya saya hanya memberi keterangan gambar dalam tangkapan layar, “Hoyong tekenal, Eceeeu? Mau terkenal? Nih, masuk koran.”
ADVERTISEMENT
Termasuk kasus yang di Jawa Timur itu. Ketika oknum Diknas dicokok penegak hukum karena terlibat pungli terhadap lembaga PAUD. Kita membaca berita itu dengan datar.
Padahal saya bisa membayangkan kehebohan apa yang terjadi di lapangan. Risiko apa yang dialami mereka yang melaporkannya. Itu sebelum hadiah Rp 200 juta menjadi janji bagi siapa pun yang melaporkan tindak korupsi.
Saya merasa, iming-iming hadiah yang fantastis itu agak-agak berbau frustrasi. Terbayang, kekacauan apa yang bakal terjadi. Ketika banyak orang termotivasi uang dan bukan karena keinginan menolong saudara sendiri. Menolong mereka agar tak terjerembab pada kesalahan dunia akhirat.
Boleh jadi orang-orang yang sebelumnya benar-benar ingin menegakkan semangat antikorupsi, niat hatinya berganti. Saya cukup yakin, mereka yang melaporkan kasus korupsi ke penegak hukum dan terbukti, berasal dari lingkungan sendiri.
ADVERTISEMENT
Sebab, ketika Anda mencurigai tetangga Anda yang kaya tiba-tiba, lalu Anda mendengar gosip dia korupsi, lalu melaporkannya, Anda tak akan ditanggapi jika tidak punya bukti. Bukti-bukti meyakinkan semacam itu sulit rasanya dimiliki orang-orang di luar lingkaran. Maka, tertangkapnya seorang koruptor hampir selalu bersamaan dengan aksi 'balik kanan' seseorang di kanan-kirinya.
Saya tidak mengatakan hal itu haram dilakukan. Ketika suatu tindak korupsi sudah begitu bebal. Susah diingatkan, pendekatan hukum memang bisa menjadi jalan ke luar. Bahwa kemudian sang terlapor mendapat hidayah atau tidak, tersadar atau tidak, itu garis nasib masing-masing.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa kita menyaksikan bagaimana napi korupsi ada yang korupsi lagi ada pula yang di dalam sel ia menemukan kedekatan Illahi.
Tulisan ini hanya sebagai sebuah penegasan betapa persoalan korupsi itu sudah begitu membelit masyarakat hingga ke tingkat terendah. Pungli, suap, gratifikasi menjadi wujud lain korupsi yang begitu liat dan pandai berubah rupa.
“Bah,” kata seorang yang akrab betul dengan saya,”...ini mah beranda-andai ya. Abah ngasih ke saya tidak melihat jabatan saya. Ngasih we karena Abah teh nya’ah ke saya. Sayang gitu. Itu juga korupsi?”
“Saya mah, kalau ngasih uang ke orang itu untuk zakat atau sedekah, Bu. Itu buat fakir miskin. Masa' Ibu saya kasih zakat sedekah?”
“Nggak mau atuh.”
ADVERTISEMENT
“Makanya,” seloroh saya. Iya. Saya berusaha menyampaikan hal-hal semacam ini sambil tertawa-tawa. Tidak akan banyak mengubah, tapi setidaknya orang-orang tahu, saya keras kepala soal itu.
Kejadian-kejadian itu sudah setahun berlalu. Sekarang, ketika BOP kembali cair, isu yang sama biasanya akan mengemuka. Saya sudah tidak tahu kabar terbarunya. Sebab, saya dikeluarkan dari grup WA guru PAUD beberapa waktu lalu.
Gara-garanya, saya bertanya, “Apa dasarnya jika PAUD yang tidak ikut manasik haji di kecamatan terus kena denda? Mohon kirim surat resmi ke lembaga. Akan kami pelajari.”
Saya bertanya begitu karena PAUD kami selalu menyelenggarakan manasik haji sendiri. Manasik haji seperti zaman Nabi. Naik turun bukit di kompleks perumahan kami. Menempuh jarak yang rada jauh dan memberi pengalaman berbeda bagi pesertanya.
ADVERTISEMENT
'Kakbah' kami dirikan di tanah lapang, dikepung Gunung Geulis dan Bukit Jarian. Lalu, kami harus didenda per murid karena melakukan itu hampir setiap tahun.
Bukan dijawab, saya dikeluarkan dari grup WA itu. Kali pertama seumur hidup, saya dikeluarkan dari grup mana pun. Anda biasa ke luar dari grup alumni dan perkumpulan. Sebabnya, bisa karena bosan atau sekadar menghindari mantan. Namun, dikeluarkan admin hanya karena sebuah pertanyaan sungguh menggelikan.
Padahal, jangankan didenda satu dua ribu per murid. Seratus ribu per murid pun bagi saya tidak masalah. Selama itu ada surat resminya, dan kuitansi bercap dan tanda tangan, tentu saja. Bahwa kemudian mereka yang bermasalah dengan surat resmi dan kuitansi, mereka yang tahu penyebabnya, ada kekhawatiran apa di baliknya.
ADVERTISEMENT