Bumi Manusia: Film yang Memenuhi Ekspektasi Novelnya

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
Konten dari Pengguna
22 Mei 2023 16:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
Saya membaca novel Bumi Manusia sudah sangat lama, tahun 1998 di Perpus wilayah tempat saya tinggal. Filmya sendiri sudah heboh dari tahun 2019, barulah hari ini saya menuntaskan filmnya. Sebab saya sebenarnya malas menonton film dari buku yang menurut saya sangat bagus. Takutnya tidak sesuai apa yang saya baca.
ADVERTISEMENT
Namun setelah menonton film Bumi Manusia, saya perlu mengubah pandangan saya tentang novel yang dijadikan film. Menurut saya filmnya sangat apik. Bertabur bintang yang sangat menjiwai perannya dengan setting zaman kolonial yang kuat. Tidak heran, film ini mengambil lokasi di Jogja dan Semarang, dua kota yang masih dipenuhi bangunan peninggalan Belanda.
Film bercerita dan berlatar belakang penjajahan, pengkhianatan, kesedihan, kepiluan, keserakahan, dan kesewenang-wenangan yang akan selalu ada sepanjang masa—hanya saja akan berganti baju dan bersalin rupa.
Novelnya sendiri pernah dilarang di zaman Orde Baru. Maklum saja penulisnya Pramoedya Ananta Toer, seorang tahanan politik Pulau Buru yang merupakan penulis Lekra.
Pram sendiri orang Blora, Jawa Tengah, sehingga setting novel betul-betul kuat tentang penjajahan Hindia Belanda. Seperti yang saya sebutkan di atas, Semarang sampai saat ini masih banyak memiliki bangunan peninggalan Belanda.
Pramoedya Ananta Toer. Foto: Weda/AFP
Selama menonton film ini, kosa kata bahasa Jawa saya bertambah. Namun, tidak dengan kosa kata bahasa Belanda saya. Kalau di novelnya saya berpikir keras untuk mencerna dan mereka-reka wajah dan perawakan Nyai Ontosoroh, maka di film ini, Ine Febrianti sudah sangat mewakili.
ADVERTISEMENT
Meskipun Ikbal Ramadhan masih kuat saya asosiasikan sebagai Dilan, namun tokoh utama Minke mampu mengubah Dilan ke Minke, seorang pelajar HBS yang ningrat abis, namun membumi.
Ada satu pesan yang sangat kuat yang membuat saya setuju dengan salah satu kata mutiara di dalam buku dan juga film ini: Bahwa orang berpendidikan itu, harus adil sejak dalam pikiran. Zaman itu, zaman kolonial. Hanya orang Belanda dan bangsawan yang bisa merasakan sekolah. Rakyat jelata dikastakan sebagai pribumi, bahkan budak.
Begitula negara-negara yang saat ini banyak berteori tentang HAM. Adalah negara-negara yang melucuti hak asasi manusia sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka yang datang dengan tujuan berdagang kemudian menjajah dan merampas hak-hak pribumi.
ADVERTISEMENT
Pantas saja seluruh bekas-bekas negara jajahan kolonialisme negara apapun itu menuntut permintaan maaf, bahkan kompensasi atas penjajahan yang mereka lakukan. Saya pribadi mengagumi negara barat hanya sebatas kemajuan kemajuan pendidikannya. Dan itu sudah cukup sampai di situ.
Di zaman modern pun, penindasan dan kolonialisme masih saja terjadi. Negara-negara Eropa, bahkan melarang hilirisasi tambang negara-negara berkembang.
Kisah Nyai Ontosoroh dalam film Bumi Manusia merupakan salah satu contoh praktik pergundikan di Hindia Belanda. Foto: dok. Instagram @falconpictures_
Tentu saja, post power sindrom sebagai negara penjajah masih mereka miliki dalam mindset mereka. Pun penindasan teknologi. Hacker yang kerap mencuri data perusahaan-perusahaan adalah penjajah atas kedaulatan data yang harusnya tidak boleh diacak-acak oleh pihak-pihak luar.
Juga tanah-tanah pertanian rakyat yang diambil untuk tambang dan lahan sawit secara paksa adalah penindasan terkecuali yang menjual tanahnya dengan sukarela. Penindasan akan selalu ada, dia hanya bersalin rupa dan berganti jubah.
ADVERTISEMENT
Dari Nyai Ontosoroh kita belajar untuk tidak menyerah dengan keadaan. Dari Minke kita juga belajar untuk menyuarakan kebenaran melalui tulisan dan bahwa menjadi nigrat dan terpelajar serta anak pejabat tetaplah menjadi orang yang down to the earth. Dari Robert kita harus belajar menerima kenyataan bahwa kesombongan hanyalah akan menghancurkan segalanya.
Film Bumi Manusia ini sangat bagus untuk ditonton generasi yang sudah hampir melupakan sejarah. Sejarah bangsa ini yang pernah mengalami penjajahan yang begitu mengerikan.
Ada satu kata yang saya suka dari Nyai Ontosoroh, "Yo wis sak karepmulah" yang kira-kira kalau di-translate, "ya sudah terserah kamulah" atau "bodo amat". Cocok digunakan untuk berhadapan dengan keanehan-keanehan saat ini.