Cerita Pesugihan: 5 Kali Mengitari Warung Makan yang Sama di Pinggir Jalan

Konten dari Pengguna
5 April 2020 19:18 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi jalanan sepi. Foto:Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi jalanan sepi. Foto:Istimewa
ADVERTISEMENT
Hari ini kami sekeluarga memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di Banyuwangi, ayah baru saja mendapatkan kabar jika nenek sakit dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Tak menunggu lama, kami pun langsung bergegas menyiapkan barang dan segala keperluan untuk menginap beberapa hari di sana.
ADVERTISEMENT
Aku, adik perempuan berusia 4 tahun, ayah serta ibu berangkat ke Banyuwangi menggunakan mobil pribadi, kira-kira membutuhkan 2 hari perjalanan untuk tiba di sana.
Walaupun jauh, tetapi pergi sekeluarga seperti ini sudah menjadi suatu hal yang biasa untuk kami. Apalagi saat menjelang Idul Fitri.
Ibu dan ayah duduk di bangku depan sedang aku dan Lisa duduk di bangku belakang. Kami mulai jalan pukul 05.00 sore. Sesekali ayah mendengarkan lagu-lagu lawas dari Nike Ardila dan Vina Panduwinata untuk mengisi keheningan.
Sedangkan aku hanya menyumpal telinga kanan dan kiri dengan headset karena tidak terlalu menyukai lagu tersebut. Kalau Lisa jangan ditanya, karena dia hanya tertidur selama perjalanan. Telepon berdering saat ayah memasuki tol keluar dari Jakarta. Samar-samar aku mendengar ucapan dari paman.
ADVERTISEMENT
“Jangan lewat jalan yang hutan, lewat tol saja sudah malam,” ucapnya.
Dalam hatiku, ya benar juga siapa pula yang mau lewat hutan saat malam-malam begini.
Sedang asyiknya melihat ke luar kaca jendela tiba-tiba mobil kami berhenti.
“Yah kenapa?,” tanyaku penasaran.
“Wah jalan biasanya kita ditutup ini, ada yang kecelakaan sepertinya,” ucap Ayah.
Saat itu aku memandangi jam yang menunjukkan pukul 09.00 malam. Ayah berkata ke ibu bagaimana kalau memotong jalan saja lewat jalan sempit karena kalau harus menunggu pembukaan jalan bukan tak mungkin perjalanan akan sampai di hari ketiga.
Sebelum menyetujui, ibu bertanya jika ayah mengantuk atau tidak karena kalau iya lebih baik istirahat saja. Namun kala itu ayah menolak dan memutuskan untuk berjalan kembali.
ADVERTISEMENT
Saat ini kita melewati jalan yang sedikit sempit dan hanya muat untuk 2 mobil yang berbeda arah. Sesekali ada motor yang menyalip mobil kami. Jika diperhatikan kawasan ini terlihat agak seram karena di sekeliling kami terdapat banyak pohon rindang dan jalanan yang berliku-liku.
Memang masih ada penerangan di samping jalan raya namun tetap saja masih terasa sangat sepi apalagi sekarang hanya mobil kami yang melintas di jalan tersebut.
Sesekali aku menengok ke arah jendela untuk memastikan situasi walaupun kadang merasa sedikit takut kalau-kalau ada sosok makhluk yang muncul di kaca jendela.
Ah sudahlah jika perasaan parno terus seperti itu maka akan semakin takut dibuatnya. Di ujung jalan terlihat ada warung makan bertulis “Rumah Makan Mba Darmi” di sana disediakan bangku plastik dan meja kayu di bagian depan, terlihat beberapa orang sedang bercengkrama dan menikmati hidangannya.
ADVERTISEMENT
Namun, aku melihat warung itu hanya sekilas karena ayah terus melajukan mobil kami. Lisa adikku yang berumur 4 tahun bangun dan menangis, ia berkata bahwa di dalam mobil panas sekali, maklum saja anak kecil yang satu ini terbiasa dengan AC di kamar daripada mobil.
Karena aku duduk di samping Lisa, jadi mau tidak mau aku yang menenangkan dan berusaha untuk menghiburnya.
Tak lama, aku menyadari jika waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 malam yang artinya sudah 2 jam perjalanan sejak kita memutuskan untuk lewat jalan sepi ini.
Namun, yang membuat ku bingung pasalnya ini sudah ketiga kali kami melewati warung yang sama dengan tulisan “Warung Mba Darmi” di bagian depan.
ADVERTISEMENT
“Ayah sadar engga si ini udah ketiga kalinya kita lewat warung itu,” ujarku.
Ayah melihat ke arah luar dan memperhatikan warung dengan dominasi warna hijau dan coklat tersebut.
“Dek kalau kamu engga ingetin ayah juga engga engeh,” ucapnya.
Kemudian ayah memastikan untuk memakai gps saja daripada hanya bermodal dari ingatan semata. Kami kembali seperti semula tidak ada kecurigaan dalam hatiku setelah kejadian itu. Sampai akhirnya aku mulai menyadari, jika sudah melewati tikungan dan terdapat 2 lampu bulat di samping jalan maka setelah itu pasti ada…, Ya! Warung makan si Mba Darmi.
Jantung ku dibuat tidak karuan karena ayah masih saja menancap gas mobil dengan tenang. Kulihat ibu memejamkan mata sama seperti Lisa.
ADVERTISEMENT
Kuurungkan niat untuk berkata kepada ayah dengan pikiran mungkin saja ini terakhir kalinya kami melewati rumah makan tersebut. Aku juga berpikir jika selalu mengingatkan, nantinya ayah jadi tidak fokus untuk berkendara.
Namun entah mengapa kejadian yang sama terjadi lagi dan kali ini aku tidak segan untuk memeritahu ayah dan menyentuh pundaknya.
“Yah, ini sudah 5 kali kita melewati warung makan itu,”
Ayah merasa dibuat kebingungan, pasalnya ia sudah mengikuti gps dan menunjukkan jalan keluar. Tak mau mengambil risiko ia memutuskan untuk memberhentikan mobil di warung itu dan bertanya dengan si pemilik warung makan.
Kami berempat keluar dari mobil, Lisa saat itu masih tertidur. Perlahan kita masuk dan bertemu dengan penjaga warung makan Mba Darmi. Di sana terlihat ada dua penjaga laki-laki dan perempuan yang umurnya sekitar 50 tahun.
ADVERTISEMENT
“Mau makan apa mas?,” tanya si ibu yang memakai topi rajut hitam di atas kepala.
Saat itu karena tidak merasa enak, ayah memilih untuk bersantap sebentar daripada hanya sekadar bertanya tentang jalan. Kemudian kami duduk di dalam warung tersebut karena di luar sudah sangat ramai.
Lisa adikku terbangun dan tiba-tiba saja nangis secara terus menerus. Pesanan kami datang, 3 porsi soto dengan nasi dan teh manis hangat. Pertama kali aku mencoba entah mengapa ini seperti soto terenak yang pernah aku makan, kulihat ayah dan ibu juga menikmati dengan lahap hidangan itu.
Setelah selesai, ayah meminta izin untuk sholat isya karena daritadi belum menemukan tempat untuk ibadah. Namun sang pemilik tidak mengizinkan untuk sholat di sana dengan alasan kamar mandi belakang warung sering bocor.
ADVERTISEMENT
Yasudah, karena tidak mau berdebat kami langsung saja bertanya arah jalan keluar dan membayar makanan tersebut.
***
Perjalanan yang panjang sudah kami lalui, sekarang aku dan keluarga sudah sampai di rumah sakit tempat dirawatnya nenek. Keluarga besar ayah sudah berkumpul dan bertanya tentang perjalanan jauh kita.
“Jadi kemarin kamu lewat jalan yang mana?,” tanya mas Heri, kakak ayah
“Potong jalan kemarin, lewat jalan hutan dua arah yang sedikit sempit,”
Mas Heri tiba-tiba terdiam sebelum bertanya lagi.
“Lewat warung makan Mba Darmi?,”
“Iya muter-muter lewat situ, ada 5 kali kayanya,” ucap ayah.
Paman menarik napas, lalu menjelaskan jika itu salah satu alasan mengapa ayah diperintahkan untuk lewat jalan besar saja, karena warung tersebut terkenal dengan pesugihan yang membuat kendaran mutar-mutar dahulu sebelum akhirnya berhenti dan makan di warung tersebut.
ADVERTISEMENT
Perkataan tersebut agaknya menjelaskan mengapa adik terus mennerus menangis di warung itu dan tidak diizinkan untuk melakukan ibadah.
Namun satu yang menjadi pertanyaanku, mengapa di depan warung tersebut ramai, padahal jika diingat hanya mobil kita yang terpakir di sana dan jalanan yang jauh dari rumah warga. Lantas siapa mereka yang duduk di depan warung Mba Darmi?
Tulisan ini merupakan reka ulang dari kisah yang berkembang di masyarakat. Kesamaan nama dan tempat kejadian hanya kebetulan belaka.