Persoalan Stunting dan Peluang Menyelesaikannya

CISDI Center for Indonesia Strategic Development Initiatives
CISDI adalah sebuah think tank independen yang berfokus pada perbaikan sistem pelayanan kesehatan untuk pencapaian SDGs Goal 3. Salah satu programnya, Pencerah Nusantara adalah gerakan pemuda yang bertujuan untuk memperkuat layanan kesehatan primer di daerah terpencil di Indonesia. Dikelola oleh CISD
Konten dari Pengguna
25 Januari 2020 17:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari CISDI Center for Indonesia Strategic Development Initiatives tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Meskipun meletakkan gizi sebagai fondasi pembangunan manusia, persoalan gizi, khususnya stunting, masih menjadi persoalan serius di Indonesia.
Narasi RPJMN Edisi Agustus 2019 menekankan terbangunnya struktur ekonomi yang kompetitif.Untuk mencapai kondisi ideal itu, pemerintah menetapkan pilar pembangunan sumber daya manusia yang ditopang oleh beberapa sub-bahasan pembangunan lainnya, di antaranya aspek kesehatan anak, termasuk peningkatan kualitas gizi. Pencapaian status gizi yang baik, terorganisir, dan dapat dirasakan langsung hingga tingkat keluarga bisa menjadi tumpuan utama pemerintah untuk mencapai kualitas SDM terbaik. Di atas kertas dalam laporan RPJMN, pemerintah menampilkan komitmen itu dengan menekan prevalensi stunting hingga 30,8% pada 2018 dari angka 37,2% pada 2013.
ADVERTISEMENT
Dari sisi regulasi, UU No. 36 tahun 2009 secara tegas mengamanatkan pemerintah untuk mengupayakan perbaikan gizi warga negara. Sementara itu, Perpres No. 42 tahun 2013 juga mengatur mengenai Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi (Gernas PPG) yang memberi peluang organisasi masyarakat sipil untuk terlibat dalam upaya pemenuhan gizi dan pencegahan stunting oleh masyarakat sipil. Stunting sendiri merupakan satu permasalahan gizi yang paling mengancam masa depan sumber daya manusia Indonesia.
Stunting merupakan permasalahan gizi kronis yang kerap terjadi di negara-negara berkembang. Pengaruh stunting terhadap tumbuh kembang anak sangatlah besar. Stunting tidak hanya memengaruhi kondisi fisik yang pendek, namun juga daya serap kognitif seorang anak. Sebab itu, anak yang mengalami stunting sulit menjadi produktif dan memberikan sumbangan ekonomi di masa depan.
ADVERTISEMENT
Penurunan prevalensi stunting pada kisaran 30% bisa dikatakan komitmen politik yang baik. Namun, angka itu masih menyimpang jauh dari batas toleransi stunting sebesar 20% yang ditetapkan oleh WHO. Oleh karena itu, mengingat komitmen politik, kerangka regulasi, dan peluang kerja sama antar-sektor, pemerintah perlu memanfaatkan beberapa peluang untuk mengurangi prevalensi stunting secara holistik dengan melibatkan sebanyak mungkin aktor.
Pertama, literasi masyarakat tentang sumber pangan lokal tinggi gizi perlu ditingkatkan. Perlu diakui, permasalahan stunting terkait erat persoalan ekonomi dan sosial di sebuah daerah. Tak ayal, prevalensi stunting tertinggi di Indonesia juga terjadi di daerah dengan tingkat ketimpangan yang tinggi, seperti NTT, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Tengah. Harga pangan yang tinggi dan tingkat kesejahteraan yang rendah menjadi pokok persoalan masyarakat untuk mengakses pangan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini diperkuat dengan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik dan World Bank. Kedua lembaga tersebut mengonfirmasi bahwa harga beras di Indonesia dua kali lipat lebih mahal dari harga beras dunia. Di sisi lain, literasi masyarakat lokal terhadap nilai gizi masih sangat rendah sehingga cenderung mengabaikan aspek kesehatan dan tumbuh kembang anak. Padahal, faktor fisik dan mental merupakan penopang kelangsungan kehidupan ekonomi di daerah-daerah tersebut.
Melalui intervensi yang dilakukan oleh Tim Pencerah Nusantara, ditemukan fakta bahwa pangan lokal bisa menjadi solusi atas kondisi tersebut. Beberapa sumber pangan lokal yang dimaksimalkan oleh masyarakat di beberapa daerah penempatan Pencerah Nusantara, di antaranya itik yang diternakkan secara swadaya oleh masyarakat di wilayah Lindu, Sulawesi Tengah dan tanaman Kelor di wilayah Poto Tano, Nusa Tenggara Barat. Kerja kolektif antara tim dengan puskesmas, pemerintah daerah, dan warga lokal berhasil mengatasi persoalan ekonomi yang menyebabkan stunting.
ADVERTISEMENT
Baca artikel selengkapnya di sini!