Menghadapi Masalah Gizi di Indonesia

CISDI Center for Indonesia Strategic Development Initiatives
CISDI adalah sebuah think tank independen yang berfokus pada perbaikan sistem pelayanan kesehatan untuk pencapaian SDGs Goal 3. Salah satu programnya, Pencerah Nusantara adalah gerakan pemuda yang bertujuan untuk memperkuat layanan kesehatan primer di daerah terpencil di Indonesia. Dikelola oleh CISD
Konten dari Pengguna
25 Januari 2020 16:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari CISDI Center for Indonesia Strategic Development Initiatives tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Permasalahan gizi anak terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia. Permasalahan gizi perlu diatasi serius oleh pemerintah untuk menciptakan SDM yang unggul.
Logika di atas kerap digunakan oleh pemerintah suatu negara untuk membuat kebijakan. Persoalan gizi, secara khusus di Indonesia, terkait erat dengan persoalan ketimpangan. Daerah yang menempati posisi tiga teratas dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia berturut-turut adalah NTT, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Tengah dan wilayah-wilayah dengan status ketimpangan tinggi lainnya.
ADVERTISEMENT
Tren permasalahan gizi tidak hanya terjadi di negara berpendapatan menengah ke atas seperti Indonesia, tetapi juga negara dengan pendapatan tinggi, seperti Amerika Serikat dengan permasalahan obesitas dan Inggris dengan permasalahan malnutrisi. Global Nutrition Policy Review WHO pada 2017 mencatat berbagai masalah gizi yang masih terjadi di dunia. Dalam catatan itu dikatakan bahwa satu dari tiga orang di dunia tercatat mengalami mengalami berbagai penyakit tidak menular terkait gizi seperti defisiensi mineral, kelebihan berat badan, kekurangan berat badan, dan bahkan obesitas.
Lebih jelas, 1,9 miliar orang dewasa mengalami kelebihan berat badan atau obesitas ketika 462 juta orang dewasa lain mengalami kekurangan berat badan. Pada 2017, 151 juta anak balita di dunia juga mengalami stunting ketika 38 juta yang lain mengalami kelebihan berat dan 51 juta yang lain justru mengalami wasting atau bobot tubuh berada di bawah anak normal. Lebih lanjut dikatakan, pada 2016 tercatat 340 juta anak umur 5-19 tahun mengalami kelebihan berat dan obesitas ketika 192 juta anak lain mengalami kekurangan berat badan.
ADVERTISEMENT
Bank Dunia menyatakan bahwa pola hidup, akses ke kesehatan, dan literasi gizi yang belum mumpuni kerap menjadi sebab kemunculan beragam persoalan gizi. Jika mengikuti logika yang tertera dalam laporan WHO di atas, siapapun, entah ia tinggal di kota besar maupun wilayah terpencil, berpotensi besar untuk mengalami persoalan gizi. Lantas, persoalan gizi apa saja yang masih menjadi masalah di Indonesia?
Pertama, stunting masih menjadi masalah yang belum bisa diselesaikan. Stunting merupakan kondisi gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu yang lama. Umumnya, stunting terjadi akibat kurangnya gizi pada 1.000 hari kehidupan anak. Anak yang mengalami stunting cenderung memiliki fisik yang pendek dan kemampuan kognitif yang rendh sehingga mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi stunting di Indonesia sebenarnya mengalami penurunan dari 37,2% pada 2013 menjadi 30,8% pada 2018. Meski demikian, angka itu masih jauh melebihi batas toleransi minimum WHO sebesar 20%. Secara teknis, stunting merupakan salah satu klasifikasi dari status gizi anak berdasarkan Tinggi Badan menurut Umur (TB/U). Jika seorang anak dinyatakan mengalami stunting, ia akan kesulitan untuk mengejar tinggi badan rekan sebayanya.
Baca artikel selengkapnya di sini!