Era Baru Perdagangan Karbon Dimulai, Pertamina: Indonesia Harus Siap

Pertamina
Official Account PT Pertamina (Persero)
Konten dari Pengguna
6 September 2021 15:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pertamina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties/COP) Ke-26 di Glasgow, Skotlandia, pada November 2021, akan menentukan arah kebijakan terkait iklim internasional di era baru sebagaimana diamanatkan dalam Perjanjian Paris. Konferensi harus menghasilkan resolusi mengenai Artikel 6, di antaranya terkait aturan perdagangan karbon internasional, yang menjadi bahan perdebatan berkepanjangan. Delegasi negara-negara di Perserikatan Bangsa-Bangsa telah gagal mencapai kesepakatan mengenai hal itu pada COP24, COP25, dan bahkan pada rapat virtual praCOP26 pada Juni 2021.
Dalam perdagangan emisi karbon, instrumen harga karbon menjadi perhatian utama. Pada tahun 2021 instrumen harga karbon yang beroperasi baru meliputi 21,5 persen dari total emisi karbon dunia.
China, misalnya, akhirnya menerapkan aturan sistem perdagangan emisi (emission trading system/ETS) nasional, mulai dari sektor pembangkit sebesar 4 miliar ton CO2e (setara dengan karbon dioksida) dengan harga karbon baru di kisaran 7-8 dolar AS/tCO2e. Skema ETS di China itu dinilai kurang ambisius karena menggunakan basis intensitas emisi per satuan energi yang dihasilkan, sementara banyak negara dan kawasan lain, seperti Uni Eropa, Kanada, dan Argentina, menggunakan basis emisi absolut.
Berdasarkan data harga karbon nominal pada April 2021, Bank Dunia menunjukkan harga karbon di negara berkembang mayoritas di bawah 10 dolar AS/tCO2e, masih jauh lebih rendah daripada negara maju dengan harga karbon di kisaran 18-137 dolar AS/tCO2e, dan belum ada negara yang mencapai level harga karbon 160 dolar AS/tCO2e. Wood Mackenzie berpendapat, harga karbon 160 dolar AS/tCO2e tersebut diperlukan untuk mendorong investasi ke energi bersih dalam skenario pemanasan temperatur global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius.
Badan Energi Internasional (IEA) belum yakin negara berkembang bisa menaikkan harga karbon seagresif negara maju. Namun, IEA merekomendasikan agar negara berkembang kategori emerging (termasuk China, Rusia, Brasil, Afrika Selatan) bisa lebih ambisius menaikkan level harga karbon mendekati level di negara maju, yaitu masing-masing mencapai level 200 dan 250 dolar AS/tCO2e di tahun 2050. Hal itu dimaksudkan agar bisa mencegah pemanasan global maksimal 1,5 derajat celsius dalam waktu tiga dekade ke depan.
Skenario harga karbon pada IEA 1.5 derajat celsius. Dok. Pertamina.
Kondisi tingkat harga karbon di negara berkembang yang masih sangat rendah berimplikasi pada relatif tingginya daya saing negara tersebut dalam perdagangan internasional. Untuk melindungi pasar domestik sekaligus meningkatkan daya saing produsen, Uni Eropa berencana menerapkan mekanisme penyesuaian batas karbon (carbon border adjustment mechanisms/CBAM). Mekanisme ini menyetarakan harga karbon produk impor terhadap harga karbon produk domestik dengan dalih mencegah kebocoran karbon (carbon leakage) dari negara eksportir yang tidak ambisius menurunkan emisi.
Importir di Uni Eropa akan membayar pajak atas produk yang diimpor berdasarkan aturan harga karbon Uni Eropa. Namun, apabila produsen (eksportir) dapat menunjukkan telah membayar harga untuk karbon di negaranya, biaya yang dikeluarkan tersebut dapat dikurangkan bagi importir untuk menghindari perhitungan ganda.
Serupa tapi tidak sama dengan CBAM, Amerika Serikat (AS) juga akan menerapkan biaya penyesuaian batas karbon (border carbon adjustment fee/BCAF) untuk produk impor yang carbon-intensive, termasuk baja, aluminium, semen, dan bahan bakar fosil. BCAF tidak berdasarkan harga karbon, tapi mengacu pada biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan di AS untuk mematuhi undang-undang dan peraturan yang membatasi emisi gas rumah kaca (GRK) di AS.
Sebaliknya, negara berkembang dengan tingkat emisi GRK tinggi, seperti Indonesia, Afrika Selatan, Argentina, Brasil, dan Meksiko, juga mempertimbangkan atau telah menggunakan mekanisme pajak karbon. Pendapatan dari pajak karbon ini nantinya bisa digunakan untuk mencapai target kontribusi yang ditetapkan secara nasional (nationally determined contribution/NDC).

Beberapa isu kritis

Di balik risiko persaingan pasar antara negara maju dan berkembang (termasuk emerging) akibat harga karbon yang tidak seragam tersebut, ada beberapa isu kritis yang terkait dengan perdagangan karbon pada Artikel 6 yang membutuhkan resolusi di COP26.
Pertama, mengenai internationally transferred mitigation outcomes, yaitu perdagangan internasional atas kelebihan penurunan emisi terhadap target NDC. Kedua, mengenai mekanisme pembangunan berkelanjutan (sustainable development mechanism), yaitu offset emisi melalui proyek-proyek yang dilakukan oleh entitas publik dan swasta di mana pun. Ketiga, mengenai pendekatan nonpasar (non-market approaches), yaitu penurunan emisi melalui upaya mitigasi dan adaptasi, bantuan finansial, transfer teknologi, dan pembangunan kapasitas, termasuk pajak karbon, dan CBAM.
Masih banyaknya masalah yang terkait Artikel 6 Perjanjian Paris dan perdagangan karbon perlu disikapi oleh Indonesia. Kenyataan menunjukkan, hingga akhir 2020, komitmen bantuan finansial dari negara maju ke negara berkembang sebesar 100 miliar dolar AS per tahun belum pernah terealisasi. Hal itu mengakibatkan berkurangnya kepercayaan negara berkembang kepada negara maju. Kesepakatan aturan pasar karbon (carbon market rule) dalam upaya menghindari risiko perhitungan ganda dalam perdagangan karbon dunia juga belum ada.
Di samping itu, dengan berakhirnya periode kedua komitmen terhadap Protokol Kyoto, beberapa negara, seperti Brasil dan India, menginginkan agar unit kredit pengurangan emisi dari masa mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism) yang lalu dapat diperjualbelikan. Unit kredit sangat surplus akibat baseline yang lemah. Hal ini dapat berakibat terjadinya pengurangan emisi semu yang tidak selaras dengan tujuan Perjanjian Paris. Saat ini juga masih diperdebatkan mengenai alternatif transisi proyek dan metodologi penentuan kredit emisi dari Protokol Kyoto ke dalam Artikel 6 Perjanjian Paris.
Masalah lainnya adalah bagaimana secara operasional mekanisme perhitungan kredit dalam pengawasan internasional untuk mencapai mitigasi keseluruhan dalam emisi global (overall mitigation in global emissions) dapat dilaksanakan, agar kontribusi para pihak terhadap penurunan GRK secara global termonitor, terlaporkan, dan terverifikasi. Di samping itu, diperlukan keberadaan badan internasional yang memonitor, melakukan supervisi, dan verifikasi hasil penurunan emisi serta penggunaan hasil perdagangan karbon untuk pembangunan berkelanjutan.

Kesiapan Indonesia

Dari sekian masalah yang mengemuka tersebut, perlu dipastikan kesiapan Indonesia yang mencakup, antara lain, aspek manusia, organisasi, aturan formal, serta teknologi dan informasi. Kompetensi sumber daya manusia dalam melakukan analisis dan evaluasi terkait emisi GRK harus dibangun, disertai penguasaan berbagai metodologi dan standar yang saat ini digunakan di dunia.
Di level nasional diperlukan regulasi harga dan mekanisme perdagangan karbon yang mampu memberikan insentif bagi para pemangku kepentingan untuk mencapai target NDC. Hal lain ialah memastikan pendapatan dari perdagangan karbon diinvestasikan untuk program penurunan emisi berkelanjutan.
Selain itu, diperlukan pengorganisasian yang kokoh dalam menghadapi diplomasi global untuk menyampaikan aspirasi Indonesia di kancah global. Yang mendesak, percepatan dalam penguasaan dan alih teknologi untuk pengurangan emisi GRK yang sesuai dengan konstruksi industri dan ekonomi Indonesia harus menjadi prioritas.
Sebagai enabler, penyediaan dan pembangunan sistem informasi, dokumentasi, dan konsultasi yang komprehensif diperlukan agar para pemangku kepentingan dari sektor industri yang terkait dengan pengurangan emisi dapat memanfaatkan peluang yang ada. Upaya ini pun dilakukan untuk menghindari dan memitigasi risiko akibat pemberlakuan mekanisme perdagangan karbon.
Secara keseluruhan, jika delegasi COP26 berhasil menyelesaikan isu-isu kritis di atas —sehingga mencapai kesepakatan terkait aturan mekanisme penurunan NDC pada Artikel 6— kesepakatan tersebut akan memungkinkan pasar karbon global berkembang. Sebaliknya, penurunan emisi akan kurang ambisius karena hanya mengandalkan perdagangan karbon dalam negara, dan/atau antarnegara, dalam satu kawasan dengan basis sukarela.
Apa pun hasilnya nanti, realitas dampak perubahan iklim akan terus mendorong semua pihak dalam COP untuk berupaya menyelaraskan diri pada tujuan Perjanjian Paris dan menghidupkan perdagangan karbon di arena global. Karena itu, Indonesia harus siap menghadapi era baru ekonomi berkelanjutan ini.
-
Penulis:
Antonny Fayen Budiman
Senior Expert I, Pertamina Energy Institute