Cerita Pesugihan: Mati Akibat Rela Korbankan Anak Demi Ambisi Jadi Pejabat

Konten dari Pengguna
23 Mei 2020 18:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto: ajnn.net
zoom-in-whitePerbesar
foto: ajnn.net
ADVERTISEMENT
Selama bertahun-tahun, kehidupan Pak Broto selalu mentereng. Hampir seluruh keluarganya menjadi orang terpandang. Anak-anaknya menjadi pengusaha, dokter, tentara, hingga pejabat. Alhasil, keluarga Pak Broto begitu disegani para tetangga.
ADVERTISEMENT
Suasana rumah Pak Broto pada suatu malam lumayan sepi. Di sana hanya ada Pak Broto dan istrinya, juga anak perempuannya yang cantik dan baru beranjak dewasa. Ia—tentu saja—belum bekerja sebagaimana kakak-kakaknya yang lain. Di ruang tamu, ketiga orang itu mengobrol tentang masa depan.
“Sinta, apa rencana kamu setelah lulus kuliah?” tanya Bu Broto.
“Betul, ketahui secara pasti tujuanmu, Nak,” kata Pak Broto. “Kamu harus tahu betapa mengerikannya hidup tanpa tujuan.”
Sinta hanya menunduk. Sebagai anak perempuan Pak Broto satu-satunya, ialah anak paling lemah lembut, selain juga tak sibuk memikirkan ambisi masa depan. Bagi Sinta, hidup akan semakin rumit jika dipenuhi target-target. Di sisi lain, keluarganya, terutama Pak Broto, punya pedoman yang berkebalikan sama sekali dengan itu.
ADVERTISEMENT
Telah sejak lama Sinta ketahui bahwa ayahnya berambisi menjadi bupati di tempat ia tinggal, menyusul salah satu kakak laki-lakinya yang kini telah duduk di kursi DPRD. Sebagai istri, Bu Broto mendukung penuh niat suaminya itu. Anak-anaknya, yang sama ambisiusnya dengan Pak Broto, jadi pengobar abi semangat lantaran mengiming-imingi ayahnya kehidupan enak jadi penguasa. Hal-hal itulah yang membuat Pak Broto semakin tak terkendalikan. Di sisi lain, Sinta juga tak bisa melakukan apapun.
***
Bagi Pak Broto dan istri, mendapati anak perempuannya tak bergairah soal karier ialah sesuatu yang menyedihkan. Hal semacam itu, menurut keduanya, membuat malu keluarga di hadapan banyak orang. Merespon keadaan itu, tanpa sepengetahuan istrinya, Pak Broto membuat sebuah rencana.
ADVERTISEMENT
Rencana itu ialah kejahatan paling parah yang tak mungkin dilakukan seorang ayah kepada anak perempuannya yang cantik: menjadikannya tumbal. Cara itu dilakukan Pak Broto guna memuluskan ambisinya: menjadi pejabat.
foto: facebook
Maka dalam keadaan sangat bersemangat dan seperti sedang kesetanan, suatu malam, Pak Broto memaksa Sinta untuk ikut dengannya menaiki mobil. Seluruh anggota keluarganya saat itu telah terlelap. Adapun Sinta tak mengetahui tujuan ayahnya mengajaknya pergi berdua tengah malam. Ia hanya ketakutan sambil terus bertanya-tanya.
“Sekarang, kamu harus menuruti apa kata ayah,” kata Pak Broto.
Tak jauh dari keluarga Pak Broto tinggal, terdapat sebuah bukit tempat orang-orang membunuh tumbal pesugihan yang kebanyakan perempuan. Pesugihan itu dilakukan untuk memperoleh ketenaran, kekuasaan, juga pangkat.
ADVERTISEMENT
Anehnya, sebelum membunuh perempuan-perempuan itu, para pelaku pesugihan diharuskan menyetubuhi mereka. Di titik ini, entah karena kesetanan atau apa, Pak Broto adalah salah satu orang yang hendak melakukannya. Disetirnya mobil menuju bukit itu dalam ambisinya yang mirip dengan iblis pada suatu tengah malam.
Namun, niatan itu mengantarkan Pak Broto pada hal lain. Hanya berjarak tiga ratus meter dari puncak bukit, mesin mobilnya mengalami kerusakan. Ia, dengan keberuntungannya, menjatuhkan dirinya ke jurang lantaran mobilnya tak kuat menanjak.
Sebelum berhasil melakukan niatnya yang keji, Pak Broto mati di dasar jurang, masih di dalam mobil. Sementara Sinta, dengan keadaan setengah sadar, berusaha keluar dari mobil itu dan berteriak meminta tolong. Ia memandang wajah ayahnya, mati berlumuran berlumuran darah.
ADVERTISEMENT
Sambil menangis tersedu, perempuan itu meninggalkan ayahnya. Ia paham bahwa harapan dan ambisi berlebih hanya akan membawa celaka.
Tulisan ini merupakan rekayasa dari kisah yang berkembang di masyarakat. Kesamaan nama dan tempat kejadian hanya kebetulan belaka.