Cerita Pesugihan: Ayahku menjadi Tumbal dalam Ritual Dewandaru

Konten dari Pengguna
8 Maret 2020 19:32 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gunung Kawi. Foto: Nyero.id
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gunung Kawi. Foto: Nyero.id
ADVERTISEMENT
Setahun belakangan kondisi ekonomi keluargaku sungguh berbeda. Kini kami sudah tinggal di rumah yang mewah dengan segala isinya tanpa kekurangan sedikit pun. Jika kalian bertanya apa aku memang terlahir seperti itu? Tentu tidak.
ADVERTISEMENT
Aku masih teringat sebelum berada di posisi sekarang bagaimana kedua orang tuaku seringkali bertengkar meributkan segala sesuatu yang tidak jauh dengan persoalan uang, uang dan uang. Setiap hari rumah kami didatangi rentenir untuk menagih hutang ayah. Sudah tidak terhitung berapa oarng yang datang silih berganti ke rumah kami.
Hingga suatu hari, setiap pulang ke rumah ayah selalu membawa uang dalam sebuah kain batik berwarna coklat yang diserahkan ke ibu, dari sanalah nasib keluarga kami mengalami perubahan.
Anehnya, sikap ayah perlahan-lahan berbeda tidak seperti ayah yang aku kenal, bahkan aku tidak pernah melihat ayah berdoa seperti biasa, bisa dibilang menjadi jauh dari agama.
Lantas keresahaan tersebut kutanyakan kepada ibu, jawabannya hanya jangan khawatir, semua ayah lakukan untuk kebahagian kita.
ADVERTISEMENT
***
Karena sudah terlalu penasaran, akhirnya di tanggal 12 bulan Suro aku mengikuti kemana perginya ayah. Sampainya di tempat tujuan tepatnya di bagian Jawa paling timur dekat dengan kaki gunung terkenal tersebut, aku disambut dengan semerbak harum dupa yang berasal dari balik pendapa. Tempat tersebut sangat khas dengan arsitektur orang Jawa kebanyakan.
Tersusun dari empat buah tiang sebagai penyangga, dan terdapat detail ukiran di setiap pilarnya yang kaya akan makna. Selanjutnya di dalam pendapa terlihat natural dengan dinding berwarna krem. Umumnya tempat tersebut dipenuhi dengan ornamen kayu sebagai hiasan.
“Kenapa ayah ke tempat seperti ini, apa tujuannya?,” gumamku dalam hati.
Dari balik pintu pendapa tersebut aku melihat ayah memakai baju serba hitam dengan kain batik coklat yang diikatkan di pinggang. Lantas ia menuju ke dekat makam. Tertulis di sana Eyang Djoego dan Embah Yasiman. Lantas ayahku duduk bersila dan menabur bunga di depan makam.
ADVERTISEMENT
Kulihat ayah mengucapkan doa-doa yang tidak ku tahu apa maksudnya. Cukup lama di sana, hingga seorang kakek tua membawa sesajen di tangan datang dan menepuk pundak ayah.
“Sudah saatnya ritual tersebut dilakukan,” ucap kakek tersebut dengan lirih.
Kuikuti mereka dengan langkah yang hati-hati hingga tiba di sebuah kolam yang sekelilingnya dipenuhi dengan pancuran air dari bambu. Di sana ayah hanya berdiam diri menatap langit di tengah hutan menghadap Gunung Kawi.
Selesai ritual tersebut, sang kakek yang menjadi guru kunci ritual memberikan perintah yang bunyinya seperti ini
“Duduklah di sini, apapun halangan yang datang jangan sekali-kali untuk meninggalkan tempat ini, tunggu hingga daun Dewandaru jatuh tepat ditubuhmu,” ucap kakek sambil menunjuk alas dari daun pisang di bawah pohon besar, yang diyakini sebagai pohon dewandaru.
ADVERTISEMENT
Lama sekali aku memperhatikan ayah di sana, wajahnya seperti orang ketakutan, dahinya mengernyit hingga keringat turun tak terbendung dari kepalanya. Aku hanya bisa menangis dalam diam melihat ayah yang ketakutan.
Hingga sosok makhluk bertubuh besar, berambut panjang dan bermata merah datang mendekati ayah.
“Ayahhhh Jangannn!!,” teriak ku dengan kencang ke arah tempat pertapaan tersebut hingga sosok ayah dan makhluk tersebut menengok ke arah tempat ku berdiri.
***
Aku bangun dari tidur saat mengetahui yang kurasakan tadi hanyalah mimpi belaka, sekujur tubuhku basah karena keringat seolah semua itu nyata. Dari luar terdengar suara tangisan ibu yang menyebut nama ayah. Sontak aku langsung bergegas ke kamar ibu. Di sana terlihat ayah sudah terbaring dengan lidah yang menjulur keluar dan mata yang terbuka lebar.
ADVERTISEMENT
“Ayahmu gagal dalam ritual pesugihan itu,” ucap ibu dengan tangisan yang sejadi-jadinya.
Aku hanya diam mencoba mencerna peristiwa yang terjadi.
Selesai.