Plagiasi Sejak Dini

Tasaro Gk  Penulis Novel
Juru Cerita, penulis novel tetralogi Muhammad saw., pengajar jurnalistik, guru PAUD.
Konten dari Pengguna
23 September 2018 13:46 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah anak belajar menggambar di Taman Baca Kolong fly over Ciputat, Tangerang Selatan, Senin (13/8/2018). (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah anak belajar menggambar di Taman Baca Kolong fly over Ciputat, Tangerang Selatan, Senin (13/8/2018). (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Ketika mengisi acara di Dinas Perpustakaan Kota Bandung, seperti sebelum-sebelumnya, saya menyampaikan problem literasi yang akut di tingkat PAUD bersambung pada kenyataan banyaknya SD yang mewajibkan anak-anak kelas I telah mahir mengeja kata-kata.
ADVERTISEMENT
Saya akan kukuh tak menyebutnya sebagai kemampuan “membaca”. Kebanyakan anak-anak kita hanya dilatih mengeja kata-kata bukan membaca dalam pemahaman memaknai kata-kata yang ia eja.
Saya akan menyanggah apa yang disampaikan pembicara, seorang perempuan yang tentu saja guru SD, berdiri khusus menyiapkan kalimatnya kepada saya. Di sekolah saya, anak-anak kelas I tidak harus sudah bisa membaca.
Saya juga tidak setuju kalau guru dilarang membawa HP masuk ke dalam kelas. "Sebagai guru kan juga perlu adanya telepon pintar untuk mengecek berbagai hal yang berhubungan dengan pelajaran.”
Perihal wajib baca bagi anak kelas I SD itu bisa diperdebatkan. Saya bahkan hanya menjawab, “Oh, maksud saya adalah SD di lingkungan saya. Kalau di sekolah Ibu, saya percaya itu tidak terjadi.”
ADVERTISEMENT
Peserta acara lain justru mendebat pernyataan itu dengan memberi kesaksian bahwa mayoritas guru SD sudah tidak mau repot mendampingi anak-anak lulusan PAUD untuk membaca dengan alasan kurikulum SD telah begitu padat. Sehingga, jika anak kelas I belum bisa membaca, dia akan sangat tertinggal.
Ilustrasi anak membaca buku cerita. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak membaca buku cerita. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
Tapi, itu, sudahlah.
Saya lebih tertarik membahas pernyataan guru itu di ujung kalimatnya. Perihal kebutuhan seorang guru membawa telepon pintar ke dalam kelas. Setidaknya ada beberapa pertanyaan yang ingin betul saya tanyakan berkaitan dengan kebiasaan Ibu Guru yang ia ingin tidak ada orang yang menggugat itu.
1. Jika kebutuhan yang dia maksud adalah googling, demi mencari jawaban masalah-pembelajaran yang dirasa rumit dan tidak terselesaikan oleh pengalaman hidupnya, memang akan seberat apa pertanyaan murid-murid SD? Apa kabar RPPH?
ADVERTISEMENT
2. Kalau dia begitu mempercayakan intelektualitasnya kepada Google, apakah dia akan mengecek situs atau blog apa yang kemudian dia anggap kompeten untuk dijadikan referensi?
3. Berapa waktu yang dia butuhkan untuk berkonsentrasi kepada ponpin (telepon pintar-nya) dan apa yang dikerjakan murid selama Bu Guru ini asyik dengan kegiatannya?
4. Yakin, selama asyik dengan aktivitas “mencari jawaban persoalan yang rumit” itu dia tidak membuka aplikasi media sosial, percakapan, atau belanja daring?
Sebenarnya, saya marah dalam tingkatan tertentu. Sebab, ibu saya adalah guru SD sejak zaman Belanda, Jepang, hingga ujung Orde Baru. Karena kakak-kakak saya juga guru, lalu saya pun pengajar yang mencintai profesi mendidik manusia, saya cukup yakin, saya paham apa yang saya bicarakan. Bahwa, aktivitas ponpin di dalam kelas hanya sedikit memberi manfaat dan lebih banyak mengabaikan peserta didik.
Neneng Churaeroh mengajar di dalam kelas. (Foto: Moh Fajri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Neneng Churaeroh mengajar di dalam kelas. (Foto: Moh Fajri/kumparan)
Jika Anda seorang guru SD, bahkan dua tangan Anda akan terasa sangat kurang, kencang suara Anda teramat lirih, bekal sarapan Anda tidak akan pernah cukup. Sebab, Anda menghadapi puluhan anak yang harus diberi perhatian sama, distimulasi dengan niat baik yang sama, dimotivasi supaya mengeluarkan sisi terbaik mereka. Anda tidak akan punya waktu untuk diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Jika Anda berpendapat, selama mengajar itu Anda perlu ditemani telepon pintar, saya benar-benar ingin tahu, sikap apakah yang ingin Anda contohkah kepada anak-anak didik Anda?
Bahwa Google adalah sumber pengetahuan utama dan bukan buku-buku di perpustakaan?
Bahwa ilmu pengetahuan bisa diunduh dengan begitu instan dan proses memahami sudah tidak memerlukan sebuah urutan yang mencerdaskan? Sebab, kita hanya perlu mengetik kata kunci di kotak Google, menemukan tulisan entah siapa, pokoknya berhubungan dengan tema, menyalin kemudian menempelnya pada lembar jawaban?
Saya akan bercerita, perihal rutinitas saya setelah mengantar anak-anak ke sekolah. Masih pagi sekali, saya akan mampir di sebuah tempat fotocopy yang di seberangnya terdapat SMA favorit di kota kecamatan. Saya tidak hendak membahas skandal harga kursi pada setiap tahun ajaran baru di sekolah itu. Saya mau menyoroti apa yang sering saya temui di tempat foto copy.
ADVERTISEMENT
Saya biasa menghabiskan banyak waktu di sana bukan untuk foto copy saja, melainkan untuk menge-print dokumen. Baik tulisan atau pun gambar-gambar. Berhubungan dengan pekerjaan atau tugas saya sebagai penyelenggara PAUD. Lebih sering saya mesti antre karena komputer di tempat fotocopy itu terbatas.
Semua kursinya diisi remaja abu-abu putih yang sedang mengerjakan tugas dari guru mereka. Mengerjakan tugas itu, saya perhatikan, polanya selalu sama. Membuka kotak Google, mengetik kata kunci, menemukan situs, menyalin materi, menempel di MS Word, menghapus nama penulis asal, lalu meletakkan namanya sendiri. Mencetaknya. Selesai.
Entahlah dengan Anda, kalau saya, rasanya ada hubungan yang amat kuat antara kisah Bu Guru SD di awal tulisan ini dengan apa yang kemudian saya saksikan di tempat fotocopy itu. Mereka sama-sama sangat mengandalkan google, lalu menganggap kegiatan salin tempel pengetahuan itu sebagai kegiatan paling ilmiah sedunia. Bahkan, anak-anak ini tanpa beban mengetikkan nama mereka pada tulisan yang jangankan mereka tulis, dibaca dengan teliti pun tidak.
Ilustrasi platform Google. (Foto: Dado Ruvic/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi platform Google. (Foto: Dado Ruvic/Reuters)
Anak-anak ini sama sekali tidak peduli apa yang mereka salin dan mereka klaim sebagai karya mereka itu. Oleh sebab kejadian ini teramat sering saya saksikan, saya jadi ragu, apakah kemudian guru-guru mereka benar-benar mengecek tugas-tugas dadakan itu? Sebab, menemukan kejanggalan pada karya-karya plagiasi amatlah mudah. Apalagi jika dalam satu kelas terdapat beberapa karya tulis yang sama persis.
ADVERTISEMENT
Sebab, literasi adalah sebagian besar dari hidup saya, maka saya menganggap hal ini sebagai masalah yang amat serius. Anak-anak abu-abu putih itu, tentu belajar dan mencontoh dari orang lain bagaimana mereka menghadapi tantangan pembelajarannya?
Bisa jadi temannya, orang tuanya, atau bahkan gurunya. Lewat berbagai cerita saya tahu, beberapa guru justru yang menyuruh murid-murid mereka menggunakan internet sebagai sumber utama penyelesaian tugas-tugas di kelasnya.
Iya, internet sangat membantu, namun bukan sebagai jalan instan salin tempel yang dimaksudkan. Dalam penggunaan internet mesti dibarengi dengan kearifan, perihal pemilihan situs yang layak dipercaya dan seberapa jauh sumber dunia maya itu dijadikan rujukan.
Sayangnya, bagian penting itu sudah terlompati.
Lalu, seperti tiba-tiba, kegiatan sistem ini menciptakan begitu banyak plagiat yang bermula sejak dini. Mengapa ada anak SMA, beberapa waktu lalu, dengan percaya diri menuliskan pendapat filsafat orang lain menviralkannya dengan namanya sendiri? Lalu bagaimana bisa, dosen memplagiasi karya tulis mahasiswanya dan mengklaim produk ilmiah itu sebagai hasil pemikirannya?
ADVERTISEMENT
Bertanyalah kepada teman-teman dosen Anda dan temukan data berapa banyak skripsi mahasiswa yang daftar isinya adalah buku-buku yang ditulis jauh sebelum kelahirannya dan bahkan saat ini wujudnya sudah tidak ada. (Itu indikasi paling sederhana ketika sebuah karya tulis merupakan hasil kreativitas bermodal kotak Google)
Anda percaya ini semua terjadi begitu saja?
Saya tidak. Teknologi internet yang semestinya mempermudah dan bukan memberi mentahan ilmu pengetahuan kepada penggunanya makin ke sini dipakai dengan salah kaprah. Bukan hanya oleh anak-anak kita namun juga dicontohkan oleh kita: para orang yang sudah mulai tua.