Menakar Fenomena Orang Jahat Adalah Orang Baik yang Tersakiti

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
Konten dari Pengguna
26 Januari 2023 18:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Unplash foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Unplash foto
ADVERTISEMENT
Ada teman saya yang sangat baik. Luar biasa baik, bahkan. Kepentingan orang diutamakan di atas kepentingannya. Kalau membantu orang, dia sangat frontal. Bahkan dia yang terlihat lebih semangat ketimbang orang yang ditolongnya tersebut.
ADVERTISEMENT
Orang yang ditolongnya, dibombardir dengan segala kebaikan yang orang kebanyakan bukan saja tidak mau melakukan, tapi emoh membantu orang lain kalau tidak berbalas dan tidak bermanfaat untuk dia. Ibaratnya simbiosis mutualisme, saya membantu kamu apa yang saya dapat? Waktu saya habis untuk kamu, lantas keuntungan apa yang saya dapat?
Kemudian semua berubah 180 derajat. Si orang baik ini, menjadi seperti kebanyakan orang. Kebaikanya jadi standar-standar saja. Dia membantu orang ala kadarnya sebisanya dan tidak lagi jor-joran melimpahi semua kebaikan kepada orang lain. Apa pasal? Ada yang menyebutnya kembali normal, ada yang yang memaknai sebagai berubah menjadi tidak baik.
Baik dan tidak baik sebenarnya relatif. Terkadang yang baik bagi kita tidak baik bagi orang lain. Di samping itu, berbuat kebaikan tidak perlu ditambahi ekspektasi harus dibalas dengan kebaikan yang sama bukan? Berbuat kebaikan karena memang keyakinan bahwa kebaikan itu mendatangkan pahala dan tidak perlu diboncengi modus apapun.
ADVERTISEMENT
Terlebih kita harus memahami ada orang-orang yang risih dengan model kebaikan yang kita lakukan. Yang paling bisa diterima adalah berbuat kebaikan yang sesuai dengan standar di masyarakat. Biasa-biasa saja, karena memang di dunia ini tidak ada yang abadi.
Fenomena orang jahat adalah orang baik yang disakiti, seharusnya tidak akan terjadi kalau ekspektasi kita kepada manusia lain tidak berlebihan. Yang menyakiti kita adalah diri kita sendiri. Sudah tahu hati manusia itu berubah-ubah, tidak usah berharap lebih. Sifat kebanyakan manusia itu adalah mirip bunglon.
Hari ini ketika bangun di pagi hari kondisi hati orang-orang lagi enak, mereka akan menyapa kita dengan baik. Besok-besok tiba-tiba mereka manyun hindari saja, ngapain hidup dibuat ribet-ribet? saya sudah tidak mau lagi berurusan dengan hal-hal ribet yang tidak memberi efek positif dalam hidup.
ADVERTISEMENT
Tidak perlu jadi jahat hanya karena kecewa dengan perlakuan orang lain. Tidak ada dosa turunan bukan? Orang lain mau jahat, mau tidak peduli bahkan mau tidak kenal pun, tidak akan menyakiti kita kalau nalar kita jalan.
Berhentilah jadi orang yang suka membalas dendam. Dendam bukan rindu yang harus dibayar tuntas. Kalau saja dendam itu diibaratkan batu yang kita pikul, alangkah beratnya sepanjang hidup kita, kita harus membawa batu-batu dendam yang seharusnya kita buang di pinggir jalan.
Tidak perlu menjadi jahat karena tersakiti. Yang rugi siapa? Gantilah sikap orang baik adalah orang jahat yang tersakiti dengan orang baik adalah tetap orang baik walaupun disakiti.