Rapuhnya Generasi Z

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
Konten dari Pengguna
12 November 2023 11:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bunuh diri dikalangan mahasiswa menjadi berita trending dan menjadi fenomena yang mengkhawatirkan akhir-akhir ini. Yang teranyar, kemarin salah seorang mahasiswi kedokteran hewan Unair mengakhiri hidup didalam mobil dengan menghirup helium.
ADVERTISEMENT
Mengapa mereka begitu mudah mengakhiri hidup? Padahal, di sebagian besar kampus sudah tersedia unit bimbingan dan konseling psikologi. Apakah mereka tidak melihat kegunaan unit ini? Sangat disayangkan generasi terpelajar memiliki mental labil yang bahkan tidak terdeteksi orang dekatnya sekalipun.
Saya memprediksi yang menjadi salah satu penyebabnya adalah makin keringnya empati dalam model pergaulan mereka. Generasi gadget ini, lebih banyak menghabiskan waktunya didunia maya dimana solusi yang ditawarkan dunia maya juga bersifat tidak humanis karena miskin sentuhan rasa kemanusaan disana. Mereka minta dipahami, namun tidak mau bercerita.
Sehingga orang disekitarnya memprediksi mereka baik-baik saja. Tidak ada yang tahu, para mahasiswa yang bunuh diri tersebut telah merencenakan dan merancang dengan matang dan rapi cara dan rencana mereka mengakhiri hidup dalam hitungan hari ke depan.
ADVERTISEMENT
Relasi pertemanan saat ini, juga kebanyakan berisi hal-hal toxic. Generasi yang gampang penat dan terkadang jompo sebelum waktunya ini, membutuhkan support sebesar-besarnya dari lingkar keluarga dan pertemanan mereka. Seharunya keluarga menjadi garda terdepan dalam menjadi support sistem, bukan menjadi penyebab mereka malahan mengakhiri hidup.
Orang tua harus paham bahwa gap generasi antara mereka dan anak-anak mereka yang gen Z itu begitu curam. Konon kabarnya mahasiswa Unair yang bunuh diri meninggalkan surat yang ditujukan kepada mama, paman , saudara dan teman-temanya. Dia merutuki dunia sebagai tempat yang kejam, demikianlah sehingga dia memutuskan untuk bunuh diri.
Tentu saja kita tidak bisa lantas menghakimi, namun fenomena bunuh diri di kalangan mahasiswa akhir-akhir ini begitu mengerikan. Membandingkan mereka dengan para pejuang 45 memang sangatlah tidak apple to apple. Namun, dulu generasi 90-an masih bisa merasakan perjuangan para pahlawan bahkan begitu membanggakan para pahlawan tersebut. Maklum saja teknologi saat itu masih sangat jadul.
ADVERTISEMENT
Sehingga buku masih menjadi favorit anak-anak zaman itu. Sehingga yang dibaca adalah kepahlawana, daya juang, hidup yang dirayakan dan banyak hal-hal positif lainnya. Jalan kaki ke sekolah bolak- balik 10 kilo bukan lah hal yang perlu diviralkan saat itu. Karena orang lazim melakukannya.
Bahkan karena sekolah setingkat SMA hanya ada di ibu kota kabupaten maka anak-anak yang berasal dari kampung rela jalan kaki bahkan jam 5 subuh agar tidak terlambat masuk sekolah dan balik lagi kerumah sudah magrib baru sampai dikampung mereka.
Sehingga mungkin bisa ditarik satu benang merah bahwa daya juang generasi Z saat ini terhadap masalah hidup sangatlah rapuh sehingga perlu pendampingan dan bimbingan serius dari segi spritual untuk menyadarkan bahwa bunuh diri bukanlah solusi terakhir atau solusi apapun atas masalah mereka. Justru keluarga, teman akan sangat kehilangan dan mungkin sampai mati tidak akan bisa melupakan peristiwa tragis bunuh diri yang menimpa orang yang mereka kenal tersebut.
ADVERTISEMENT
Daya juang menjadi momok generasi ini untuk membenarkan argumen bahwa mereka tidak salah jatuh dan membenamkan diri dalam masalah yang menurut mereka sangat tidak memiliki solusi. Mereka gampang putus asa. Generasi ini adalah generasi yang kurang sabar dan memiliki pandangan serba instat. Mungkin karena mereka juga hidup dalam budaya yang serba instat. Makanan instant, telebih mereka terkontaminasi konten-konten kreator yang memperlihatkan hidup hedon-hedon diusia muda dan seolah-olah kerjaanya hanya duduk-duduk tiba-tiba berpenghasilan ratusan juta sebulan tanpa susah payah kerja.
Padahal ujung-ujungnya banyak yang penipu, pelaku pencucian uang, arisan bodong, investasi bodong dll. Generasi Z itu sangat terpengaruh dengan kehidupan dunia maya yang menyebabkan mereka dilingkupi krisis rasa sabar. Kena masalah sedikit solusinya adalah bunuh diri, karena terlalu terbiasa sama yang serba instat.
ADVERTISEMENT
Ada satu trend yang lagi berkembang di Amerika, di mana generasi Z lebih memilih HP yang tidak terkoneksi dengan internet. Mereka mulai menyadari, pengaruh gadget sangat besar dalam kehidupan. Hal ini mereka lakukan untuk kembali kehidupan nyata secara benar. Mereka lebih ingin memaksimalkan pertemana tanpa menggunakan teknologi yang berlebihan.
Mereka juga menyadari bahwa pemakaian smartphone menjadikan banyak generasi mereka menjadi depresi. Bisa jadi itulah yang menimpa generasi Z Indonesia saat ini. Mereka terlalu banyak mengkonsumsi berita, gaya hidup, serta banyak sampah di internet tanpa di filter.
Mereka terlalu kecanduan smartphone dan menjadikan kehidupan nyata menjadi nomor dua. Mereka juga jauh dari solusi-solusi cerdas jika memiliki masalah. Apakah bunuh diri dikalangan mahasiswa indonesia juga diakibatkan oleh depresi karena pemakaian smartphone yang overdosis? Bisa jadi.
ADVERTISEMENT