Profesi Guru dalam Cengkeraman Kecerdasan Buatan

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
Konten dari Pengguna
5 November 2023 10:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber :Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber :Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di era disrupsi ini, isu kecerdasan buatan menggantikan manusia sudah bukan lagi hal yang baru. Bahkan saat ini , kita sudah hampir tidak dapat lagi menemukan jalan tol bersifat manual yang dijaga oleh manusia. Bahkan, kasir-kasir pun tinggal menunggu waktu saja semua akan otomatis.
ADVERTISEMENT
World Economic forum yang berlangsung di Swiss tahun 2020 lalu, melaporkan bahwa ada 85 juta pekerjaan yang akan hilang hingga lima tahun ke depan. Semua lapangan pekerjaan ketar-ketir menghadapi invasi kecerdasan buatan.
Hanya profesi guru dan pendidik yang dipercayai tidak akan dapat digantikan oleh kecerdasan buatan. Tapi, nampaknya teori tersebut harus segera direvisi.
Adalah Tom Rogerson, seorang kepala sekolah di Cottesmore Schooil Inggris, menjadikan AI (kecerdasan buatan) untuk menjadi wakil kepala sekolah atau asisten kepala sekolah yang suka diajak rapat dan bertanya tentang banyak hal termasuk dalam manajemen pendidikan. Robot cerdas itu, bernama Abigail Bailey.
Kepala sekolah tersebut bahkan memuji Abagail sebagai robot yang bisa diajak diskusi untuk banyak hal termasuk juga dalam pengambilan keputusan. Tentu saja fakta ini selain membuat lompatan yang sangat tinggi di bidang pendidikan, juga menimbulkan banyak kecemasan.
com-Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
Sampailah dunia pada satu kesimpulan bahwa guru pun mulai bisa digantikan kecerdasan buatan. Dan, faktanya lagi sekolah itu mendapat banyak penghargaan.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini tentu saja harus mendapat perhatian serius dari kalangan pendidik terutama guru. Profesionalisme mereka dipertaruhkan. Meskipun mungkin belum ada sekolah di Indonesia yang memakai AI sebagai wakil kepala sekolah, namun pengaruh dan penggunaan teknologi tidak bisa dibendung.
Salah satu sekolah di daerah lain di Inggris juga telah memesan Abagail lain untuk sekolah mereka. Lama-kelamaan seluruh sekolah di Inggris (bisa jadi) akan memakai robot ini.
Tentu saja tidak mustahil akan banyak sekolah-sekolah lain dari seluruh dunia juga melakukan upaya yang sama akibat tuntutan kemajuan teknologi—di mana negara yang tidak ikut serta akan tertinggal, bahkan mungkin dihitung sebagai sekolah jadul atau kuno.
Robot cerdas memang memiliki banyak keunggulan menurut kepala sekolah di Inggris tersebut. Robot itu bisa diajak diskusi kapan saja dan memberikan solusi yang tepat dan cepat ketimbang menelepon seseorang di tengah malam yang tentu saja akan sangat mengganggu orang tersebut. Itu juga yang menjadi alasan lain atas penggunaan robot cerdas tersebut.
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
Rupanya kepala sekolah tersebut menemukan kenyamanan diskusi dengan robot dibanding terhadap manusia. Tentu saja kita bisa memahami alasannya. Persis penggunaan ChatGPT yang sudah dilatih beberapa tahun sehingga sangat cepat menjawab permasalahan yang kita ajukan.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya guru-guru Indonesia untuk mampu meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sebagai pengajar. Saat ini, saingan mereka bukan lagi guru-guru lain di satu sekolah, satu daerah, satu provinsi, bahkan satu negara.
Tetapi, mereka berkompetensi dengan model kecerdasan lain yang dikembangkan oleh manusia-manusia jenius yang menciptakan model-model unggul yang memiliki banyak pengetahuan di atas rata-rata.
Siswa-siswa yang akan datang juga didominasi gen alpha yang memang terlahir di era gadget. Bisa saja anak-anak itu akan lebih nyaman diajar oleh robot ketimbang manusia akibat konektivitas mereka dengan teknologi sedari dini. Guru tidak boleh ketinggalan zaman.
Guru harus cerdas! Jangan sampai siswa memilih bertanya kepada ChatGPT ketimbang guru. Idiom "guru kencing berdiri, murid kencing berlari" menjadi kurang relevan di era 4.0 ini. Jadilah guru yang upload dan donwload berlari, guru yang paham dan menguasai teknologi kekiniaan.
Ilustrasi Sekolah Dasar Swasta Bekasi. Foto: Shutter Stock
Tidak usah sibuk menghujat kecerdasan buatan yang akan merampas profesi guru. Justru, guru akan bersinar ketika mereka bahkan bisa memakai dan menaklukkan kecerdasan buatan semisal ChatGPT. Menjadikan AI sebagai sumber belajar. Sehingga siswa di kelas akan kagum dengan kecerdasan gurunya bukan kecerdasan ChatGPT.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga perlu men-support penguasaan teknologi semua guru di Indonesia, dengan mempercepat pemerataan infrastruktur daerah yang belum terjamah listrik dan internet. Masih ada ribuan jumlahnya diseluruh pelosok Indonesia.
LPTK penyelenggara pendidikan guru agar jeli melihat fenomena ini, sebagai alarm untuk mensinergikan dan untuk memasukkan mata kuliah baru dalam semua prodi keguruan yaitu mempelajari penggunaan kecerdasan buatan dalam dunia pendidikan.
Sehingga ketika diwisuda mereka kemudian menjadi guru yang tidak gagap teknologi dan menjadikan kecerdasan buatan sebagai salah satu akses kemudahan dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Sehingga cengkaraman kecerdasan buatan terhadap profesi guru bisa dilihat bukan sebagai ancaman, namun sebagai mitra pembelajaran.