Bulan yang Luruh di Dermaga

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
Konten dari Pengguna
4 Oktober 2023 21:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rumah itu menghadap dermaga dengan teras kecil yang rapi di sisi kiri dan kanan ditumbuhi rumput-rumput jepang dengan dua pohon bunga yang tidak terlalu rimbun di kanan dan kirinya. Rumah kecil saja, tipe 36 yang hanya punya dua kamar. Kalau malam tiba, bintang dan bulan terlihat jelas, pun pagi dan siang hari kapal lalu lalang baik kapal penumpang maupun nelayan.
ADVERTISEMENT
Rumah temanku, Ria. Kemarin saya nego sama dia untuk tinggal sebulan di sana. "Pinjam sebulan kataku," ketika berhadap-hadapan di warung pisang ijo dekat kantorku yang penuh sesak. Saya dan dia janjian di sana. Cuaca memang lagi terik-teriknya kantor yang ber AC saja masih terasa panas. Tak heran warung itu diserbu pembeli. Semua ingin mengusir panas dengan makan dan minum yang dingin-dingin.
"Pinjam sebulan rumahmu," kataku mengulang. Dia belum menjawab sibuk minum es pisang ijo sampai tetes terakhir.
"Mau nuntasin buku kamu, atau sekadar memandangi bulan?" katanya lagi. Anak itu memang sudah hafal kebiasaanku yang suka memandangi bulan dan bintang. Dua-duanya sahutku pelan.
"Lah kamu kan pagi kerja, jauh dari kantormu, ujung pukul ujung itu," katanya lagi sambil menatap mataku meyakinkan.
ADVERTISEMENT
"Bisa nulis kamu sehabis dihajar kerjaan di kantor?" sambungnya lagi belum yakin.
"Sekarang siapa yang tinggal di sana?" kataku tanpa menjawab pertanyaannya.
"Saya, kadang-kadang. Kamu sendiri kan tau, saya nomaden, masih harus bolak-balik Kolaka mengurus usaha di sana."
"Jadi bisa ga?" kataku tidak sabar.
"Apa yang ga bisa untuk kamu? Tapi saya prediksi kamu cuma melamun saja di teras itu," katanya sambil senyum.
"Yah, udah ini kunci kamar depan" sambungnya lagi.
"Datang saja anytime," katanya sambil memberikan kunci.
"Saya sampai sekarang, masih penasaran sama kebiasaan kamu yang suka menatap-natap bulan dan bintang itu. Nggak bosan apa?" tanyanya penuh selidik.
"Sudahlah, Ri,saya bosan natap HP. Pengin sedikit menjauh dari riuhya dunia maya, siapa tahu juga buku itu bisa rampung," sahutku beberapa saat kemudian. Dan begitulah saya deal sama Ria untuk tinggal sementara di rumahnya yang memang eksotik.
ADVERTISEMENT
Besoknya saya sibuk membawa sebagian baju saya ke rumah Ria. Teman kuliah S1 ku yang masih jadi bestie sampai saat ini. Selesai salat Isya bulan separuh dan bintang-bintang mulai muncul, seperti dalam lukisan menghiasi dermaga kecil di sebrang sana. Wah gawat, bisa-bisa saya memang tidak akan pernah menyelesaikan buku saya yang baru belum selesai ini, sibuk terpikat dengan pemandangan seindah ini, gumanku mulai membenarkan teori si Ria kemarin.
Rumah Ria ini, memang terletak di jejeran vila-vila yang yang dibangun dekat dengan pelabuhan. Suasananya sangat tenang. Rumahnya sendiri jadinya tidak mencolok di antara beberapa vila yang kerap disewa orang-orang berduit untuk sekadar lari dari rutinitas yang menjemukan.
Tiba-tiba melintas puisi yang saya tulis sendiri di novel saya:
ADVERTISEMENT
Bulan di langit seberang itu juga bulan yang setengah bulat. Sinarnya jatuh perlahan-lahan di atas dermaga, pohon, ranting bahkan teras dirumah ini. Ku lihat jam di tanganku, sudah hampir jam 9 tanpa satu lembar pun buku itu kuselesaikan.
ADVERTISEMENT
Besok malam saya harus menulis pikirku sambil mencoba membuat jadwal singkat antara Isya dan jam tidur malam. Memandang bulan bisa dari dalam kamar lewat jendela.
Kata orang untuk menjauh dari HP itu bukan perkara gampang. Mungkin ini juga penyebab saya tidak bisa menyelesaikan buku saya.
Saya pun melangkah ke dalam rumah. Besok saya harus kerja. Misi saya, mungkin sedikit berhasil tidak membuka HP dari Magrib hingga nyaris tidur, sebelum benar-benar beranjak dari teras itu, saya sekali lagi memandang bulan yang makin luruh dalam dekapan dermaga.