news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tiga Alasan untuk Menolak Sunat Perempuan

CISDI Center for Indonesia Strategic Development Initiatives
CISDI adalah sebuah think tank independen yang berfokus pada perbaikan sistem pelayanan kesehatan untuk pencapaian SDGs Goal 3. Salah satu programnya, Pencerah Nusantara adalah gerakan pemuda yang bertujuan untuk memperkuat layanan kesehatan primer di daerah terpencil di Indonesia. Dikelola oleh CISD
Konten dari Pengguna
17 Februari 2020 14:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari CISDI Center for Indonesia Strategic Development Initiatives tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Praktik sunat perempuan di Indonesia masihlah tinggi. Indonesia bahkan menjadi negara ketiga dengan prevalensi sunat perempuan tertinggi (Sumber Gambar: krwg.id)
zoom-in-whitePerbesar
Praktik sunat perempuan di Indonesia masihlah tinggi. Indonesia bahkan menjadi negara ketiga dengan prevalensi sunat perempuan tertinggi (Sumber Gambar: krwg.id)
ADVERTISEMENT
Tanggal 10 Januari 2020, VICE menerbitkan artikel yang melaporkan pelaksanaan sunat perempuan massal di Kota Bandung ketika 120 orang menjadi peserta. Meskipun dokter sunat perempuan susah ditemui, permintaan sunat perempuan justru masih tinggi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ini sejalan dengan temuan UNICEF yang mencatat hampir setengah anak perempuan di bawah 14 tahun pernah mengalaminya. Wajar Indonesia jadi negara ketiga dengan prevalensi sunat perempuan tertinggi setelah Gambia (56%) dan Mauritania (54%).
Mengingat praktik ini tidak memiliki alasan medis yang kuat, WHO telah menyatakan bahwa praktik sunat perempuan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi perempuan dan anak perempuan pada tahun 2018.
Dari empat tipe FGM yang dikelompokkan oleh WHO, tindakan sunat perempuan termasuk dalam tipe ke-4, yaitu prosedur berbahaya lainnya pada alat kelamin perempuan untuk tujuan non-medis, seperti menusuk, melubangi, mengiris, mengikis, dan membakar area genital.
Tindakan ini termasuk dalam prosedur yang secara sengaja mengubah atau menyebabkan cedera pada alat kelamin perempuan tanpa manfaat kesehatan apapun bagi anak perempuan. Atas observasi ini, CISDI merangkum tiga alasan yang kuat untuk menolak sunat perempuan dari kaca mata kebijakan kesehatan, dampak kesehatan, dan kurikulum pendidikan medis.
ADVERTISEMENT
Pertama, Sunat Perempuan Tidak Memiliki Dasar Kebijakan
Kendati dianggap praktik lazim, sunat perempuan belum memiliki dasar kebijakan yang kuat di Indonesia (Sumber Gambar: pexels.com)
Maraknya praktik sunat perempuan di Indonesia membuat Kementerian Kesehatan mengeluarkan aturan pelaksanaan sunat perempuan melalui Permenkes Nomor 1636/MENKES/PER/XII/2010.
Dalam aturan tersebut, disebutkan definisi sunat perempuan, standar profesi, standar pelayanan, serta pelarangan sunat perempuan dengan metode kauterisasi klitoris, memotong atau merusak klitoris, memotong atau merusak labia minora, labia majora, selaput dara, dan vagina baik sebagian atau sepenuhnya.
Sayangnya, aturan ini malah diterima sebagai lampu hijau bagi tenaga medis untuk melakukan tindakan sunat perempuan. Ini mendorong Kementerian Kesehatan mengeluarkan Permenkes Nomor 6 Tahun 2014 yang mencabut aturan tentang Sunat Perempuan.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia menimbang bahwa sunat perempuan hingga saat ini bukan tindakan kedokteran karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan.
ADVERTISEMENT
Kedua, Sunat Perempuan Memiliki Dampak pada Kesehatan Fisik dan Mental
Sunat perempuan tidak hanya bisa memicu komplikasi kesehatan, tetapi juga mendorong masalah mental (Sumber Gambar: pexels.com)
Sunat perempuan ditinjau dari sisi kesehatan berpotensi memunculkan efek komplikasi kesehatan. Menurut Riskesdas 2013, tindakan sunat perempuan tidak hanya dilakukan oleh bidan (50,9%) dan tenaga kesehatan lainnya (2,3%), tetapi juga oleh dukun bayi (40%) dan tukang sunat (6,8%).
Tindakan yang dilakukan oleh selain tenaga kesehatan menimbulkan kekhawatiran tentang kebersihan alat-alat yang digunakan dan bisa secara langsung meningkatkan risiko infeksi.
WHO juga menekankan dampak sunat perempuan pada kesehatan mental. Seiring dengan pertumbuhan anak perempuan penyintas sunat perempuan, mereka menghadapi potensi disfungsi seksual yang berpotensi menimbulkan stres dalam pernikahan.
Dalam jangka panjang, perempuan penyintas sunat perempuan memiliki kemungkinan menderita anxiety, depresi, hilang ingatan, gangguan tidur, dan post-traumatic stress disorder (PTSD).
ADVERTISEMENT
Ketiga, Sunat Perempuan Tidak Termasuk dalam Kurikulum Pendidikan Tenaga Kesehatan
Berdasarkan survei CISDI dan laporan beberapa lembaga, didapati bahwa banyak tenaga kesehatan yang tidak mendapatkan pendidikan tentang praktik sunat perempuan (Sumber Gambar: pexels.com)
CISDI melakukan survei kepada 76 tenaga kesehatan dan mahasiswa kesehatan yang sedang menjalani studi keperawatan, kebidanan, dan kedokteran.
Survei itu berkesimpulan bahwa 1 dari 10 responden pernah menerima pengajaran secara formal untuk melakukan praktik sunat perempuan saat di bangku kuliah. Sejumlah tenaga kesehatan yang pernah mendapat pengajaran menempuh studi kebidanan di Bandung dan Kalimantan Tengah serta studi keperawatan di Nusa Tenggara Barat.
Berdasarkan hasil kajian kualitatif Komnas Perempuan (2018), para bidan tidak mendapatkan ilmu secara teoritis dan praktik untuk melakukan Pemotongan-Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) karena tidak termasuk dalam standar dan kompetensi bidan.
Pengetahuan didapatkan dari bidan senior di lapangan. Salah satu perawat di Kabupaten Lombok Barat mengaku mendapatkan kurikulum sunat perawat saat menjalani studi D3 Keperawatan.
ADVERTISEMENT
Sunat perempuan tidak terbukti memberikan manfaat terhadap tubuh perempuan sehingga perlu upaya yang lebih besar agar masyarakat memperoleh akses informasi atas konsekuensi yang ditimbulkan.
WHO juga menyatakan bahwa sunat perempuan atau female genital mutilation ini melanggar hak seseorang atas kesehatan, keamanan dan integritas fisik, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, serta hak untuk hidup saat prosedur berpotensi berujung pada kematian.
Masyarakat perlu menuntut komitmen dan aksi nyata dari pemerintah untuk menciptakan faktor pemungkin agar lapisan masyarakat lainnya dapat urun rembuk menekan praktik sunat perempuan agar perempuan-perempuan muda di Indonesia dapat memiliki otoritas terhadap tubuh serta masa depan yang lebih baik.
Baca artikel selengkapnya di sini!
ADVERTISEMENT