Mati Tanpa Notifikasi

Tasaro Gk  Penulis Novel
Juru Cerita, penulis novel tetralogi Muhammad saw., pengajar jurnalistik, guru PAUD.
Konten dari Pengguna
3 November 2018 9:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Iti Sartini (52) menunjukkan foto anaknya Tuti Tursilawati yang dihukum mati di Arab Saudi di kediamannya di Desa Cikeusik. (Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)
zoom-in-whitePerbesar
Iti Sartini (52) menunjukkan foto anaknya Tuti Tursilawati yang dihukum mati di Arab Saudi di kediamannya di Desa Cikeusik. (Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)
ADVERTISEMENT
Sekarang, keinginan Iti Sartini bersahaja saja. Ia hanya berharap diberi kesempatan menziarahi makam anaknya di Thaif. Di sebuah pemakaman umum di kota yang penduduknya pernah melempari Nabi Muhammad saw. itu, anaknya: Tuti Tursilawati, dibumikan setelah kepala berpisah dari badan. Dunia tahu, Tuti belum lama ini dipenggal algojo Kerajaan Arab Saudi. Ujung dari usaha selama delapan tahun untuk membebaskannya dari hukuman pancung: Mati tanpa notifikasi.
ADVERTISEMENT
Lalu seperti yang sudah-sudah, publik riuh membahasnya. Kepedulian dan keprihatinan menyelip di antara duka kecelakaan Pesawat Lion Air yang menguras air mata publik, usai gempa Palu dan Lombok. Tak terkecuali bumbu-bumbu politik pun “menyedapkan” isu ini. Bagaimana bisa, seorang warga negara Indonesia, dihukum mati tanpa pemberitahuan sama sekali? Apa sudah tidak ada wibawa sama sekali republik ini di mata Arab Saudi? Bahkan meskipun setiap tahun jutaan jemaah haji dan umrah Indonesia mengalir ke Tanah Suci menambah kekakayaan mereka?
Begitu kira-kira pendapat orang-orang.
Saya berpikir skeptis, hangatnya obrolan ini akan berusia pendek. Sampai nanti memanas lagi sewaktu kejadian yang sama terulang lagi dan lagi. Paling susah menolehkan wajah bangsa ini ke nasib pekerja migran sewaktu isu lain datang dan pergi bertubi-tubi. Padahal mereka menjerit setiap waktu. Meminta kepedulian, setidaknya sebagai perimbangan devisa negara yang mereka hasilkan. Selalu di atas Rp100 triliun setiap tahun.
ADVERTISEMENT
Diberitakan kumparan, Tuti Tursilawati dieksekusi tanpa bisa ditawar lagi karena kasusnya termasuk ranah Had Ghilah. Sederhananya, Tuti divonis sebagai pembunuh berencana. Ia membunuh Suud Mulhaq Al Utaibi, lelaki tua yang menjadi tanggung jawab pekerjaannya. Hakim memutuskan Tuti melakukan kejahatan Had Ghilah, sebuah kesalahan yang tidak bisa dimaafkan oleh keluarga korban bahkan tidak bisa dihapus oleh Raja Salman.
Tuti Tursilawati (Foto: Dok. Migrant Care)
zoom-in-whitePerbesar
Tuti Tursilawati (Foto: Dok. Migrant Care)
Bahkan, meskipun Tuti berulang kali mengatakan ia membunuh karena membela diri. Suud berkali-kali melecehkannya. Tapi hakim tidak setuju. Tuti bersalah. Hanya Allah yang berhak mengampuninya. Sehingga usaha apa pun tidak akan bisa membatalkan eksekusi keputusan hakim.
Tuti tak seberuntung beberapa sejawatnya yang lolos dari eksekusi lewat usaha habis-habisan KBRI di Arab Saudi. Beberapa dari mereka lolos konon setelah KBRI menyewa pengacara hebat yang bisa membuktikan kliennya tak sepenuhnya bersalah.
ADVERTISEMENT
Jamilah, misalnya, TKW asal Cianjur bernasib baik karena keluarga korban merelakan kematian anggota keluarganya. Rela, karena pembantu rumah tangganya itu membunuh untuk membela diri sewaktu hendak diperkosa majikannya. Bayanah, lolos dari hukuman mati setelah KBRI membayar 55.000 real denda dan pengadilan gagal membuktikan dia berniat membunuh anak majikannya. Neneng, TKW lain, sempat mendekam di penjara Ryadh sebelum pengacara yang disewa KBRI berhasil membebaskannya dari hukuman mati karena dituding sengaja membunuh anak majikannya yang berusia 4 bulan.
Nasib Tuti jauh benar dibanding Darsem yang tak hanya lolos dari hukuman pancung tapi juga membawa pulang uang Rp1,2 miliar sumbangan para donatur. Iya, wajah Darsem berseliweran di media massa ketika dia hendak dieksekusi pemerintah Arab Saudi, lalu publik Indonesia ramai-ramai menggelontorkan empati dan uangnya untuk membayar diyat demi membebaskannya.
ADVERTISEMENT
Uang pengganti yang mesti dibayar Darsem adalah 2 juta riyal atau Rp4,7 miliar. Pemerintah membayar penuh uang “maaf” itu sehingga sumbangan donatur sebesar Rp1,2 miliar sepenuhnya diberikan kepada Darsem. Lalu menyebar kisah ironis, sepulang ke Tanah Air, Darsem dikabarkan hidup serbamewah dengan uang itu sementara teman-teman TKW-nya tengah menghitung mundur waktu eksekusi dan tidak mendapatkan bantuannya sama sekali.
Mungkin Anda akan berpikir Darsem tidak punya empati yang cukup kepada sesama TKW yang sedang menghadapi ancaman hukuman mati. Namun, jika ditelaah dengan lebih adil, stasiun televisi yang mengumpulkan dana bantuan itu memang terang-terangan menggalang dana publik untuk Darsem, bukan TKW terpidana mati secara umum.
Mungkin belajar dari kasus Darsem, kini setiap kabar TKI yang hendak menghadapi hukuman mati menghiasi pemberitaan media, tidak ada lagi pengumpulan dana. Tidak untuk mengusahakan diyat, tidak untuk membayar pengacara hebat, tidak untuk keluarga yang ditinggalkannya.
ADVERTISEMENT
Termasuk bagi Tuti Tursilawati. Ia mati dengan cukup sepi.
Ada suara dari para politikus dan pejabat publik tentang wacana penghentian pengiriman TKI khususnya pekerja domestik. Itu terdengar agak-agak mirip dengan seruan politikus agar Lion Air menghentikan sementara seluruh penerbangannya setelah tragedi di laut Karawang.
Kata berita, perihal usulan para politikus itu, pemerintah sudah menjadwalkan akhir 2018 ini, Indonesia akan berhenti mengirim tenaga kerja nonformal, khususnya pembantu rumah tangga ke 21 negara di kawasan Timur Tengah. Diberitakan Detikfinance tiga tahun lalu, pemerintah hanya akan mengirim TKI ke kawasan Asia Pasifik dengan aturan yang sangat ketat.
Akhir 2018 sudah di depan mata. Kita akan membuktikan janji pemerintah dalam waktu yang tak lama.
ADVERTISEMENT
Toh, usulan agar Indonesia benar-benar berhenti mengirim tenaga kerja nonformal terus menderu. Itu beberapa hari lalu. Hari ini sudah sepi. Bahkan berita perkembangan pembunuhan kolomnis Washinton Post, Jamal Khasoggi masih lebih mudah ditemui.
Migrant CARE mencatat selama sepuluh tahun ini, ada enam TKI yang dieksekusi tanpa notifikasi. Keenam-enamnya dituduh membunuh majikannya. “Eksekusi hukuman mati terhadap pekerja migran kerap dilakukan tanpa tanpa memberikan notifikasi terlebih dahulu kepada pihak Pemerintah RI serta dengan mengabaikan akses terhadap keadilan dalam proses hukum yang berjalan,” kata aktivis Migrant CARE, Anis Hidayah.
Anis mengungkap data yang memberitahu kita bahwa Tuti bukan warga Indonesia terakhir yang akan dieksekusi mati. Sejak 2011, 188 kasus TKI yang terancam hukuman mati sedang ditangani. Di luar itu ada 392 kasus yang divonis bebas. Sebesar 72 persen TKI yang menghadapi hukuman mati di Saudi adalah perempuan.
ADVERTISEMENT
Dibandingkan banyak TKI di Timur Tengah yang berjumlah 1,3 juta orang, tentu angka masalah itu sekilas tidak ada apa-apanya. Namun, hilangnya satu nyawa tidak bisa dibandingkan dengan persentase apa pun.
Menjadi hal yang mengherankan sebenarnya, mengapa dalam banyak kasus TKI kita terseret dalam kasus pembunuhan yang kemudian mengancam nyawa mereka sendiri. Tidak temakan akal tentu saja mereka yang berangkat dari berbagai pelosok Indonesia dengan banyak mimpi dan harapan lalu terjebak dalam kasus kriminal yang susah diuraikan.
ADVERTISEMENT
Tetapi, itu sungguh-sungguh terjadi. Data memberitahu kita, di Arab Saudi angkanya cukup tinggi. Sebaliknya, kita lebih jarang mendengar kasus serupa di Hong Kong atau Malaysia, misalnya.
Harus ada studi lebih dalam lagi, namun, beberapa kisah yang saya dengar perihal para TKW di Timur Tengah memang tipikal. Mirip dan berulang.
Tahun 2009 saya menerbitkan sebuah novel berjudul Kinanthi. Ia adalah seorang TKW asal Indonesia yang bernasib buruk di Timur Tengah lalu mencapai sukses di Amerika. Sinetron banget, begitu kata beberapa kritikus. Terlalu “American Dream”.
Tapi dalam banyak kesempatan saya sampaikan, kisah itu berangkat betul-betul dari kisah nyata. Bahwa, benar-benar ada anak perempuan Indonesia yang dijual oleh orang tuanya seharga 50 kilogram beras dan diperlakukan selayaknya barang di Timur Tengah lantas diangkat sebagai anak negara di Amerika.
ADVERTISEMENT
Saya menceritakan ulang kisah “Kinanthi” itu seizin penutur pertama cerita itu, Mbak Arie Peach, perempuan Indonesia yang menetap di Amerika dan menjadi seorang penerjemah di Pengadilan Imigrasi Miami.
Bahkan, saya hampir mengutip utuh adegan dalam persidangan ketika “Kinanthi” menceritakan kisah pilunya kepada hakim. Bagaimana dia babak belur di rumah sebuah keluarga Arab sejak di Timur Tengah hingga di Amerika, lalu kabur dan diselamatkan keluarga Arab lain dari Mesir.
Mbak Arie menuliskan kisah itu dalam cerita pendek bergenre faksi (nonfiksi yang diceritakan seperti fiksi). Saya mengedit dan menerbitkannya bersama kisah perempuan-perempuan Indonesia lainnya yang tinggal di Amerika dalam bentuk buku berjudul Jilbab dalam Pelukan Paman Sam.
Begitu membaca kisah Mbak Arie saya langsung berkata kepada diri sendiri, saya harus mengangkatnya ke dalam novel. Sebab, adegan dalam ruang sidang Pengadilan Imigrasi Miami itu memelintir sebuah alur hidup seorang anak gadis Indonesia begitu rupa. Ketika hakim mengetuk palu, mengangkatnya sebagai anak negara, mencarikan orang tua asuh, menjamin pendidikannya, apa-apa yang dialami “Kinanthi” sekian tahun sebelumnya terpelintir menjadi sebuah kisah semacam Cinderella.
ADVERTISEMENT
Saya, waktu itu bertanya-tanya, lima tahun atau sepuluh tahun setelah hari di ruang sidang itu, apa yang akan terjadi? Kinanthi yang menjadi korban perdagangan manusia begitu rupa mungkin telah memeluk diploma, sudah menjadi perempuan Amerika. Lalu bagaimana dia hendak menghadapkan muka dengan masa lalunya? Orang-orang yang membuangnya?
Dalam proses riset untuk novel Kinanthi itulah saya bertemu banyak kisah TKW di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Apa mimpi mereka dan apa yang mereka alami dalam kehidupan nyata. Tidak semua buruk tentu saja. Namun, beberapa cerita memilukan memang membuat kisah lainnya menjadi timpang.
Kisah mereka tersebar di berbagai tulisan, artikel, tuturan, namun selalu menjadi bagian pola yang sama. Membuat orang berairmata lalu dilupakan begitu saja.
ADVERTISEMENT
“Sejak 1985 saya bekerja di Arab Saudi dan sudah beberapa kali pulang ke kampung halaman. Saya bertemu mereka di mana-mana,” Rosnani (48), TKW asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan kepada media menceritakan kisah kawan-kawan TKW-nya yang bernasib buruk, "Nasibnya serupa. Kalau tidak jadi sasaran nafsu syahwat, ya, jadi sasaran nafsu membunuh."
Rosnani membandingkan, kehidupan pembantu rumah tangga asal Indonesia di Arab Saudi sama saja dengan budak. Dijual para agen pembantu rumah tangga, ditarik lagi, ditempatkan di keluarga yang lain dan mengambil untung Rp15 juta sampai Rp20 juta dari setiap transaksi itu. “Kalau yang sudah tua seperti saya, mereka tidak doyan. Sebagai gantinya saya diperas bekerja 22 jam sejari tanpa libur. Dipukuli, disekap, diludahi, dilempar ke comberan,” kata Rosnani.
ADVERTISEMENT
Bahkan apa yang dikisahkan Rosnani terbilang ringan dibanding kawan-kawan lainnya yang berhasil pulang ke Indonesia dengan berbagai cacat tubuh dan psikis akibat diperkosa berulang-ulang, jatuh dari lantai atas rumah ketika berusaha kabur, atau memang habis-habisan dipukuli majikan.
Imas, TKW asal Majalengka adalah budak nafsu majikannya, hampir diperkosa ramai-ramai lima ponakan majikannya. Sebelumnya dia punya majikan seorang polisi yang menjadikannya samsak. Ditendang, dipukuli tanpa kesalahan apa-apa. Ketika lapor ke KBRI, dia malah dijebloskan ke penjara oleh majikannya. “Orang-orang KBRI tidak membela saya ketika mereka melihat saya diseret-seret dan dibawa ke penjara,” kenang Imas kepada Kompas.com.
Migrant CARE mencatat, setidaknya lima ribu pembantu rumah tangga mengalami kekerasan fisik di Arab Saudi. Dua ribu di antara kejahatan itu berbentuk kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Ketika saya menulis Kinanthi, dulu, apa yang saya niatkan adalah mengabadikan kisah para TKW itu dalam sebuah buku. Sebab, berita tentang TKW yang digunting lidahnya, disetrika badannya, diperkosa ramai-ramai, digebuki majikannya, selalu hanya berdurasi sesaat mengisi media massa. Saya berharap buku itu berumur lama sehingga pembaca pun terkenang-kenang kisah Kinanthi. Mengerti bahwa para perempuan Indonesia mengalami apa yang khalayak merasa itu hanya terjadi di film-film. Terjadi benar-benar dan jumlahnya ribuan.
Lewat lisan Kinanthi juga saya coba mengkritisi kebijakan pemerintah yang tak kunjung berubah. Pengiriman para TKW itu mestinya satu paket dengan usaha perlindungannya. Membosankan rasanya mendengar segala kemasan rencana pengiriman para TKW, khususnya ke Timur Tengah yang ujung-ujungnya tetap saja berjudi dengan kemungkinan.
ADVERTISEMENT
Enam bulan ke depan, misalnya, Indonesia akan melakukan ‘uji coba’ penempatan 30 ribu PRT ke Arab Saudi dengan segala polesan program. Awam, termasuk saya, tentu puyeng untuk memahami hal ini. Pada satu sisi, ada janji untuk menghentikan pengiriman pekerja nonformal pada akhir 2018. Pada sisi lain, justru besar-besaran rencana pengiriman TKW rumah tangga dengan alasan permintaan yang tinggi. Apakah susah memahami bagaimana permintaan pekerja migran asal Indonesia sangat tinggi berkaca pada cerita pilu para “pahlawan devisa” itu? Tentu saja tinggi, karena para agen PRT itu butuh “barang jualan” demi keuntungan mereka sendiri.
Polesan yang saya maksud tadi adalah, kali ini PRT yang bekerja di Arab Saudi akan diperlakukan jauh lebih manusiawi. Mereka mempunyai jenis pekerjaan yang spesifik. Misalnya, tukang masak, pengasuh anak, dan lainnya. Diupayakan, mereka tidak akan menginap di rumah majikannya.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, kita tidak tahu sejauh mana “upaya” itu sungguh-sungguh dilakukan.
Bagi saya, segalanya mestinya lebih sederhana. Persis seperti yang dikatakan Kinanthi di hadapan peserta seminar Universitas New York, dalam novel yang saya tulis itu.
"Dalam satu sudut pandang, Zana masih lebih beruntung dibanding saya. Minimal, dia tetap diposisikan sebagai istri seseorang. Saya bekerja seperti kuda dan dinamakan pembantu rumah tangga. Saya lebih merasa diperlakukan sebagai budak."
"Indonesia, negeri asal Anda sebelumnya mengirim banyak sekali tenaga kerja ke Timur Tengah?"
"Pembantu rumah tangga, tepatnya. Saya mulai berpikir bagaimana meyakinkan pemilik kebijakan negara itu untuk menghentikan pengiriman wanita-wanita sebagai pembantu rumah tangga."
"Bukankah itu berguna untuk menambah devisa negara?"
"Dengan mengorbankan hidup dan masa depan ratusan ribu sampai jutaan perempuan?"
ADVERTISEMENT
"Apakah semua perempuan Indonesia yang dikirim sebagai pembantu rumah tangga bernasib sangat buruk, Prof?"
Kinanthi diam sebentar. "Well, memang dalam jumlah tertentu, tidak sedikit pembantu rumah tangga yang bernasib cukup baik. Mereka memiliki majikan yang pengertian. Membayar gaji dan tidak memukuli mereka. Namun, boleh jadi untuk menemukan satu perempuan beruntung ini, kita harus melewati sangat banyak perempuan pembantu rumah tangga yang diperlakukan seperti budak. Mereka frustrasi, cacat permanen, menjadi gila, atau bahkan mati bunuh diri atau membunuh majikannya karena membela diri."
"Separah itu?"
"Jika saya tidak mengalaminya sendiri, saya pun akan menganggap ini kisah fiksi."
***
Saya sekarang sedang menunggu, apakah Arab Saudi akan mengadili komplotan pembunuh Khasoggi seperti mereka memancung Tuti.
ADVERTISEMENT