Stop Self-Diagnose Kondisi Kesehatan Mental Kamu!

Najwa Fathiyyah
Mahasiswa Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
17 Desember 2021 21:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najwa Fathiyyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Gerd Altmann from Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Gerd Altmann from Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Isu kesehatan mental masih menjadi hal yang tabu dibicarakan di masyarakat. Namun, semenjak tahun 2019, isu ini mulai terangkat dan menjadi topik yang sering dibahas di media sosial. Banyak lagu dan film yang juga mulai mengangkat isu ini. Seperti lagu-lagu karya Billie Eilish dan Kunto Aji, juga film-film seperti The Perks of Being a Wallflower, Inside Out, All the Bright Places, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, saat ini juga banyak artis, influencer, youtuber dan public figure yang seringkali menyinggung tentang masalah kesehatan mental. Beberapa dari mereka mulai berani menceritakan pengalaman seputar mental issue yang pernah dialami, diantaranya Marshanda dan Rachel Vennya yang mengidap bipolar, juga Vidi Aldiano yang mengidap anxiety attack.
Oleh karena itu, saat ini masyarakat mulai mencari tau dan peduli dengan kesehatan mental mereka. Namun, banyak orang yang salah mengartikan mental issue ini dan malah menjadikannya sebagai sebuah tren. Akhirnya terjadilah self-diagnose yang muncul dari orang-orang yang merasa memiliki mental issue tersebut.
Apa itu Self-Diagnose?
Self-diagnose adalah sebuah kegiatan mendiagnosis diri sendiri, sehingga seseorang merasa memiliki sebuah penyakit hanya berdasarkan perkiraannya sendiri. Saat melakukan self-diagnose, sebenarnya kita sedang berasumsi seolah-olah kita mengetahui masalah kesehatan yang kita alami, padahal belum tentu.
ADVERTISEMENT
Semua pemikiran yang ada di kepala kita hanyalah informasi yang diperoleh secara mandiri kemudian kita asumsikan dan asumsi kita bisa saja salah. Apa yang kita baca di internet belum tentu benar, bisa jadi apa yang ditakutkan sebenarnya bukanlah hal yang serius.
Tak sedikit orang yang melakukan self-diagnose dan mengambil pengobatan yang salah. Hal ini yang menimbulkan risiko kondisi kesehatan yang lebih parah menjadi bertambah besar karena mengonsumsi obat atau menjalani metode pengobatan yang tidak disarankan dokter.
Salah satu alasan banyaknya orang di Indonesia lebih memilih mendiagnosa dirinya sendiri dibanding berkonsultasi lebih lanjut kepada ahlinya ialah karena mereka takut akan anggapan negatif yang muncul pada dirinya.
Perlu kita ketahui, bahwa gangguan psikologis hanya bisa didiagnosa oleh psikolog atau psikiater. Mulai dari seberapa parah gangguan kesehatan mental yang dimiliki, bagaimana penanganan yang harus diberikan, dan apa yang harus dilakukan.
ADVERTISEMENT
Self-diagnose sebenarnya bisa menjadi hal yang membantu serta bisa jadi rambu-rambu untuk berkonsultasi ke psikolog atau psikiater. Tapi yang terjadi malah kebanyakan orang berhenti sebelum berkonsultasi ke psikolog atau psikiater, hal ini menjadikan self-diagnose berbahaya.
Bahaya Self-Diagnose
Seperti yang telah kita bahas bahwa orang yang melakukan self-diagnose terkadang malah mengkonsumsi obat tanpa anjuran dari dokter. Nah, hal ini berbahaya karena bisa membuat kondisi kesehatan menjadi parah dan bisa berujung pada penggunaan narkotika.
Selain itu, dilansir dari laman halodoc.com, self-diagnose juga bisa menyebabkan kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu dan hal ini memungkinkan kita untuk mengalami gangguan kecemasan umum di kemudian hari, serta bisa membuat masalah kesehatan mental tertentu tidak terdiagnosis.
ADVERTISEMENT
Boleh gak sih Self-Diagnose?
Sebenarnya, tidak ada larangan untuk peduli dengan kondisi kesehatan mental apalagi jika sudah mengganggu aktivitas sehari-hari. Yang salah itu, jika menerima mentah-mentah informasi yang kita cari dan tidak mengkonfirmasi kepada yang profesional. Padahal, jika seseorang memang sudah dikonfirmasi mengidap mental issues, setelahnya pasti ada tindakan yang diambil dan tindakan tersebut juga harus terarah bukan asal-asalan.
Pasti tidak jarang kita merasa relate dengan apa yang kita baca. Hal ini sebenarnya tidak masalah karena tandanya kita aware bahwa ada suatu masalah dalam diri kita. Tapi, tetap harus dengan porsi dan takaran yang pas dan tentunya harus dikonfirmasi.
Setiap orang pasti mengalami masalah dalam hidup. Saat itu terjadi, kesehatan mental kita juga pasti akan terkena dampaknya. Ketika kita merasa tidak baik-baik saja, kita pasti langsung mencari tahu serta mencurigai hal tersebut. Memang tidak sepenuhnya salah jika hanya mencurigai, tapi jangan sampai kecurigaan yang kita rasakan langsung dianggap sebagai suatu kebenaran.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Jika merasa ada yang salah dari diri sendiri, konsultasikanlah pada ahlinya! Karena pada dasarnya tujuan diagnosis hanya satu, yaitu untuk mendapat perawatan yang tepat atas hasil diagnosanya. Yuk, hindari self-diagnose agar tidak menambah kecemasan pada diri sendiri!
Referensi
Halodoc.2021."Bahaya Self-Diagnosis yang Berpengaruh pada Kesehatan Mental", https://www.halodoc.com/artikel/bahaya-self-diagnosis-yang-berpengaruh-pada-kesehatan-mental
Buntoro, Y. I., & Setiawan, K. Perancangan Kampanye Sosial Stop Self-Diagnose Ditujukan untuk Remaja. Rupaka, 2(1).
https://www.youtube.com/watch?v=g28n3eTr-sw&list=PLiPgMgUricVuVniLyxX39SCWLE-46SDQ2&index=3&t=632s
https://www.youtube.com/watch?v=BA_Ap89MJCw&list=PLiPgMgUricVuVniLyxX39SCWLE-46SDQ2&index=9