Transgender, yang Penting Jujur

Tasaro Gk  Penulis Novel
Juru Cerita, penulis novel tetralogi Muhammad saw., pengajar jurnalistik, guru PAUD.
Konten dari Pengguna
19 Juli 2018 9:08 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Transgender (Foto: Dok.Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Transgender (Foto: Dok.Thinkstock)
ADVERTISEMENT
"Menjadi transgender atau transeksual itu hak siapa saja. Urusan mereka. Kelak akan mereka pertanggungjawabkan kepada Tuhan mereka. Hal yang penting itu jujur mengakui bahwa mereka transgender, bukan menutup-nutupinya demi sebuah tujuan tertentu."
ADVERTISEMENT
Tunggu...tunggu. Apa benar publik Indonesia telah sampai pada simpulan itu?
Simpulan bahwa LGBT telah sampai ujung diskusi. Bahwa konsep demokrasi yang memberi panggung kepada setiap golongan telah bulat-bulat kita adopsi? Ketika perseteruan luar biasa rumpi antara dua kubu transeksual memenuhi layar TV, situs berbagi, media online, media sosial, seperti biasa publik terbelah seolah-olah menjadi dua. Hanya dua. Sebelah mengumpat sang "diva" tertuduh sebagai transeksual yang menghapus jejak masa lalunya. Sebelah lagi mengelu-ngelukan oknum yang tak jerih berkata "Saya transeksual. Saya jujur kepada diri sendiri dan masyarakat."
Sebagian kita tiba-tiba amnesia, belum berapa lama, publik bereaksi kencang, begitu antipati terhadap segala bentuk LGBT. Sebab, beberapa hari ini, isu yang penting adalah "jujur atau tidak" bukan "boleh atau tidak"? Menahan diri beberapa lama tapi akhirnya saya merasa harus urun suara. Ada yang amat mengkhawatirkan di depan mata kita.
ADVERTISEMENT
Apakah memang setiap pria yang mengubah organ reproduksinya menjadi jenis sebaliknya, memperoleh jaminan negara untuk mengubah status kelaminnya? Apakah sama antara khuntsa alias hermaprodit dengan waria?
Wacana agama, setidaknya Islam, membolehkan seorang hermaprodit menyempurnakan jenis kelaminnya. Sebab di dalam dirinya terdapat dua alat kelamin yang menunggu identifikasi. Sedangkan transgender adalah seseorang yang berkelamin laki-laki namun ingin melakukan apa pun yang menjadi kecenderungan perempuan.
Apakah benar batasannya hanyalah operasi kelamin? Jika ia telah cukup biaya maka ia bisa mengubah dokumen identitas? Jika ia Muslim ia bisa mengubah hukum shalat Jumat!
Lalu hari-hari ini, jutaan penduduk negeri ini terbelah ke dalam dua kubu "jujur dan tidak jujur" tapi sesungguhnya, tanpa terasa, mereka tergiring pada isu yang sama, bahwa sudah waktunya transgender dimaklumi keberadaannya. Pengonsumsi informasi kemudian seolah disuguhi fragmen "bad cop good cop", ketika dua penyidik seakan-akan saling berlawanan, padahal mereka tengah berbagi peran untuk meraih satu tujuan.
ADVERTISEMENT
Tahun 2005 saya menulis tema LGBT untuk sebuah lomba novel nasional yang diselenggarakan Forum Lingkar Pena. Hal yang saya tawarkan bukan perihal "jujur atau tidak jujur" bukan soal "surga atau neraka". Saya coba urun rembuk dengan menyampaikan kecenderungan LGBT pada batasan tertentu samalah misinya dengan segala bentuk ujian Tuhan kepada manusia. Sama mulianya dengan segala tuna yang disematkan kepada saudara-saudara kita. Segala kekurangan atau malah kelebihan yang dicobakan kepada sebagian saudara kita yang lain.
Tak lebih apalagi kurang, hal-hal itu adalah cara Tuhan memuliakan manusia ketika ia mampu bertahan dalam kesabaran dan kesyukuran. Artinya berkecenderungan LGBT namun bertahan dalam ketakwaan adalah amal istimewa yang menjadikan manusia lebih dari manusia yang lain.
ADVERTISEMENT
Novel itu kontroversial tentu saja namun dewan juri menjadikannya sebagai pemenang. Bagi saya, penilaian itu membuat saya percaya, memang perkara ini mestinya dipandang dengan cara yang lebih bermakna. Bahwa kita tak perlu membenci atau menghakimi, tapi seyogyanya tak pula kita mengamini.