news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Salah Alamat Pesugihan: Ingin Sembah Leluhur, Malah Dijahili Pocong

Konten dari Pengguna
30 September 2020 17:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pocong. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pocong. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
"Jika kau sampai di hulu sungai Cibodas, kau akan menemukan sebuah batu besar keramat. Mudah membedakan mana batu keramat, mana batu biasa. Kau akan melihat ada sesajian dari orang-orang yang pernah ke sana. Lakukanlah ritual yang sudah ku katakan."
ADVERTISEMENT
"Baik, Mbah. Aku akan mulai berangkat esok pagi agar saat matahari terbenam, aku sudah bisa memulai ritual."
Begitulah percakapan antara Mahardika dengan Mbah Sewu, dukun pribadinya yang biasa menasihati Dika. Di muka publik, Dika biasa menyebut Mbah Sewu sebagai guru spiritualnya.
Malam itu, Dika menghadap Mbah Sewu untuk meminta nasihat pengasihan. Maklum, ia akan maju menjadi calon kepala daerah di sebuah kabupaten di Jawa Barat. Kalau tanpa pengasihan, dijamin Dika akan kalah.
Masalahnya, lawan Dika bukan orang biasa. Ia akan menghadapi calon incumbent yang punya basis pendukung yang sangat besar. Barangkali, kekuatan mistis yang dimiliki lawannya juga besar. Untuk itulah ia mempersiapkan pengasihan untuk kemenangannya.
"Bahaya sekali, Mbah, kalau aku tak libatkan Mbah Sewu dalam pertarungan ini. Aku yakin, bekingan mistisnya juga tak kalah besar."
ADVERTISEMENT
"Aku tahu. Mereka juga gunakan dukun untuk menggaet pendukung. Mana mungkin si koruptor itu menang kalau tanpa bantuan lelembut."
"Betul, Mbah. Untuk itulah aku datang kemari. Ngomong-ngomong, kepada siapa aku harus menghadap di hulu sungai Cibodas?"
"Kau akan menghadap kepada Ki Agung Engkus Jangkung, ia adalah leluhur Cibodas yang dahulu juga jadi penguasa daerah ini. Mintalah izin padanya untuk melanjutkan kekuasaannya."
"Baik, Mbah. Saya mengerti."
***
Matahari sudah mulai tak tampak. Di langit, yang tersisa tinggallah cahaya kuningnya yang mewarnai awan. Saat itulah Mahardika telah sampai di hulu sungai Cibodas.
Untuk menuju ke sana, Dika harus melewati beberapa kali jalanan yang rumit. Sesekali ia menaiki angkutan umum, sesekali ia berjalan kaki. Pasalnya, tak semua jalan umum melewati arah tujuan Dika.
ADVERTISEMENT
Berbekal baju yang dikenakan, sesajian yang disimpan dalam plastik hitam, dan beberapa uang tunai sebagai bekal, Dika nekat melalui jalur itu demi bertemu dengan sosok Ki Ageng Engkus Jangkung yang disebut-sebut Mbah Sewu.
Sesampainya di sana, ia buru-buru mencari-cari batu besar tempat di mana Ki Ageng Engkus Jangkung bersemayam. Seperti kata Mbah Sewu, ciri-cirinya adalah sesajian yang disimpan oleh para penyembah sebelumnya.
Ilustrasi sungai berbatu. (Foto: Kumparan)
"Ini dia. Benar kata Mbah Sewu. Mudah menemukan batu itu. Salam sembah saya untukmu, Ki Ageng Engkus Jangkung. Saya mohon pamit untuk meminta izin darimu."
***
Sudah berjam-jam Dika memejamkan matanya dan berkali-kali menyalakan bakaran kemenyan di sesajiannya. Ia terus khusyuk bertapa. Ia benar-benar ingin bertemu dengan Ki Ageng Engkus, ia benar-benar ingin jadi bupati.
ADVERTISEMENT
"Sedang apa kau di sini? Pulang!"
Pertapaan Dika tiba-tiba pecah oleh suara misterius yang datang. Suara itu terdengar amat berat dan besar. Saking besarya, suara tersebut sampai-sampai membuat bulu kuduk Dika bergidik.
"Pulang!"
Lagi-lagi suara itu muncul seperti meminta Dika pergi dari tempat itu. Setelah dua kali diperingatkan untuk pulang oleh suara misterius tersebut, barulah Dika sadar bahwa keberadaanya tak diinginkan.
"Ki, saya minta maaf bila kedatangan saya menganggu. Namun, saya datang ke sini bukan untuk niat mengganggu. Saya ingin silaturahmi dengan Ki Ageng dan meminta restu."
Dika memohon pemakluman dari suara misterius itu sampai-sampai ia bertekuk sujud sembari memejamkan matanya. Meski tak tahu dari mana asal suara tersebut, Dika bersujud memohon ampun ke arah batu yang dimaksud Mbah Sewu.
ADVERTISEMENT
"Pulang!"
Suara tersebut seperti tak mengindahkan permohonan Dika. Meski telah bersujud simpuh dan memohon-mohon, suara misterius itu tetap menginginkan Dika angkat kaki dari tempat itu.
Menyerah karena masih saja tak diinginkan, akhirnya Dika terbangun dan membuka matanya. Ia berniat mundur dan pergi dari tempat pertapaan itu dengan raut wajah kecewa.
Baru saja ia membersihkan kerikil yang menempel di keningnya karena bersujud, betapa kagetnya Dika ketika melihat sosok putih yang sudah berdiri di hadapannya. Sosok itu berdiri tepat di atas batu pertapaan Dika.
Seketika Dika tercengkak dan buru-buru berdiri. Ia berteriak sekencang-kencangnya saking ketakutan dan merasa kaget bukan kepalang. Dengan meninggalkan semua barang-barang yang dibawanya, Dika lari terbirit-birit.
"Pocong! Pocong! Tolong ada pocong!"
ADVERTISEMENT
Begitulah Dika berteriak sembari berlari hingga ia terperosok ke dalam sebuah lubang sumur bekas tak jauh dari tempat pertapaannya. Dika tewas seketika karena benturan keras. Jasadnya ditemukan tak berdaya esok hari oleh warga sekitar.
Cerita ini hanya fiktif belaka. Kesamaan nama tokoh dan latar hanyalah kebetulan.