news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kisah Pesugihan Warung Ayah yang Membuat Aku Kehilangan Teman dan Keluargaku

Konten dari Pengguna
10 Oktober 2020 18:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi danau (Foto: Kemenparekraf)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi danau (Foto: Kemenparekraf)
ADVERTISEMENT
“Lalu, apa yang akan kita lakukan setelah ini, yah?” tanya ibu dengan raut muka bingung campur khawatir.
ADVERTISEMENT
Ayah terdiam. Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam. Kak Gina, Kak Alia, dan aku semuanya terdiam.
“Ayah akan cari solusinya segera. Kalian tenang saja ya, kita akan baik-baik saja,” kata ayah meyakinkan kami.
Hari ini, kabar buruk menimpa keluarga kami. Pabrik kaca ayah kebakaran. Kabar itu diberitahukan oleh satpam yang bekerja di sana. Katanya, sudah banyak orang yang berusaha memadamkan api itu. Namun, usaha tersebut sia-sia karena semuanya sudah ludes terbakar.
Nahasnya, pabrik itu satu-satunya penghasilan keluarga kami. Jika ia tak ada, maka keluarga kami tidak akan bisa makan. Singkat cerita, karena keadaan yang sudah mendesak, ayah menerima tawaran temannya untuk pindah ke kota lain.
Kami diizinkan untuk tinggal di salah satu rumahnya. Kami tidak perlu membayar, cukup membersihkan dan menjaga rumah itu saja. Tapi, tentu saja itu sedikit memberatkan bagi aku dan kedua kakakku. Kalau kami pindah, itu artinya kami harus pindah sekolah dan meninggalkan teman-teman kami.
ADVERTISEMENT
Namun, aku dan kedua kakakku tidak tega dengan ayah yang sudah pusing mengurusi masalah ini. Pada akhirnya, kami menyetujui rencana itu meski sedikit terpaksa.
---
Sejak tiga hari yang lalu, kami menempati rumah baru kami. Ayah memutuskan untuk membuka warung makan demi melanjutkan hidup. Warung itu letaknya jauh sekali dengan rumah kami sehingga aku harus ngangkot ketika hendak membantu warung ayah.
Namun, sudah dua bulan lamanya, warung ayah tak kunjung laris. Padahal, ayah sudah memilih tempat yang strategis untuk warungnya. Makanya, warung itu jauh dari rumah. Masalah itu makin menjadi ketika suatu hari, Kak Gina merajuk ingin kembali ke kota asal kami.
“Pokoknya, Gina mau balik ke rumah! Di sini kita semakin susah ayah. Gina kangen teman-teman Gina!” katanya.
ADVERTISEMENT
Suara itu samar-samar aku dengar saat aku memasuki warung. Aku berpapasan dengan Kak Gina yang keluar dari warung sambil menangis. Di sana, ada ayahku yang memegangi kepalanya. Ada juga ibuku yang duduk pasrah.
Namun anehnya, saat ayah kembali dari rumah sejak kejadian siang itu, ia malah terlihat senang.
“Diana, kita gak akan susah lagi,” ayah mengatakan itu sambil memeluk ibu.
Sambil membalas pelukan ayah, aku melihat ekspresi ibu yang kebingungan.
---
Ilustrasi warung makan (Foto: Shutterstock)
Sejak kejadian itu, warung kami tiba-tiba ramai pembeli. Saking ramainya, aku dan kakakku sampai harus membantu setiap pulang sekolah. Semakin hari, warung ayah semakin berkembang. Bahkan, sebulan kemudian, ayah sudah bisa membuka cabang di daerah lain.
Kesuksesan bisnis baru ayah tentu berimbas kepada kehidupan kami. Ayah mulai membangun rumah yang besar. Bahkan, lebih besar dari rumah kami di kota asal. Ayah juga mulai menginvestasikan uangnya dengan membeli tanah dan sawah.
ADVERTISEMENT
Namun, tak lama setelah itu, terjadi sebuah peristiwa yang tidak pernah aku lupakan seumur hidupku. Waktu itu, aku yang baru saja punya sahabat dekat di kota baruku sedang ingin bermain di danau yang tak jauh dari kampung kami.
Kami berangkat ke sana bertiga. Ada aku, Beni, dan Gilang. Sesampainya di sana, aku dan Gilang langsung menceburkan diri ke danau. Akan tetapi, ada yang beda dengan Beni. Ia tidak segera membuka bajunya. Beni justru mematung dan wajahnya terlihat pucat.
“Ada apa Ben?” tanyaku.
“Fik, aku melihat makhluk halus yang mengikutimu sejak dari warung ayahmu tadi,” kata Beni terbata-bata.
“Ah, apaan sih Ben. Gak ada apa-apa,” kataku tak menghiraukannya.
Beni memang bisa melihat hal gaib. Tapi, aku tidak mau dia menakutiku. Aku lalu menceburkan diri bersama Gilang. Tapi anehnya, dia malah tak ada. Aku berenang ke seluruh penjuru danau, tapi tak juga menemukan Gilang.
ADVERTISEMENT
Lalu, dari kejauhan, aku mendengar Beni tertawa keras sekali. Aku langsung mentas dan menuju tempat Beni berdiri.
“Hahahaha. Terima kasih sudah memberikanku makanan hari ini Nak Fikri. Sepertinya temanmu yang satu ini juga akan enak sekali disantap,” katanya.
Itu bukan Beni. Matanya membelalak seakan kerasukan setan. Tertawanya juga bukan seperti Beni.
“Siapa kau? Kenapa kau mengambil temanku?” tanyaku keras-keras.
“Aku adalah jin yang melakukan perjanjian dengan ayahmu. Kamu tahu kenapa warung ayahmu tiba-tiba menjadi ramai? Itu karena dia melakukan pesugihan untuk penglaris. Hahahaha,” tawanya semakin keras.
Aku ketakutan sampai ngompol di celana melihat Beni. Aku lari terbirit-birit dan segera menuju rumah untuk menanyakan hal yang dikatakan jin itu kepada ayah.
ADVERTISEMENT
---
“Ayah gak sembunyikan apa-apa dari kamu Fikri!” ayah menjawabku dengan keras.
“Ayah bohong!” kataku.
Tiba-tiba, ibu datang dari dalam rumah dan menghampiri kami yang sedang berselisih di depan rumah.
“Yah, gawat. Gina yah, Gina!” kata ibuku.
Ibu kehabisan kata-kata. Ia menyuruh kami berdua mengikutinya dari belakang. Betapa terkejutnya kami saat melihat kakak pertamaku telentang di lantai dapur dengan bersimbah darah. Namun anehnya, aku malah cekikikan melihat mayat kakakku itu.
Tiba-tiba, penglihatanku menjadi kabur dan gelap, seakan-akan tubuhku dikuasai oleh makhluk lain. Di depanku, aku melihat Kak Alia sedang menari Jawa di hadapan banyak sosok hitam yang mengelilinginya.
Penglihatan itu beralih kepada sosok hitam yang duduk di sebuah singgasana besar. Di depannya, ada ayah dan ibuku yang sedang bersujud di hadapan sosok itu. Seketika itu, aku memanggil kedua orang tuaku.
ADVERTISEMENT
“Ayah! Ibu! Apa yang terjadi?” tanyaku terdengar menggema di lorong itu.
Aku terbangun dengan keringat mengucur di dahiku.
“Akhirnya kamu sadar juga, Fikri,” kata tetanggaku. Dia adalah orang pertama yang aku lihat saat aku terbangun.
“Mana ayah dan ibuku?” tanyaku.
Ia tidak menjawab melainkan memberikan tatapan iba kepadaku. Aku langsung beranjak dari tempat tidurku. Ternyata, ada keributan di dapur rumahku.
Sekilas, aku melihat seorang petugas ambulans membawa mayat yang terbuka bagian wajahnya. Mayat itu ternyata ayahku yang menjulurkan lidahnya.
Tulisan ini hanya rekayasa. Kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka.