Cerita Pesugihan: Monyet Ghaib Penglaris Rumah Makan

Konten dari Pengguna
26 Maret 2020 21:26 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi siluman monyet. Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siluman monyet. Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan.
ADVERTISEMENT
Nenek sudah lama tinggal berdua dengan bibiku yang sekarang hanya bekerja sebagai penjaga warung miliknya sendiri. Hal ini yang selalu membuat aku dan keluarga pergi ke rumah nenek yang berada di Jawa Barat setiap 2 minggu sekali.
ADVERTISEMENT
Rumah nenek memang nenyenangkan karena disekitarnya banyak hal yang tidak bisa aku lihat di rumahku yang yang terletak di pinggirian sebuah kota besar. Selain itu, sebelum ke rumah nenek, aku dan keluarga selalu menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah rumah makan yang letaknya berada di jalan besar tempat rumah nenek berada.
Perlu kesabaran dan perjuangan untuk bisa makan di sini karena tempatnya yang selalu dibanjiri oleh pelanggan, baik warga sekitar maupun. Hal itu terlihat dari beragamnya nomor polisi dari mobil-mobil yang memenuhi lahan parkir setiap kami mencari tempat untuk menepikan mobil, tentu saja dengan kesabaran ekstra karena pelanggan yang memarkirkan mobil datang silih berganti.
Hanya saja rumitnya usaha untuk makan di rumah makan ini terbayarkan ketika makanan sudah dihidangkan di meja . Memang makanan yang khas dari rumah makan ini adalah ayam bakar dan ayam goreng, tapi entah kenapa rasanya begitu enak dan selalu membuat rasa laparku meningkat meski hanya duduk diam di dalam mobil dan memperhatikan warungnya saja saat sedang mencari parkir.
ADVERTISEMENT
Ayah, ibu dan adikku berpendapat sama tentang kelezatan dari makanan yang disajikan oleh rumah makan ini. Kesamaan ini menjadikan rumah makan tersebut sebagai destinasi wajib pemuas rasa lapar setiap berkunjung ke rumah nenek.
*
Saat itu, perjalanan menuju rumah nenek tidak seperti biasanya karena sepupuku Ita ikut serta. Ita ini adalah satu-satunya anak perempuan dan juga satu-satunya anak yang tersisa dari tanteku. Ita sebelumnya memiliki seorang adik laki-laki, hanya saja meninggal di usia satu tahun. Sekarang Ita hanya tinggal dengan ibu dan seorang ayah tiri, dan itu menjadi alasan mengapa ia menginginkan untuk mengisi waktu liburnya dengan keluargaku.
Meskipun kami sama-sama berumur 18 tahun, hal ini tidak membuat Ita menjadi sosok yang hangat dan ramah jika berinteraksi. Ia selalu hemat kalimat jika berbicara, dengan kata “iya” dan “tidak” sebagai kata yang paling sering ia gunakan, selebihnya ia hanya tersenyum sebagaimana anak kecil.
ADVERTISEMENT
Setiap aku bertanya kepada ibuku, ibuku selalu mengaitkannya dengan sesuatu yang tidak aku pahami. Pertama-tama, ibu menyebutkan bahwa Ita dilahirkan di bulan ke delapan dari masa kandungan tanteku. yang kedua, sampai usia 4 tahun, Ita seringkali menangis tanpa sebab dan tangisannya selalu tak sebentar. Ibuku bahkan pernah menemani tanteku menjaga Ita yang menangis dari pukul 9 malam hingga pukul 3 pagi ketika usianya masih 4 tahun.
Sebagaimana yang biasa dilakukan keluarga kami sebelum ke rumah nenek, kami makan siang bersama di rumah makan yang sudah biasa kami datangi. Setelah berkeliling sekitar 25 menit, kami akhirnya menemukan meja lalu mulai memesan.
Baik ayah, ibu dan adikku berbincang-bincang tentang betapa enaknya makanan yang disajikan di tempat ini kepada Ita, tapi respon Ita hanya tersenyum kecil.
ADVERTISEMENT
“Kamu mau pesen apa, Ita?” tanyaku kepada Ita.
Ita hanya membaca menu dengan wajah yang resah. Ia diam sejenak lalu mengatakan bahwa dirinya tidak lapar.
“Serius gak mau makan? Nanti perutnya sakit kalau telat makan,”
Ibuku mengajak Ita untuk makan, namun Ita tetap saja menolak.
Makanan pun akhirnya tiba, kami semua kecuali Ita makan makan dengan lahap. Sembari menikmati ayam goreng dan nasi uduk, aku diam-diam memperhatikan Ita. Yang membuatku bingung, wajahnya tampak resah dan ia coba sembunyikan dengan menundukannya ke bawah. Aku juga bisa melihat dahinya berkeringat.
“Ita, kamu kenapa?” aku mencoba mencari jawaban atas kebingunganku.
“Eh, enggak apa-apa kok,” ia tersenyum meski hal tersebut tidak dapat menyembunyikan ekspresi khawatirnya.
ADVERTISEMENT
Seusai makan, ayah menyuruhku untuk mengambil dompet yang ternyata tertinggal di dalam mobil. Aku langsung beranjak menuju mobil dengan memutar-mutar kunci di sepanjang jalan.
Beruntungnya dompet ayah tidak ada yang mengambil ketika melihat dompet tersebut tergeletak di jok mobil. Aku mengambil dompet, dan tiba-tiba ada yang memegang pundakku.
“Ita, bikin kaget aja,” ucapku yang benar-benar kaget akibat tepukannya yang keras dan tiba-tiba.
Wajah Ita masih terlihat sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Ia terlihat panik dengan keringat bercucuran.
“kamu kenapa, Ita? Sakit?” tanyaku yang mulai khawatir.
Respon selanjutnya adalah apa yang tidak aku sangka. Ia menengok ke sekitar seakan tidak ingin dilihat oleh orang lain, lalu mulai membisikkan sesuatu di telingaku.
ADVERTISEMENT
“Di meja itu banyak monyet,” ujar Ita gemetar.
Aku tidak mengerti apa yang diucapkan Ita, tapi melihat reaksiny selama di tempat ini, aku mencoba untuk meminta penjelasan lebih lanjut.
“Aku bisa ngeliat, dan di semua meja itu ada banyak monyetnya,” Ita memberitahu seperti akan menangis.
Mungkin terdengar jahat, tapi aku berpikir bahwa ia bisa berbicara seperti ini karena memiliki kelainan atau semacamnya. Aku tidak bisa menerima begitu saja atas apa yang ia ucapkan, mengingat ia selalu bertingkah aneh, bahkan sejak kecil.
“Jangan bercanda, kamu bisa buktiin gak?” aku mencoba menantang Ita.
“Tapi kamu jangan bilang siapa-siapa ya?” tanya dia.
Entah kenapa aku hanya mengangguk di situ. Hal yang ia lakukan selanjutnya adalah menyuruhku untuk memejamkan mata. Aku tidak mengerti apa yang ia lakukan, tapi aku tetap melakukannya karena tidak ingin mengecewakan atau membuatnya dirinya merasa aneh.
ADVERTISEMENT
Ketika aku terpejam, ia memegang kelopak mataku dengan jari telunjuk dan jari tengah. Beberapa detik berselang, ia mulai menyuruhku untuk membuka mata.
“Sekarang ayo kita ke sana lagi,” ajak Ita.
Pandanganku terlihat seperti biasa saja, sampai aku melihat meja makan. Meja makan bukan hanya dipenuhi oleh pengunjung, tetapi juga sekumpulan kera. Kera tersebut berwujud seperti kera yang biasa ada di kebun binatang atau pentas doger monyet.
Mereka berlarian dari satu meja ke meja lain seakan rumah makan tersebut adalah cagar alam atau hutan untuk mereka. Adapun semua orang termasuk keluarga terlihat seakan tidak terjadi apa-apa, padahal di meja tempat aku makan terdapat 5 ekor kera gemuk.
“Bersikap biasa saja, jangan sampai mereka tahu kalau kamu bisa liat mereka,” ucap Ita.
ADVERTISEMENT
Aku memberikan dompet kepada ayah dengan perasaan takut, lalu menyuruhnya agar cepat membayar dan pergi dari tempat ini.
“monyet-monyet itu adalah bentuk dari pesugihan, dan tujuannya buat bikin pelanggan mampir,” Ita menjelaskanku ketika sudah sampai di rumah nenek.
Penjelasan tersebut terasa masuk akal bagiku. Rumah makan tersebut selalu mengundang untuk didatangi. Entah kenapa nafsu makan meningkat setiap melewatinya.
Penjalasan itu dilanjutkan dengan pengakuan dari Ita bahwa ia bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Ia juga bisa membuka pengelihatan orang lain sebagaimana yang ia lakukan kepadaku. Ia menyebutnya sebagai membuka mata batin.
Sebelumnya aku tidak percaya dengan pesugihan atau hal-hal klenik, tetapi setelah apa yang dilakukan oleh Ita kepadaku hari ini, aku percaya. Oleh sebab itu aku memintanya untuk menutup mata batinku kembali. Jujur aku tidak mampu jika harus melihat apa yang seharusnya tidak orang biasa lihat.
ADVERTISEMENT
“Masih mau makan ke situ?” Ita tertawa kecil.
Aku hanya menggeleng.
Tulisan ini merupakan reka ulang dari kisah yang berkembang di masyarakat. Kesamaan nama dan tempat kejadian hanya kebetulan belaka.