Aung San Suu Kyi: Dari Simbol Perdamain ke Tuduhan Genosida

Preview Bola Eropa
Preview Bola Eropa menghadirkan prediksi pertandingan dari liga-liga top Eropa.
Konten dari Pengguna
11 November 2020 17:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Preview Bola Eropa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun 1988, Aung San Suu Kyi, akhirnya pulang ke Burma (sekarang Myanmar) setelah 28 tahun meninggalkan tanah airnya. Kepulangannya tidak lain untuk merawat ibunya Daw Khin Kyi, yang sakit keras dan kritis.
ADVERTISEMENT
Tapi, situasi sosial dan politik Myanmar saat itu sedang kacau. Pemerintahan yang dikendalikan Junta Militer, membuat kekerasan terjadi di mana-mana. Sebagai akibat, gelombang protes melanda seluruh negeri menuntut reformasi pemerintahan.
Melihat kondisi negaranya yang kacau, Aung San Suu Kyi, merupakan Master Ilmu Politik lulusan Universitas Oxford tergerak untuk ambil bagian dalam gelombang reformasi Burma. Agenda kepulangannya untuk merawat ibu pun terbagi dengan penyusunan aksi masa ke seluruh negeri.
“Saya tidak bisa tidak peduli dengan situasi yang terjadi di negeri ini, karena saya adalah putri Jenderal Aung San,” kata Aung San Suu Kyi, di hadapan ribuan demonstran pada Agustus 1988 dikutip dari BBC.
Pidato tersebut jadi awal perjuangan Aung San Suu Kyi, melakukan pemberontakan terhadap pemerintaham Junta Militer. Dia menggandeng mahasiswa, buruh, dan tokoh agama Budha (sebagai agama mayoritas di Myanmar), turun ke jalan menuntut reformasi demokrasi.
ADVERTISEMENT
Dia terilhami perlawanan damai yang dilakukan Martin Luther King di Amerika, dan Mahatma Gandhi dari India. Aksinya pun berhasil menarik simpati dari puluhan ribu masa aksi dalam setiap demonstrasi damai yang dilakukan di penjuri negeri.
Namun, pemerintah Junta Militer yang tidak menyukai aksi tersebut menurunkan aparat untuk merepresi setiap aksi masa. Bagian selanjutnya adalah cerita yang banyak diketahui orang, Suu Kyi ditahan karena membahayakan keamanan nasional.

Menjadi Tahanan Politik

Tak dinyana, kepulangannya justru berakhir di sel tahanan rumah. Suu Kyi, menjadi tahanan rumah dari 1989-1995.
Pada 1990, pemerintah Myanmar mengadakan pemilihan umum yang pertama untuk memilih parlemen. Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai yang didirikan Suu Kyi, tak lama setelah kembali ke Myanmar berhasil memenangi pemilihan umum tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, pemerintahan Junta Militer yang tidak menghendaki perubahan di parlemen menolak hasil pemilu. NLD pun tidak dapat ambil bagian di parlemen dan Suu Kyi, tetap menjadi tahanan rumah.
Hari-hari Suu Kyi, dilalui dengan kesendirian. Dia tidak diizinkan bertemu keluarganya dan hanya sesekali beretemu dengan anggota NLD.
“Sebagai seorang ibu, pengorbanan terbesar saya adalah melepaskan anak-anak. Tapi, saya selalu sadar bahwa orang lain telah berkorban lebih besar dari saya,” kata Suu Kyi dalam The Voice of Hope: Conversations with Allan Clement dikutip dari Tirto.
Setelah bebas pada Juli 1995, dia mencoba membangun kembalo karir politiknya. Tidak hanya mendapat dukungan dari rakyat Myanmar, yang tidak puas dengan pemerintahan Junta Militer tetapi juga mendapat dukungan dari seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Cerita perjuangan dan perlawanan Suu Kyi, yang terus diberitakan Pers Barat membuat namanya kian dikenal. Di banyak tempat, dia menjadi inspirasi untuk menumbangkan rezim otoriter termasuk oleh mahasiswa Indonesia yang sukses menumbangkan Orde Baru pada 1998.
Periode 1995-2010, dia terus keluar masuk tahanan rumah. Berkali-kali pula upayanya untuk menjadi politikus kandas. Di tahun sempat bebas tanpa syarat pada Mei 2002, tapi kembali dipenjara untuk bertanggungjawab atas insiden bentrokan yang dilakukan pendukungnya, dengan masa pro pemerintah.
Karir politik Aung San Suu Kyi, akhirnya menemukan titik terang di tahin 2012. Setelah pemerintahan Junta Militer akhirnya tumbang, dia memimpin NLD untuk memenangi pemilihan sela 2012. NLD meraih 43 dari total 45 kursi di parlemen.
ADVERTISEMENT
Tahun 2015 Aung San Suu Kyi, dengan partai politiknya NLD berhasil memenangi pemilihan umum terbuka pertama Myanmar. Kendati tidak dapat menjadi kepala negara karena terganjal konstitusi, mengingat anaknya berkewarganegaraan Inggris – mengikuti sang Ayah – dia dianggap sebagai pemimpin de facto Myanmar.

Dikecam Dalam dan Dituduh Melakukan Genosida

Sejak Aung San Suu Kyi, memimpin Myanmar, harapan rakyat akan Myanmar yang baru semakin besar. Mereka mengharapkan sebuah pemerintahan yang demokratis serta kebebasan untuk warganya.
Tapi, yang terjadi jauh dari yang diharapkan. Kekerasan aparat tetap merajalela, dan harapan kehidupan yang bebas jadi sekadar isapan jempol belaka. Bahkan, pelanggaran kemanusiaan semakin mengkhawatirkan di bawah kepemimpinan Suu Kyi.
Dunia Internasional yang semula mendukung dan memuji keberanian Suu Kyi, berbalik mengkritiknya. Terutama setelah kekerasan yang dialami oleh etnis Rohingya, mulai terangkat ke permukaan.
ADVERTISEMENT
Ribuan hingga puluhan ribu orang meninggal di Wilayah Rakhine, dalam sejumlah insiden kekerasan yang dilakukan kelompok mayoritas dan aparat terhadap kelompok minoritas. Hal itu membuat ratusan ribu hingga jutaan orang keluar dari Myanmar.
Nama baik Suu Kyi, sebagai salah satu peraih nobel perdamain pun semakin buruk, ketika dirinya membela aparat dalam persidangan internasional yang digelar di Den Hag, atas tudingan genosida yang dilakukan pemerintahannya.
Dia dianggap melupakan tujuan awalnya terjun ke dunia politik. Citra yang ia bangun dengan penuh perjuangan, menjadi sia-sia setelah meraih kekuasaan. Tapi, Derek Mitchel, mantan dita besar Amerika Serikat untuk Myanmar memiliki pendapat lain.
“Aung San Suu Kyi, mungkin tidak pernah berubah. Dia mungkin konsisten dengan yang diperjuangkannya, tetapi kita tidak memahami kompleksitas pemikirannya,” ujar Mitchel.
ADVERTISEMENT
“Kisah Aung San Suu Kyi, setidaknya memberi pelajaran bahwa kita harus berhati-hati untuk memberi citra ikonik terhadap seseorang,” tambahnya.
Terlepas dari citranya yang kian buruk di mata dunia, Aung San Suu Kyi, tetap dipercaya rakyat Myanmar untuk memimpin negeri. Dia dan partainya NLD mendapat dukungan besar dari rakyat Myanmar dalam pemilu yang berlangsung pekan lalu.
Kendati pemilu tersebut dianggap mencederai demokrasi karena etnis minoritas – terutama Rohingya – tidak memiliki hak untuk memberikan suara, Aung San Suu Kyi dan NLD tetap memenangi pemilu dengan perolehan suara lebih dari 70%.