Menuju Cakupan Kesehatan Semesta, Indonesia Masih Perlu Berbenah

CISDI Center for Indonesia Strategic Development Initiatives
CISDI adalah sebuah think tank independen yang berfokus pada perbaikan sistem pelayanan kesehatan untuk pencapaian SDGs Goal 3. Salah satu programnya, Pencerah Nusantara adalah gerakan pemuda yang bertujuan untuk memperkuat layanan kesehatan primer di daerah terpencil di Indonesia. Dikelola oleh CISD
Konten dari Pengguna
27 November 2019 12:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari CISDI Center for Indonesia Strategic Development Initiatives tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Pexels.com
ADVERTISEMENT
Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) adalah prinsip penyediaan akses kesehatan berkualitas kepada warga negara tanpa adanya hambatan finansial. Indonesia sebagai negara dengan ketimpangan pendapatan yang tinggi memiliki motif kuat untuk mengimplementasikan UHC. Ini karena produktivitas warga negara terkait erat dengan akses terhadap hak dasar, seperti kesehatan dan ketenagakerjaan.
ADVERTISEMENT
Mengimplementasikan jaminan kesehatan dalam kebijakan sudah dimulai sejak dibentuknya Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan dan Kesehatan (BPDK) pada 1968. BPDK namun hanya diperuntukkan kepada PNS dan pensiunan PNS. Pada 1992 muncul Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1992 tentang PT. Askes (Persero) yang memberi jaminan tidak hanya kepada PNS tetapi juga pegawai BUMN dan masyarakat miskin melalui Program Askeskin dan Askes Komersial.
Luasnya lapisan sosial yang tercakup dalam sistem jaminan itu berujung dengan dikeluarkannya Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui UU no. 4 Tahun 2004 hingga munculnya Program BPJS pada 2014. Jika menilik logika luasnya kepesertaan dalam sejarah itu, apakah lantas UHC terpenuhi semata jika semua warga negara bisa mengakses jaminan kesehatan?
ADVERTISEMENT
Nyatanya, untuk mencapai tujuan ideal pemenuhan UHC, Indonesia perlu banyak berbenah. Pemenuhan UHC bisa tercapai jika penerapan kebijakan bersifat holistik dan tidak melulu hanya menyasar jumlah peserta. Ini merupakan prinsip fundamental UHC yang berakar dari pengakuan kesehatan sebagai sebuah hak asasi manusia, bukan previlese.
Madeleine Randall, peneliti kesehatan masyarakat, mencatat, 90% sub-distrik di Indonesia telah memiliki pusat kesehatan, namun hanya 75% yang memiliki alat-alat kesehatan yang cukup. Di sisi lain, sebanyak 57% pusat kesehatan juga tidak memiliki jumlah perawat yang cukup.
Konsekuensinya tidak sederhana; waktu berobat menjadi panjang dan pelayanan kesehatan pun tidak maksimal. Semakin terpencil suatu daerah, semakin terasa juga kondisi tersebut. Kondisi pasien yang sakit dan seharusnya bisa mendapat perawatan maksimal pada pelayanan kesehatan dasar tidak tercapai dan pada akhirnya perlu mengeluarkan biaya lebih untuk perawatan kuratif lainnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, warga negara juga perlu dikritik. Aspek kultural memandang gejala dan penyakit sebagai bentuk ‘pembalasan’. Sakit diindentikkan sebagai penghapus dosa dan tanda kedekatan pada yang maha kuasa. Sebab itu, pemuka agama lebih sering dimintai pertolongan daripada tenaga kesehatan professional yang bertugas di puskesmas atau rumah sakit. Literasi tentang kesehatan perlu digalakkan hingga pelosok-pelosok daerah, supaya warga memiliki kesadaran yang cukup untuk menuntut hak atas kesehatan.
Bagaimanapun, pencapaian UHC adalah pilihan politik, namun juga diperlukan keseriusan dalam domain birokrasi yang tidak main-main. Ini bisa dimulai dengan menyejajarkan paradigma pemerintah yang menitikberatkan output keterjangkauan peserta dengan pembenahan input, seperti SDM maupun peralatan dalam jejaring sistem kesehatan nasional.
ADVERTISEMENT
Bersamaan dengan itu, secara progresif pemerintah juga perlu membenahi hal eksternal sistem kesehatan nasional, seperti akses transportasi menuju fasilitas kesehatan di daerah-daerah terpencil. Perihal sosio-kultural juga perlu dijadikan perhatian, bisa dimulai dengan melibatkan pemuka agama terlibat dalam dialog kesehatan. Atau juga, menciptakan suasana puskesmas yang nyaman dan menyenangkan sebagai pelayanan kesehatan dasar yang disediakan negara.
Pemerintahan yang baru terpilih sepertinya memahami urgensi ini. Setidaknya, keseriusan membenahi input itu muncul dalam Narasi RPJMN versi Agustus 2019 yang juga berfokus pada peningkatan pelayanan, pembukaan ruang dialog pemerintah daerah dengan sektor swasta dan masyarakat, serta pemenuhan dan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan. Namun, seluruh lapisan masyarakat perlu senantiasa memantau dan mengingatkan jika program kerja pemerintah dirasa meleset dari tujuan awal dalam memperkuat UHC.
ADVERTISEMENT
Keterjangkauan peserta Jaminan Kesehatan Nasional merupakan bagian dari implementasi UHC. Namun demikian, ia tidak dapat dijadikan patokan keberhasilan. UHC perlu direalisasikan secara holistik dan lintas dimensi. Penerapannya memerlukan kehendak politik yang kuat untuk membenahi birokrasi dan ketersediaan SDM serta perlu menjamin keterlibatan publik, swasta, dan masyarakat sipil. Semua itu diperlukan untuk mencapai kesehatan sebagai hak dasar yang bisa dinikmati seluruh warga negara Indonesia. Tanpa terkecuali.
Oleh:
Amru Sebayang
Sumber:
https://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/hiv-aids/universal-health-coverage-for-sustainable-development---issue-br.html
http://www.cisdi.org/articles/view/indonesias-long-and-winding-road-to-universal-health-coverage
https://kebijakankesehatanindonesia.net/25-berita/berita/3400-cakupan-kesehatan-semesta
https://www.who.int/health-topics/universal-health-coverage#tab=tab_1
Narasi RPJMN IV 2020-2024 Edisi Agustus 2019