Konten dari Pengguna

Anak Indonesia dalam Tumpuan: Cengkeraman Isu Kekerasan, dan Kondisi Aktual

Plan Indonesia
Plan International telah bekerja di Indonesia sejak 1969 dan resmi menjadi Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) pada tahun 2017. Kami bekerja untuk memperjuangkan pemenuhan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan.
24 Juli 2024 10:31 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Plan Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat kita membayangkan bagaimana Indonesia 20 hingga 50 tahun ke depan, salah satu indikator yang harus diperhatikan adalah seberapa besar porsi anggaran pemerintah untuk program pemenuhan hak dan perlindungan anak. Untuk menjadi bangsa yang besar dan maju, anak-anak sebagai generasi masa kini sekaligus masa depan harus mendapat prioritas dukungan dan perlindungan sejak dalam kandungan. Dukungan negara terwujud melalui alokasi anggaran yang cukup untuk berbagai program terkait aspek tumbuh kembang anak, baik secara fisik, kognitif, sosial, mental, psikologi, dan spiritual, agar anak mampu tumbuh dan berkembang secara maksimal.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah seberapa kuat komitmen negara merencanakan anggaran untuk anak, yang berdampak dan bisa diukur perubahannya? Hal ini terlihat dari tingkat pendidikan dan kesehatan anak serta bagaimana anak terpenuhi haknya dan tidak mengalami kekerasan.
Bagaimana undang-undang yang disusun memberikan porsi upaya pencegahan, bukan hanya penanganan, sehingga para pihak yang mendapat mandat utama undang-undang memprioritaskan alokasi anggaran untuk program-program pencegahan dan perlindungan anak?
Seberapa mampu negara mendorong partisipasi bermakna dari semua komponen masyarakat, terutama anak-anak, untuk berpartisipasi melakukan pencegahan kekerasan dan pemenuhan hak anak serta, dalam proses pembangunan?
Saat ini, sebenarnya negara cukup produktif menerbitkan berbagai kebijakan terkait anak. Sebut saja Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014, UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU Sistem Peradilan Tindak Pidana Anak No. 11 Tahun 2012, dan UU No. 04 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak.
ADVERTISEMENT
Dalam pelaksanaannya, ada aturan turunan seperti Peraturan Presiden No. 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Anak, Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak, Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak, Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan Kekerasan dalam Satuan Pendidikan, Peraturan Menteri Agama No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan Kekerasan Seksual dalam Satuan Pendidikan di bawah Kemenag, dan banyak lagi regulasi lainnya.
Dalam konteks kelembagaan dan program, pemerintah menginisiasi banyak hal, di antaranya pembentukan KPAI sebagai pelaksanaan mandat dari UU No. 23 Tahun 2002, pembentukan Lembaga Layanan Anak dan Perempuan di bawah KPPPA, SAPA 129, pembentukan mekanisme tata kelola laporan dan informasi mengenai Data Kekerasan Anak dan Perempuan (SIMFONI), serta Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Perlindungan Perempuan Anak di tingkat kabupaten/kota.
ADVERTISEMENT
Program seperti Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), Desa Ramah dan Peduli Perempuan dan Anak (DRPPA), Kota Layak Anak (KLA), Sekolah Ramah Anak (SRA), Desa Ramah Anak, Program Satuan Pendidikan Aman Bencana, Posyandu Remaja, Pendidikan Inklusi, Program Anak Pelopor dan Pelapor, dan inisiatif lainnya juga telah dikembangkan oleh pemerintah daerah.
Namun, di tengah semua kondisi dan perkembangan tersebut, faktanya, kasus kekerasan pada anak terus meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa pendapat menyatakan, peningkatan data kekerasan berkorelasi dengan peningkatan kesadaran masyarakat, anak-anak, dan perempuan untuk berani bersuara.
Saat ini semakin banyak saluran pelaporan yang dapat diakses. Masyarakat juga semakin mudah mendapatkan informasi untuk mengenali beragam jenis dan mekanisme kekerasan terhadap anak. Mungkin ini pula yang mendorong makin banyaknya anak-anak, perempuan, serta masyarakat yang berani melaporkan kekerasan yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Melalui laman web SIMFONI KPPPA dalam lima tahun terakhir, kita dapat melihat jumlah kasus kekerasan anak yang kian meningkat. Pada tahun 2020 tercatat 11.264 kasus. Tahun 2021 naik menjadi 11.446 kasus. Setahun kemudian (2022) melonjak menjadi 16.106 kasus. Tahun 2023 kekerasan anak mencapai 18.175 kasus. Tahun ini, sejak Januari hingga Juni terdapat 7.808 kasus.
Isu kekerasan anak juga ramai dipublikasikan berbagai media, terutama kasus kekerasan seksual. Data SIMFONI memberikan gambaran bahwa lebih dari 80% kekerasan yang terjadi adalah kekerasan seksual, dengan korban anak perempuan. Umumnya pelaku adalah orang terdekat, baik orang tua kandung, keluarga inti, teman dekat, pacar, guru/pendidik dalam lingkup satuan pendidikan, baik formal maupun informal.
Keluarga yang seharusnya menjadi pelindung aktif dan tempat berlindung paling aman bagi anak, dalam beberapa kasus malah memperlihatkan sebagai tempat yang membahayakan. Anak-anak, terutama anak perempuan, kian sering mendapatkan pelecehan seksual, kekerasan seksual, serta perundungan dari anggota keluarga mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Orang dewasa yang seharusnya menjadi pelindung pertama bagi anak, dalam beberapa kasus justru menjadi ancaman serius. Masih sering kita mendengar orang tua kehilangan moralitas mengelola emosi dan hasrat, sehingga anak-anak mengalami krisis nilai diri serta kehilangan teladan. Mereka tidak dapat menemukan ruang diskusi dan aktualisasi yang bermakna untuk mengenali nilai-nilai penting sebagai arah untuk tumbuh sesuai usia perkembangannya.
Dalam konteks sumber daya manusia, setiap angka kasus kekerasan anak sangat bermakna. Kita harus prihatin dengan jumlah kasus kekerasan anak yang kini sudah mencapai belasan ribu, bahkan mungkin dua atau tiga kali lipat lebih besar dari data yang tercatat. Ini adalah fenomena gunung es, di mana kita hanya mampu melihat sebagian kecil karena sebagian besar kasus tenggelam dalam isu-isu sosial, bias gender, relasi kuasa, budaya bias, cara pandang bias, pengasuhan bias, serta faktor-faktor lainnya yang belum teridentifikasi.
ADVERTISEMENT
Menurut data BPS 2021, anak Indonesia berjumlah 79.486.424 jiwa. Dari angka tersebut, kita tidak dapat memastikan secara mendetail berapa jumlah anak yang mengalami kekerasan. Kondisi seperti relasi kuasa, kemampuan anak untuk mengungkapkan kekerasan dalam bahasa mereka sendiri, ketakutan tidak dipercaya, dampak negatif jika melapor, pemahaman mengenai kekerasan yang masih kurang, ketidaktahuan tentang bagaimana cara dan ke mana harus melapor, serta adanya budaya diam, budaya permisif, dan budaya bias yang menormalisasi kekerasan menjadi faktor-faktor yang menghambat anak untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya.
Penulis menemukan bahwa dalam beberapa komunitas masyarakat di Jawa, NTB, dan NTT, hukum adat lebih "berkuasa" dibandingkan hukum negara. Saat ditanya mana yang lebih berani mereka langgar: undang-undang, agama, atau hukum adat, hampir semua orang menjawab bahwa mereka lebih berani melanggar hukum negara, lalu hukum agama, dan baru hukum adat. Ini berarti bahwa sebanyak apa pun undang-undang dan kebijakan yang dibuat negara, masyarakat akan lebih taat pada aturan adat dan hukum agama.
ADVERTISEMENT
Gelombang informasi dalam bentuk tulisan, gambar, serta video juga menjadi pemicu meningkatnya perilaku bias dan berisiko. Banyak orang dewasa, anak-anak, dan orang muda yang tenggelam dalam informasi serta nilai-nilai yang salah, yang merugikan bahkan membahayakan diri sendiri dan orang lain. Banyak anak terpapar konten negatif media sosial, sehingga kehilangan kompas nilai yang seharusnya menjadi rujukan dalam mengenali hal yang positif dan negatif. Justru di sinilah nilai-nilai agama dan adat memiliki peran penting untuk mendampingi berbagai perundangan dan program pemerintah, dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Lalu, bagaimana cara agar masyarakat dapat berkolaborasi bersama pemerintah untuk mempersiapkan anak menjadi generasi hebat, bebas dari kekerasan, serta terpenuhi hak-haknya?
Selain berhadapan dengan masalah ekonomi, orang tua juga harus menghadapi nilai-nilai pengasuhan yang mulai tergerus akibat perubahan zaman, serta kesulitan dalam membangun jembatan komunikasi dengan anak. Terjadi pula kesenjangan dalam hal pengetahuan dan penguasaan teknologi antara orang tua dan anak.
ADVERTISEMENT
Anak-anak lebih terpapar dengan teknologi dan informasi, sementara orang tua banyak yang masih bertahan dengan pengetahuan dan nilai-nilai yang diwariskan dari proses pengasuhan sebelumnya. Ketimpangan ini menyebabkan kebuntuan komunikasi dan kejenuhan pengasuhan. Anak-anak kemudian malah menemukan nilai-nilai hidup dari media sosial yang membentuk persepsi mereka tentang nilai benar-salah, yang ujungnya berakhir pada perilaku bias dan merugikan.
Banyak budaya dan praktik tradisi positif dalam masyarakat yang ditinggalkan. Tradisi makan kacang bersama, berdoa bersama, ronda malam, mengantar hasil panen ke tetangga, siskamling, syukuran kelahiran, sunatan, menikah, membangun rumah, dan lainnya yang dulu biasa dilakukan sebagai bentuk silaturahmi, keakraban, dan saling berbagi kini sudah mulai hilang. Inilah yang membuat anak-anak kian jauh dari norma-norma dan nilai-nilai hidup bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Penulis beberapa kali berdiskusi dengan anak-anak di berbagai kota, dan anak-anak merasa bahwa dunia mereka hanyalah mereka sendiri. Mereka merasa bahwa orang tua, keluarga, dan masyarakat justru menjadi ancaman bagi mereka dalam mengekspresikan diri.
Kini kita berada di masa di mana sebagian orang tua berkompetisi untuk saling menunjukkan siapa yang lebih unggul dalam pengasuhan melalui media sosial. Inilah yang kemudian memunculkan budaya toxic parenting, dengan keinginan untuk diakui melalui konten di media sosial, berkompetisi dalam hal memamerkan bakat dan pencapaian anak. Padahal, anak-anak tidak memerlukan perlombaan, tetapi ruang untuk berekspresi, tumbuh, dan berkembang dengan penuh perhatian, kasih sayang, dan kebersamaan.
Akhir kata, anak-anak Indonesia adalah amanah yang akan menentukan masa depan bangsa ini. Tugas kita semua adalah memastikan bahwa setiap anak, tanpa terkecuali, mendapat kesempatan yang sama untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan penuh kasih sayang. Mari kita bersama-sama menjadi pelindung dan pendamping mereka dalam perjalanan menuju Indonesia Emas 2045.
ADVERTISEMENT
Penulis:
Sigit Wacono
26 tahun berkecimpung di lembaga perlindungan anak.
Saat ini bekerja di Yayasan Plan Indonesia