Cerita Pesugihan Ayam Hitam: Tak Kaya, Malah Gila

Konten dari Pengguna
1 Oktober 2020 18:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pesugihan (Foto: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pesugihan (Foto: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Sulastri sudah kesal dengan kelakukan Masduki. Suaminya itu kerap pergi sore hari dan pulang pada pagi harinya. Begitu terus kegiatan Masduki. Jika siang, pekerjaannya hanya tidur dan makan.
ADVERTISEMENT
"Aku sudah lelah, Kang. Akang tak mau bekerja, hanya bisa keluar malam. Sebenarnya apa yang Akang lakukan di belakang Lastri, Kang?"
"Kau mau menuduhku selingkuh, hah? Jika tak percaya, ikut saja denganku malam ini. Aku melakukan hal berguna untuk keluarga ini, tahu?!"
Malam itu kekesalan Sulastri sudah memuncak. Ia sudah tak tahan lagi dengan kelakuan suaminya. Selain karena menganggur, Sulastri lelah karena memikul beban rumah tangga sendirian.
Ia harus mengasuh dua anaknya, mengerjakan semua pekerjaan rumah, sekaligus berjualan donat demi mendapatkan pemasukan. Sedangkan, suaminya hanya bisa tidur di siang hari kala Sulastri berkeliling. Malamnya, ia tak ada di rumah. Begitu terus setiap hari.
"Daripada kau membuatku menderita, lebih baik kau ceraikan aku saja, Kang. Aku mau kembali ke rumah orang tuaku membawa anak-anak."
ADVERTISEMENT
"Sudah diam! Aku mau pergi sekarang. Daripada berpikiran yang tidak-tidak, lebih baik kau persiapkan bajuku. Aku harus pergi."
"Aku sudah tak mau meladenimu lagi, Kang. Kau keterlaluan. Aku bekerja sendiri, sedangkan kau selalu ingin dilayani."
Pertengkaran itu diakhiri oleh tiga-empat tamparan Masduki ke wajah istrinya. Kedua anaknya yang sedang menonton tv seketika menangis dan memeluk ibunya. Masduki pergi begitu saja meninggalkan lebam di wajah ibu dari anak-anaknya.
***
"Aku sudah yakin, Ki. Cepat jalankan ritual ini. Aku sudah muak dengan si Lastri. Wanita gemuk itu terus menerus meneriakiku dan mengancam pergi. Cepat jalankan pesugihan ini dan tumbalkan si Lastri sialan itu. Lebih baik aku kaya sendirian kalau begini caranya."
"Kau sudah yakin? Jika sudah, biarkan aku mengambil apa yang menjadi bagianku. Kau diam di situ. Biar ku mulai ritual ini. Sudah kau bawa semua yang ku pinta bukan?"
ADVERTISEMENT
"Sudah, Ki."
Masduki malam itu ada di kediaman Ki Wira, dukun spesialis pesugihan yang selalu memengaruhi pria-pria agar menjadi bawahannya. Rata-rata, Ki Wira akan mengajak para pria yang mendatanginya untuk menceraikan atau meninggalkan istri-istri mereka agar dapat mengabdi di padepokan Ki Wira.
"Tarik nafasmu dalam-dalam lalu sembelih ayam hitam yang kau bawa itu."
Malam itu Ki Wira dan Masduki akan melakukan ritual pesugihan ayam hitam. Pesugihan ini konon dapat membuat pelakunya ketiban kaya mendadak. Namun, risikonya adalah tumbal.
Tumbal yang diminta oleh pesugihan ini bukan tumbal biasa. Ia harus seseorang yang benar-benar kita cintai, seperti ibu, anak, istri, atau mungkin sahabat. Malam itu, Masduki sudah bulat akan menumbalkan Sulastri demi mendulang kekayaan.
ADVERTISEMENT
"Ambil serbuk ini, bawa ke rumahmu. Tuangkan serbuk yang telah ku bacai mantra ini ke minuman istrimu. Jika ia meminumnya, keesokan harinya ia akan tewas dan menjadi modal tumbal pesugihan ini."
"Baik, Ki. Akan ku lakukan apapun yang kau pinta."
***
Hari sudah berada pada sepertiga malam. Kurang lebih pukul 02.30 malam, Masduki sudah kembali ke rumahnya. Sontak istrinya terbangun. Ia khawatir yang masuk ke rumahnya bukan Masduki, melainkan pencuri.
"Ternyata kau, Kang."
Masduki tak menjawab perkataan istrinya. Ia buru-buru saja berjalan ke dapur untuk melakukan apa yang dikatakan Ki Wira di padepokannya tadi malam.
Setelah serbuk itu dituangkan dalam galon, Masduki kemudian tertidur dan membiarkan istrinya begitu saja. Sembari memejamkan mata, Masduki memasang pendengarannya memastikan apakah Sulastri akan meminum air galon yang telah diberi serbuk mistis itu atau tidak.
ADVERTISEMENT
Tak kuat menahan kantuk, Masduki tak lagi memasang pendengarannya untuk Sulastri. Ia ambruk terlelap saking tak kuatnya begadang. Kala orang-orang bangun dan berkegiatan, Masduki malam tidur.
***
"Kang, Lastri pergi saja. Lastri sudah tak kuat hidup bersama Akang. Lebih baik Lastri hidup sendiri daripada harus tersiksa seperti ini," begitulah penggalan isi surat yang terletak di ranjang tidur mereka berdua.
"Bajingan! Kenapa ia harus pergi sekarang? Aku membutuhkannya untuk tumbalku. Sialan!"
Masduki benar-benar sudah kehilangan rasa ibanya. Ketika istrinya minggat meninggalkannya, Masduki tak tampak punya raut sedih. Ia justru marah karena calon tumbalnya pergi.
"Bangsat! Apa yang harus ku lakukan sekarang?! Dasar wanita gemuk sialan. Tak tahu dia bahwa aku butuh duit."
ADVERTISEMENT
Saat ia berteriak-teriak tak karuan karena marah, tiba-tiba seekor lebah seukuran kecoa masuk ke mulutnya dan terkait di tenggorokan Masduki. Ia tersedak bukan main. Nafasnya tertahan oleh lebah tersebut. Ia tak bisa bernafas.
Dengan refleksnya, Masduki buru-buru lari ke dapur dan meraih gelas di rak piring. Ia tuangkan air putih dari galon yang telah ia beri serbuk mistis dari Ki Wira. Air yang telah tertuang ke dalam gelas itu kemudian ia teguk.
Tak tanggung-tanggung, Masduki meneguk empat hingga lima gelas. Seketika ia terbatuk dan memutahkan bangkai lebah dari tenggorokannya. Nafasnya kembali normal.
"Lebah sialan! Hampir mati aku gara-gara menyantap kau."
***
Sulastri sedang berjalan pulang dari sekolah anaknya. Ia baru saja mengurusi uang buku pelajaran anaknya yang harus segera dibayar. Sulastri kemudian menunggu mobil angkot melewat di depan sekolah anaknya.
ADVERTISEMENT
Belum lagi angkot tiba, betapa kaget Sulastri melihat seorang gila yang berjalan ke arahnya. Ia tampak kenal dengan orang gila tersebut. Setelah lama ia memerhatikan, betapa kagetnya ia usai menyadari siapa orang gila itu.
"Kang Duki? Kang? Ya Allah, Kang? Itu kau, bukan? Aku yakin itu kau. Mengapa kau jadi begini, Kang?"
Sulastri setengah menangis sembari memegang-megang sosok gila itu. Bukannya menjawab pertanyaan Sulastri, si orang gila itu malah melantur.
"Wira sialan, di mana dia? Wira sialan."
Cerita ini hanya fiktif belaka. Kesamaan nama tokoh dan latar hanyalah kebetulan.