Cerita Pesugihan: Kera Pembawa Celaka di Desa Kaki Gunung Jlumprit

Konten dari Pengguna
21 Mei 2020 16:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto: dunia.rmold.id
zoom-in-whitePerbesar
foto: dunia.rmold.id
ADVERTISEMENT
Kesunyian melanda desa itu, sehari-hari, dari pagi hingga malam. Terletak di kaki gunung, orang-orang desa tak suka beraktivitas di luar rumah. Mereka hanya pergi ke sawah sesekali, selepas azan asar, dan memastikan diri telah berada di rumah sebelum azan magrib menyeruak dari musala terdekat. Di malam hari, kita tahu, udara dingin selalu lebih terasa menusuk-nusuk.
ADVERTISEMENT
Di desa itu, kebanyakan orang punya mata pencaharian sebagai petani. Mereka memanen hasilnya setiap beberapa bulan, lalu menjualnya ke pusat kota. Setiap bulan, warga desa melakukan acara selamatan untuk mensyukuri hasil panen mereka. Bekerja sebagai petani sepanjang waktu, mereka menjalani hidup dengan sederhana. Kekayaan yang mencolok di desa itu tampak sebagai sesuatu yang aneh.
Adapun keanehan itu telah dirasakan warga desa sejak lama. Tinggal di dekat para tetangga yang rumahnya jauh dari mewah, keluarga Badrun—sebut saja begitu—menyedot perhatian banyak orang. Anehnya, tak ada warga desa yang mengenal mereka sebagai keluarga petani. Kalau orang-orang ditanya alasan kenapa keluarga Badrun bisa hidup bermewah-mewah lagi membangun rumah tingkat yang bagus minta ampun, mereka akan menjawab, “Ayah Badrun pengusaha sukses,”. Meskipun begitu, tak ada orang tahu, dagangan macam apa yang mengantar Badrun dan keluarga pada kesuksesan semacam itu. Orang-orang lebih memilih untuk diam.
ADVERTISEMENT
***
foto: mytrip123.com
Pada suatu malam yang sunyi sebagaimana biasa, warga kaki gunung itu digemparkan oleh kabar bahwa hampir separuh anggota keluarga Badrun meninggal dalam sebuah kecelakaan tunggal. Mereka meninggal di tempat kejadian kecelakaan yang tak jauh dari desa, di dalam mobil. Belakangan diketahui, apes itu terjadi ketika Badrun dan keluarga hendak berbelanja ke pusat kota.
Dalam kecelakaan itu, yang masih hidup dan selamat hanyalah Badrun dan ibunya. Kedua orang itu berjalan tertatih keluar dari mobil, dengan baju berlumuran darah. Warga desa memenuhi tempat kejadian, dan mereka yang punya keberanian berlebih pada kejadian tak biasa menolong Badrun dan ibunya, berjalan mendekat.
Menolong Badrun dan ibunya berarti membawa keduanya ke puskesmas terdekat, sekaligus menanyakan duduk kejadian perkara. Di dalam ruangan puskesmas yang sempit, banyak orang berdesakan, mendengarkan ibu Badrun bercerita. Mereka penasaran.
ADVERTISEMENT
“Kami mengerangkeng seekor kera di dalam rumah,” kata ibu Badrun.
Orang-orang yang mendengar cerita itu lantas berpikir, apa hubungan seekor kera dengan kematian ayah, kakak, juga adik Badrun.
“Untuk tetap dapat hidup, kera itu butuh nyawa beberapa orang,” terus ibu Badrun.
Mendengar kalimat itu, orang-orang lalu mengangguk-angguk. Mereka memafhumi fakta bahwa selama ini, melihat keadaan keluarga Badrun, banyak orang bertanya-tanya.
***
Puluhan tahun lalu, Gunung Jlumprit terkenal dihidupi banyak kera-kera. Pada zaman dahulu, untuk bisa memperoleh kekayaan juga kesejahteraan, orang harus membawa seekor kera di dalam rumah, mengerangkengnya. Binatang itu dipakai untuk pesugihan. Kera itu harus diberi makan, tak boleh disiksa, juga dipelihara hingga dewasa, hingga ia bisa menghasilkan banyak uang bagi si empunya binatang itu.
ADVERTISEMENT
Namun, kematian ketiga anggota keluarga Badrun membuktikan bahwa kera itu membawa persoalan lain. Mendengar cerita ibu Badrun, orang-orang mengangguk-angguk tanda memahami sesuatu, sementara sebagian yang lain menggelengkan kepala sambil berlari keluar ruangan, tak peduli pada apa yang terjadi.
Puluhan tahun setelah banyak kera itu hidup, desa di bawah kaki Gunung Jlumprit memang terkenal dengan penduduknya yang agamis. Setiap beberapa ratus meter, berdiri musala kecil di pinggir jalan, dengan orang-orang yang rajin mendatanginya. Meskipun hidup sederhana dengan bertani, orang-orang itu menjalani hidup dengan bahagia. Mereka tak tergila-gila pada kekayaan, kecuali keluarga Badrun.
***
Sesaat setelah kejadian di puskesmas, warga desa mengantar Badrun dan ibunya pulang. Hanya saja, ketika sampai di rumah, orang-orang itu tak lantas pergi. Mereka merangsek masuk ke dalam. Suasana saat itu jadi gaduh seketika.
ADVERTISEMENT
Di dalam rumah, orang-orang menemukan sebuah kandang besi berbentuk kotak. Namun, mereka tak mendapati seekor kera di dalam kandang itu, sebagaimana yang diceritakan ibu Badrun. Di depan kandang, mereka hanya mendapati segepok uang yang, mungkin hasilnya, sepadan dengan hasil panen mereka bertahun-tahun.
Tanpa pikir panjang, salah seorang warga mendekati kandang dan mengambil uang itu. Ia lalu berjalan keluar rumah, melempar uang itu ke halaman. Di hadapan banyak orang, uang yang banyak itu tergeletak. Mereka membakarnya.
Tulisan ini merupakan rekayasa dari kisah yang berkembang di masyarakat. Kesamaan nama dan tempat kejadian hanya kebetulan belaka.