Tidak Perlu “Saingan” untuk Sampai Puncak

Konten dari Pengguna
20 Oktober 2017 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Petrus Richard Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tidak Perlu “Saingan” untuk Sampai Puncak
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Berangkat dari Bekasi, kemudian lewat Kampung Rambutan sudah cukup malam, kami sampai di pos keberangkatan ke Gunung Gede di Cibodas kira-kira jam 03.00 lewat. Itupun sebelumnya karena sempat terbawa bis sampai Cipanas, kami ketiduran, jadi tidak tahu, pertigaan Cibodas sudah lewat. Beres-beres sedikit, kami segera dipersilahkan mendaki jam 05.30.
ADVERTISEMENT
Di waktu perkiraan, kami bisa mencapai puncak dalam waktu 6 jam dari start awal. Pendakian via Cibodas banyak dirasa lebih “mudah” dibandingkan Gunung Putri apalagi Selabintana (jalur yang seharusnya kami lewati, namun karena satu dan lain hal tidak jadi, dan saya sangat bersyukur juga).
Tapi perkiraan ya perkiraan saja, meski ini biasa saja dalam sebuah pendakian. 6 jam ternyata kami baru sampai di Air Panas (yang dalam perkiraan hanya butuh 2 jam dari bawah). Itu karena memang kami banyak berhenti, dan waktunya sering tidak sebentar. Bukan karena hujan (syukurlah sampai turun pun tidak ada hujan berarti), sehingga jalur pendakian jadi licin, tetapi simply karena kami capek, apalagi saya.
Pendakian ini bukan yang pertama, dan mudah-mudahan bukan yang terakhir. Saya suka alam (mendaki gunung salah satunya, meski bukan yang begitu tergila-gila). Setiap sebelum pendakian, saya selalu ingat arahan senior di Wacana Bhakti dulu (saya naik gunung pertama kali dengan komunitas Seminari ke gunung Burangrang), latihan fisik harus serius. Latihan bisa-bisa satu bulan, setiap subuh sebelum ibadat pagi, dan setiap hari! Karena itu untuk mencapai puncak dulu, sejauh saya ingat, tidak ada kesulitan yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
Kemarin beda, saya sadar itu karena persiapan yang sama sekali nol. Tidak ada latihan fisik 5 hari sebelum pendakian (yang memang direncanakan 5 hari sebelum tanggal 14 Oktober). Naik-turun tangga, yang sebenarnya bisa jadi latihan pun, tidak maksimal dimanfaatkan. Kesan pertama untuk diri sendiri: tidak rendah hati! Pendaki gunung profesional pun harus latihan agar pendakian berjalan lancar-lancar.
Meski sebentar jalan, tidak sebentar istirahat, dan begitu seterusnya, gunung ini mendorong saya tidak manja. Mereka yang berpapasan, dan selalu saling sapa-menyapa, juga jadi acuan (langsung-tidak langsung) untuk-meski kadang terpikir untuk stop saja karena capek tadi-terus naik, untuk melihat puncak.
Hasilnya, menurut saya, tidak terlalu buruk juga. Kami bisa menikmati sebentar telaga biru jam 06.15 dan tidak terlalu lama air terjun Cibeureum, kemudian air panas jam 11.30. Kami akhirnya sampai Kandang Badak kira-kira jam 14.15, delapan jam dari bawah. Di tenda kira-kira 12 jam, dan untunglah cuaca bersahabat tidak ada hujan, kami bisa istirahat nyenyak sedikit. Jam 03.00 besoknya, kami mulai pendakian ke puncak untuk mengejar sunrise (meski saya tidak harus untuk ini).
ADVERTISEMENT
Seorang teman lebih mudah capek dari saya untuk naik. Dia banyak berhenti, apalagi kemiringan untuk sampai puncak makin tajam dari sebelum kami sampai Kandang Badak. Istirahat jadi lebih banyak. Dia sempat berhenti di tengah jalan dan yakin tak bisa sampai puncak. Tapi, kami berempat sudah sepakat untuk saling tunggu meski ada yang harus istirahat lama. Mencapai puncak yang diperkirakan hanya sekitar dua jam dari Kandang Badak, kami tempuh jadi 4 jam. Kami juga jadi ketinggalan sunrise. Tak apa! Kami berempat toh sampai puncak semua.
Di puncak, semua pendaki akan selalu merasa puas. Yang dituju dari sebuah pendakian memang puncak. Kalau sudah sampai puncak, semua kesakitan dan kelelahan seakan tidak pernah ada. Puncak dan pemandangannya membayar semua. Yang saya lakukan pertama kali, dan selalu begitu kalau mencapai puncak, mencium puncak saya berdiri lalu duduk diam.
ADVERTISEMENT
Saya senang selama pendakian semua orang saling sapa: “Duluan om, pak, mas, bang”, “Misi”, “Tasnya miring”, “Semangat! Puncak sedikit lagi”. Sekarang saya istirahat, mereka mendahului. Lima menit lagi, bisa jadi dia yang istirahat dan saya mendahului. Saling sapa ini bahkan sejak masih persiapan di pos keberangkatan bawah. Sama-sama mau mencapai puncak yang sama, orang tidak perlu saingan. Mendaki gunung bukan soal siapa sampai puncak duluan.
Saya jadi terpikir kalau sering orang (apa saya juga?) jadi saling hantam dan saling “makan” untuk sampai pada keadaan dan kondisi atau posisi (puncak?) tertentu. Mereka jadi homo homini lupus (serigala bagi yang lain), saling sikut dan tak mau mengalah karena mengejar nafsu sendiri. Semua cara dihalalkan, termasuk segala bentuk kejahatan dan keburukan, mengingat kemampuan mereka memang terbatas, tapi tidak sadar. Orang jadi tidak peduli dan saling menjatuhkan.
ADVERTISEMENT
Sama saja, kalau akhir-akhir ini, di Indonesia ini, sesama orang Indonesia jadi saling baku-hantam. Misal, dan selalu begitu, dalam pemilihan umum. Calon sama-sama (sekurang-kurangnya dari janji mereka yang di kampanye) ingin menyejahterakan rakyat, menghapus kemiskinan, menutup jurang kesenjangan, tapi toh kita selalu ribut. Meski tujuan sama, lewat “saingan”, kita jadi saling curiga, saling serang dan saling pukul. Kalau tidak sadar, kita bisa jadi bahaya. Jadi egois dan tak peduli.
Dalam pendakian, gunung menguasai manusia, dan manusia tidak bisa sok. Kalau dia tidak kuat, dia istirahat, dan disaat yang sama orang masih kuat, makanya dia tetap mendaki. Di situ, tidak ada jaminan kalau yang duluan akan terus di depan, juga bukan tidak mungkin yang sempat terlewati akan mencapai puncak duluan. Orang belajar untuk tidak jadi angkuh dan sombong. Harus sadar dan mau jujur mengakui: capek, ya istirahat.
ADVERTISEMENT
Perjalanan kelompok, beda kalau solo hiking, juga tidak selalu mudah. Ritme pendakian akan selalu tergantung dari kemampuan semua anggota. 1 kelelahan meski 10 yang lain masih kuat, ya tetap harus berhenti dan ikut istirahat. Kita mau meninggalkan yang 1 karena 10 merasa masih kuat? Kita jadi sadar, setiap orang punya kekuatan, kemampuan, ciri dirinya masing-masing yang tidak bisa sesukanya kita tolak karena kekuatan, kemampuan, ciri diri sendiri. Gunung juga mengajarkan manusia untuk kenal manusia lain, apa adanya. Egoisme dan sok-isme harus dibuang.
Pendakian tujuannya memang mencapai puncak, tapi puncak bukan akhir. Pendaki harus turun lagi, capek lagi, sakit lagi, berjuang lagi. Nah, waktu turun ini saya merasa menderita betul. Gunung Gede mengingatkan saya untuk cepat pergi periksa lutut ke rumah sakit. Dua lutut, pertama sebelah kanan dan di tengah jalan mengikuti yang sebelah kiri, terasa nyeri sekali. Saya khawatir kalau lutut terkena osteoartritis/artrosis, karena jarang olahraga dan tidak ada persiapan fisik sama sekali itu.
ADVERTISEMENT
Karena lutut betul-betul sakit, istirahat jadi lebih banyak lagi. Cukup lama, akhirnya saya dan teman-teman bisa sampai di bawah kira-kira jam 20.00, setelah 7 jam perjalanan turun. Tapi, apapun alasannya, memang yang mau mendaki gunung harus siap sedia merasakan sakit. Itu biasa.
Tetap saja, saya mensyukuri semua. Tuhan masih kasih kesempatan untuk, sekali lagi, anak muda ini belajar dari gunung. Setiap perjalanan memang seharusnya punya makna yang bisa dipelajari. Di situ kita bisa memeriksa hidup kita.