Minat Baca Bukan Penyebab Toko Buku Gulung Tikar

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
Konten dari Pengguna
27 Mei 2023 18:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber :Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber :Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menyalahkan minat baca untuk suramnya nasib buku di Indonesia mungkin kurang tepat. Meskipun UNESCO pernah mempublikasikan laporan bahwa minat baca di Indonesia sangat rendah di mana hanya ada satu orang yang membaca dari seribu orang dan juga di tahun 2016 negara kita menduduki posisi kedua terendah dalam hal minat baca dari 63 negara di dunia.
ADVERTISEMENT
Namun, saya melihat bahwa tutupnya toko buku Gunung Agung yang legendaris bukan semata persoalan minat baca. Sehingga kalau kemudian banyak yang prihatin dan mengait-ngaitkan bahwa pendidikan kita semakin tidak berkualitas tentu saja tidak relevan.
Yang pertama, saya tidak heran toko-toko buku bangkrut, mungkin bukan hanya Gunung Agung. Semoga toko buku lainnya tidak menyusul. Mengapa saya katakan demikian? Di negara-negara maju ketika pandemi menghajar dunia, tahun 2020 angka penjualan buku justru naik drastis.
Orang tidak boleh ke mana-mana mengakibatkan masyarakat di sana nafsu membaca bukunya naik drastis di Indonesia berkebalikan angka penjualan buku bahkan menurun. Saya tidak heran dengan dengan fenomena ini.
Ilustrasi membaca di toko buku. Foto: Shutterstock
Sebagai penggila buku dengan pendapatan yang lumayan, saya menghela napas ketika membeli buku lebih dari satu. Bayangkan saja buku tipis mencecah harga Rp 150 ribu bahkan Rp 200 ribu-an kalau beli dua buah buku sebulan, sudah Rp 400 ribu.
ADVERTISEMENT
Untuk rata-rata masyarakat Indonesia, uang begitu sangat banyak bahkan bisa dibelikan sekarung beras untuk keperluan sebulan. Jangan lupa, Pemerintah menstandar masyarakat mampu itu yang pengeluarannya Rp 17 ribu sehari.
Ketika PBB mengatakan bahwa ukuran masyarakat yang bukan miskin pengeluarannya Rp 50 ribu sehari, dengan standar itu jumlah masyarakat Indonesia yang miskin menjadi 40 persen.
Dengan penghasilan yang begitu miris, apakah masih ada minat mau membeli buku? Jangankan masyarakat awam, akademisi di kampus pun tidak tertarik. Dosen-dosen non ASN yang bergaji 1,7 juta sebulan apakah masih punya minat ke toko buku?
Ilustrasi toko buku. Foto: Shutterstock
Padahal mereka adalah akademisi yang memang harus mengupdate ilmu yang dimiliki. Mahalnya harga buku di Indonesia berbanding terbalik dengan India.
ADVERTISEMENT
Teman saya yang sempat mengajar di sana, membawa pulang buku-buku berkualitas dengan harga yang sangat miring. Rp 40 ribu, kertasnya bagus, covernya bagus berbahasa inggris lagi yang kalau dijual di Indonesia mungkin sudah di kisaran Rp 200 ribu-an.
Faktor yang kedua, adalah perkembangan teknologi. Generasi milenial sudah tidak tertarik membaca buku fisik. Ada sangat banyak buku digital gratis bertebaran di internet.
Bahkan saya punya grup telegram yang membagikan secara berkala majalah-majalah dan koran bergengsi gratis dalam bentuk PDF semisal Majalah Times dan New York Times bahkan saya juga bisa mendapat secara gratis buku biografi pangeran Harry Spare.
Ilustrasi toko buku. Foto: Shutterstock
Dulu saya sangat ingat sebelum penemuan ponsel pintar, toko buku penuh bahkan perpustakaan wilayah di tempat saya penuh dan meluber setiap hari disesaki pengunjung yang membaca dan meminjam buku.
ADVERTISEMENT
Koran-koran laku keras. Setelah revolusi teknologi, perlahan-lahan toko-toko buku sepi. Terlebih ada layanan buku-buku digital semakin sepilah toko-toko buku.
Saya tidak yakin, bahwa tutupnya toko buku Gunung Agung yang sudah berdiri 70 tahun adalah sinyal ada yang salah dalam pendidikan kita sehingga minat baca begitu rendah.
Tanpa Gunung Agung tutup pun, minat baca siswa kita sudah jadi persoalan kronis, Skor literasi PISA siswa Indonesia sejak tahun 2000 juga memprihatinkan sampai saat ini. Selalu di bawah rata-rata negara OECD.
Ilustrasi buku puisi. Foto: Shutter Stock
Sebenarnya kalau dikatakan bahwa minat baca kita semakin mengerikan, tidak juga. Cobalah amati bisnis buku bajakan. Andrea Hirata mengatakan bahwa bukunya Laskar Pelangi versi bajakan terjual bahkan lebih dari 5 juta copy.
ADVERTISEMENT
Demikian juga penulis termashur Tere Liye, mengeluhkan buku-bukunya yang dibajak. Cobalah jalan-jalan ke pasar Senen, surga buku bajakan. Buku apa yang tidak ada versi bajakannya? Semua ada. Atau kalau mau, bukalah toko-toko penjualan online di sana buku-buku bajakan dijual dengan sangat murah.
Sehingga sebenarnya secara samar-samar minat baca masyarakat Indonesia tinggi, namun secara ekonomi mau membeli buku original tidak terjangkau. Apa masyarakat tidak tau bahwa itu buku bajakan? Jawabannya jelas tahu. Kualitasnya jelek habis, kertasnya tipis, huruf-hurufnya seperti buku fotocopy buram dan tidak jelas .
Tapi mengapa masih membeli buku bajakan? Jawabannya sederhana minat baca tinggi, ekonomi lemah. Sangat ingin membaca buku namun versi aslinya sangat mahal dan tidak terjangkau.
Ilustrasi membaca buku. Foto: Shutter Stock
Saya sendiri pernah sekali membeli buku bajakan di jembatan penyebrangan orang UNJ. Sangat murah bahkan berharga 20 ribuan . Saya beli 5 buah. Di mana, kalau di toko buku, uang Rp 100 ribu itu tidak bisa membeli buku yang saya taksir.
ADVERTISEMENT
Meskipun saya baca dengan tersiksa, karena kualitasnya yang rendah, namun apa daya? Saya lagi tidak punya uang waktu itu. Buku-buku bajakan itu sangat tidak layak dijadikan koleksi namun, ketidakmampuan ekonomilah yang mendorong seseorang membeli buku bajakan.
Apakah itu bukan kejahatan? Kalau membaca buku bajakan sebuah kejahatan, lantas masyarakat yang memiliki minat baca yang tinggi apakah harus dipenjara karena membeli buku bajakan?
Sehingga pemerintah perlu mencontoh India, negara yang konon kabarnya menerapkan pajak buku begitu rendah. Saya tidak mendukung buku bajakan, seumur hidup hanya sekali itulah saya membeli buku bajakan.
Saya pengunjung tetap Gramedia sampai saat ini. Menyalah-nyalahkan minat baca atas bertumbanganya gerai-gerai toko buku adalah sangat tidak adil. Banyak hal yang jadi penyebabnya, salah satunya yang paling dominan adalah mahalnya harga buku itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Saya yakin jika buku-buku bermutu harganya di kisaran Rp 40 ribu seperti di India, buku-buku di Toko buku akan ludes terjual di samping juga kemajuan teknologi smart phone yang masif yang juga jadi penyebab migrasinya toko-toko buku ke model online dan juga tumbuh suburnya praktik bisnis buku bajakan yang tidak ada matinya.